Cinta Terlarang Antara Aku dan Dia


Cinta Pertama dalam Segala Hal

Rasanya aku sudah menyukai dunia perbukuan dan tulis-menulis mungkin semenjak dunia masih berupa gumpalan debu dan gas. Dari masih sangat kecil, yang aku cari pertama kali kalau pergi ke mana pun pasti lemari atau etalase buku. Bertanya apakah si penghuni rumah punya sesuatu untuk kubaca.

Ekhem ... yang pakde dan bude-ku berikan malah buku Hidayah dan Majalah Misteri! Tak heran keponakannya jadi awikwok gini!

Pernah ada perpustakaan kecil di kota kecilku, sumbangan dari salah satu stasiun TV terkemuka. Di situ ada novel, majalah, komik, bahkan buku mewarnai. Bayangkan betapa bahagianya aku, sampai warga sekampung memutuskan bahwa barang umum = gratis, dan mulai membawa pulang buku-buku tersebut tanpa izin (bruuh).

Seperti yang selalu terjadi pada fasilitas gratis di negeri tercinta ini, tutuplah perpustakaan, mengurung buku-buku aduhai di dalamnya. Setiap hari aku ke situ menempelkan muka pada jendela, membayangkan diriku di dalam sana menemani buku-buku yang kesepian. Sayang beribu sayang, tak lama ada mobil box datang mengangkut buku-buku itu entah ke mana.

Hilang sudah harapan, dan sebagai anak kelas 4 SD aku menangis, sampai emak membujuk akan membawaku ke perpustakaan besar di kota. Well, i'm still waiting until now, Mom ....

Harapan kembali muncul saat masuk SMP. Sebab, SMP-ku terkenal memiliki perpustakaan besar dan lengkap. Oh ... aku sudah membayangkan akan pergi ke sana setiap hari, setiap saat. Maka memang itulah yang kulakukan untuk menghabiskan sebagian besar waktu.

Benar, Anak-anak ... Impy adalah si cupu, tidak punya teman, dan kutu buku yang selalu nongkrong di perpus seperti tipikal ciwi-ciwi unyu protagonis Watpat. Anehnya, kok tidak ada cowok bad buoy, genk motor, kaya 10 turunan yang penisirin dan naksir sama aku, ya?

Barangkali karena aku tidak secantik bidadari .... ANYWAYS!!!


Seperti yang kita semua duga, anak yang suka membaca, menulis, dan nongkrong di perpustakaan pastilah unggul dalam pelajaran Bahasa, sebab pelajaran Bahasa mengandung segala hal yang mereka cintai. Tentu saja, aku juga mencintai pelajaran Bahasa.

Sayangnya ... perantara di antara kami tidak merestui hubungan itu.

Aku Cinta Pelajaran Bahasa, tapi Gurunya Membenciku

Kelas tujuh, usia sebelas. Aku mendapatkan guru Bahasa yang mungkin berusia awal 40an, kita sebut saja Bu Kamboja. Guru ini terlihat baik, sangat terorganisir, terobsesi dengan warna hijau, dan paling utama sangat menyukai pekerjaannya sebagai Guru Bahasa.

Cuma dia guru yang benar-benar membaca setiap karya murid, dan memberi feedback berupa nilai masuk akal. Misalnya, dia tahu anak mana yang ogah-ogahan dan mana yang sungguh-sungguh dalam membuat tugas, terutama tugas cipta cerpen. Itu terlihat dari nilai-nilai yang dia berikan.

Seperti aku sekarang, dia juga menjunjung tinggi kepenulisan yang baik, menerapkan kalimat efektif, serta pembela nomor satu KBBI. Aku ingat dulu dia pamer kalau punya semua edisi KBBI cetak super tebal yang harganya jutaan rupiah. Jujurlly ... hal itu memang pantas dipamerkan

Dia suka membaca, aku suka membaca. Dia guru, aku murid. Dia Sepooh, aku seonggok upil. Tentu saja aku sangat ingin dia lihat, katakanlah aku ingin jadi murid kesayangan Bu Kamboja. Aku selalu semangat saat pelajarannya, menjawab setiap pertanyaan, mengumpulkan tugas paling awal, dan sebagainya.

Namun, alih-alih menjadikanku anak kesayangan, Bu Kamboja tampaknya malah sebal pada sikap lenjeh itu. Senyumnya selalu hiang setiap aku mengacungkan tangan hendak menjawab pertanyaan, nada bicaranya jutek saat bicara padaku, dia tidak pernah friendly padaku seperti ke murid-murid lain.

Di satu kesempatan, aku mengacungkan tangan untuk memberi jawaban seperti biasa, tapi dia malah bilang, "Ah, jangan Impy terus, dong! Coba anak lain yang kasih contoh."

Perasaanku saat itu tentu saja seperti tertusuk pisau. Aku ditolak mentah-mentah oleh guru mata pelajaran kesukaanku?

Eh, tapi aku masih berpikir positif. Ya, mungkin aku juga harus memberi kesempatan menjawab ke teman-teman, meskipun mereka seringnya menolak (tentu saja, siapa yang mau jadi pusat perhatian guru). Namun, ketika tidak satu pun murid bisa memberi contoh atau jawaban, Bu Kamboja malah menjawab pertanyaannya sendiri daripada memintaku. Bahkan melupakan sama sekali kalau aku bisa menjawab.

Dari situ aku mulai meredam sifat lenjeh sok-sok murid teladan. Bahkan di usia sebelas aku sadar mungkin sifatku yang sok pintar itu malah membuat Bu Kamboja kesal, dan aku jelas tidak mau membuat guru mata pelajaran kesukaanku kesal. Aku mau jadi kesayangannya!!!

Meski sudah meredam diri, sikap Bu Kamboja kepadaku masih dingin. Aku seperti mengejar sesuatu yang terus lari menjauh, dan setelah dekat malah mencakar. Aku takut dan bingung dan sedih. Tapi toh nilaiku tetap tertinggi di kelas. Setidaknya Bu Kamboja masih adil soal yang satu itu.

Sampai suatu hari datanglah kejadian itu ....

Kejadian Tak Terlupa Bersamanya

Untuk konteks, Bu Kamboja merupakan orang yang terorganisir dan perfeksionis. Entah dia memiliki OCD atau tidak, tapi dia benar-benar serius masalah kerapian. Dia punya map khusus berbeda-beda warna sesuai kelas, dan meminta murid mengerjakan tugas ulangan di kertas HVS berwarna sama. Kebetulan kelasku dapat warna kuning agak-agak oranye.

Bu Kamboja meminta kami membeli satu pak kertas berwarna kuning-oangye itu supaya tidak ribet kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai murid brekele tentu saja warna kertas yang kami beli pada akhirnya tidak sama persis dengan milik Bu Kamboja.

Ada yang warna kuning terang, oranye agak gelap, kuning gelap, kuning kehijauan dan sebagainya. Termasuk juga aku yang tidak sama persis. Namun, menurutku kertas milikku adalah yang paling serupa dengan milik Bu Kamboja, meskipun agak sedikit terlalu terang.

Maka suatu hari dia memberi kami ulangan perdana di kertas kuning-oranye berupa cipta cerpen. Belio memang menyukai kegiatan cipta cerpen, dan itu sebabnya aku menyukai dia sebagai guru. Tapi biasanya kami membuat cepren di buku tulis.

Kepercayaan diriku selalu setinggi langit tiap membuat cerpen, termasuk juga saat itu. Hey, aku ingin Bu Kamboja melihatku sebagai murid berpotensi. Singkat cerita, ulangan pun selesai dikumpulkan, lantas Bu Kamboja langsung menilainya. Proses penilaian tampak lancar selama beberapa menit hingga tiba-tiba dia mengangkat selembar kertas dan digoyang-goyang dengan kasar.

"Apa ini, warna kertasnya beda banget begini! Ibu gak mau nilai yang ini, ganti dulu warna kertasnya baru Ibu mau nilai!"

Setelah mengatakan itu, Bu Kamboja mengempaskan kertas itu di sisi depan mejanya, sebelum kembali fokus menilai. Satu kelas dibuat kaget, begitu juga aku, tapi aku santai saja. Toh, warna kertasku paling mendekati milik Bu Kamboja. Aku pasti aman.

Kemudian temanku di meja paling dekat guru mengambil kertas yang dicampakkan itu untuk membaca nama si empunya. "Impy, punya kamu ...."

Rasanya seperti tersambar geledek saat semua kepala menoleh ke mejaku. Bahkan wajah teman-teman tidak mengejek, mereka lebih ke prihatin, dan itu lebih buruk. Kok bisa? Perasaan warna kertas ini yang paling mendekati. Rasanya aku juga bisa mendengar itu dalam otak teman-teman.

Aku tidak protes, aku bukan anak yang suka protes. Aku cuma jalan mengambil kertasku lalu kembali duduk. Kebingungan harus berbuat apa, semua kertasku berwarna sama, berarti semuanya salah, dan aku harus beli baru. Padahal harganya sangat mahal, mamah pasti marah. Aku tidak meminta saran siapa pun, aku bukan anak yang suka meminta saran.

Teman satu mejaku-lah yang kemudian menyodorkanku kertas kosong miliknya. "Cepet saling ulang di sini," katanya. Dia baik, aku akan selalu mengingatnya untuk itu.

Sambil menyalin ulang cerpen, aku dan teman satu kelas menunggu dengan was-was. Kalau kertas punyaku yang paling mirip milik Bu Kamboja saja dikembalikan, bagaimana yang lain? Begitu pikir kami. Nyatanya, proses penilaian jalan terus sampai kertas terakhir. Artinya cuma kertas milikku yang mengganggunya.

Teman-teman merasa lega, tapi aku sakit hati. Aku cuma mau tahu kenapa, tapi aku tidak mungkin menanyakan langsung. Saat aku selesai menyalin dan menyerahkan cerpenku ke Bu Kamboja, dia masih sempat bicara ....

"Besok kertasnya ganti, yang tadi salah."

Sampai aku menulis dialog itu, nada ketusnya masih terngiang, wajah dinginnya yang menolak menatapku juga rasanya masih bisa kulihat. "Iya, Bu." Tentu saja itu jawabanku. Memangnya ada yang lain lagi yang harus kukatakan?

Dari situ aku pertama kali merasakan anxiety. Ironisnya, perasaan itu datang setiap pelajaran Bahasa. Pelajaran KESUKAANKU, yang mana seharusnya aku merasa paling tenang, paling semangat, paling rileks, dan paling gemilang. Lebih buruk, bukan pelajarannya yang membuatku merasakan itu, melainkan pengajarnya!

Aku semangat belajar Bahasa, tapi aku takut pada sikap dingin Bu Kamboja. Aku percaya diri pada kemampuanku, tapi aku khawatir Bu Kamboja menjatuhkan kepercayaan diri itu. Aku ingin menjadi yang paling gemilang, tapi aku ragu Bu Kamboja setuju. Intinya, terciptalah konflik batin yang rumit setiap pelajaran Bahasa datang.

Memikirkan hal itu sangat membuatku stress. Benar ... hal yang membuatku stress di zaman SMP dulu adalah GURU BAHASA!!!

Hal yang aku syukuri dari kisah ini adalah Bu Kamboja tidak lagi mengajarku di kelas delapan dan sembilan. Sedangkan hal yang aku sesali adalah, tidak ada lagi guru yang se-passionate itu pada pelajaran Bahasa seperti Bu Kamboja. Setidaknya, mereka tidak mampu membuatku ingin unggul dalam mata pelajaran tersebut.

Segala hal bersama Bu Kamboja ini berdampak besar kepadaku. Terutama dalam hal semangat belajar. Aku berpikir, mungkin sifat aktif yang terlalu lenjeh bisa mengesalkan guru, mungkin sok tahu dan banyak menjawab pertanyaan membuat guru terganggu. Jadi aku berhenti melakukan hal-hal itu sepanjang sisa sekolah. Menjadi pasif rasanya jauh lebih mudah.

Namun, dari segala kejadian bersama Bu Kamboja aku juga belajar bahwa kalau sesuatu sudah menjadi passion seseorang, tidak peduli cobaan dan rintangan terjadi selama mengejar passion tersebut. Pada akhirnya passion yang akan menang. Buktinya sampai detik ini aku masih menekuni dunia bahasa, tulis-menulis, pernovelan. Ekhem ... dan julid.

Kenapa oh Mengapa Bisa Demikian?

Sampai detik ini aku masih penasaran apa yang membuat Bu Kamboja bersifat dingin kepadaku. Jujur saja, aku tidak tahu jawaban pastinya, atau bahkan bisa saja Bu Kamboja sebenarnya tidak dingin kepadaku. Dan segala hal yang terjadi bersamanya, cuma ada di kepalaku seorang. We'll never know ....

Namun aku punya beberapa praduga. Pertama dan yang paling masuk akal. Mungkin karena sifat aktif nan lenjeh-ku tiap pelajaran Bahasa bersama Bu Kamboja. Maksudku ... mari kita memosisikan diri sebagai guru.

Ada satu anak yang selalu mengacungkan tangan pertama di setiap pertanyaan. Apakah aku sebagai guru akan berkata. "Wah, betapa cerdasnya anak ini. Mungkinkah dia segenius Einstain?"

Atau aku malah akan berkata. "Anjirrr, DIE LAGI, DIE LAGI!!! AKU SUDAH MUAQ!!!"

Ya, kalau melihat diriku sekarang, mungkin tergantung mood. Sebagai guru, kita ingin semua anak aktif daripada cuma satu. Kalian tahu sendiri bagaimana sifat anak-anak sekolahan ... kalau ada satu anak yang aktif, anak lain otomatis memilih pasif sambil berpikir. "Kalau orang lain bisa, kenapa harus aqu?"

Mungkin itu alasan Bu Kamboja bersikap dingin padaku. Dia muaq, karena aku mengambil bagian aktif tersebut sampai-sampai anak lain memilih pasif, dan membiarkanku menjawab semua. Kalau benar begitu, aku jelas bisa memaafkan perilaku Bu Kamboja dan DO BETTER! Stop jadi murid lenjeh, y'know?

Namun, ada praduga lain yang mematahkan praduga pertama. Yaitu, bukan aku murid yang Bu Kamboja harapkan untuk menjadi aktif. Jadi ... di sekolahku ada satu anak perempuan (kita panggil anak ini Tulip).

Wow, Tulip adalah murid super teladan kesayangan semua guru, punya banyak teman, dari kalangan berada, cantik, populer, digadang-gadang menjadi murid dengan nilai tertinggi satu angkatan. Bu Kamboja jelas menjadi salah satu guru yang menganak-emaskan Tulip.

Katakanlah, sikap Bu Kamboja kepada Tulip berkebalikan dari sikapnya kepadaku. Bu Kamboja selalu tersenyum kepada Tuip, mengakrarbkan diri dengan mengobrol, memuji karyanya, menjadikannya suri tauladan bagi murid-murid lain, dan sebagainya.

Tapi eh tetapi, ini bukan novel, dan Tulip jelas bukan tokoh Mary Sue-Perfek-SerbaBisa. Entah karena Tulip tidak suka pelajaran Bahasa, atau dia tidak terlalu menguasai, intinya Tulip tidak terlalu unggul di bidang Bahasa.

Dia tetap kompeten, itu jelas. Tapi dia tidak sebegitu semangat seperti saat pelajaran Kimia atau Matematika (pelajaran kesukaan Tulip, CAN YOU IMAGINE???).

Di sisi lain, Bu Kamboja selalu mendorong Tulip untuk aktif di kelasnya. Kadang dia menolak acungan tanganku demi memberi Tulip kesempatan menjawab, dan ya ... seringnya dia menolak acungan tanganku demi menawarkannyaTulip.

Sayang beribu sayang, Tulip kadang menolak menjawab, atau keliru, atau Bu Kamboja tampak tidak puas dengan jawabannya. Sekali lagi, mungkin karena Bahasa bukan pelajaran yang terlalu diminati Tulip sehingga dia tidak mau terlalu menonjolkan diri.

Dari situ aku berpikir, kalau seandainya Tulip yang menjadi murid aktif nan lenjeh alih-alih aku, mungkinkah Bu Kamboja akan merasa senang daripada muaq? Kalau benar begitu ... Bu Kamboja, you are so rude and why are you doing this to me?

Praduga terakhir, dan boleh dibilang paling delusional adalah, Bu Kamboja terintimidasi denganku.

Jujur saja, satu-satunya mata pelajaran yang kutekuni sepenuh hati memang Bahasa. Sebisa mungkin memahami segala ilmu dalam buku, menghafal, dan menerapkannya. Kerja keras itu membuatku bisa menjawab semua soal, mendapat nilai bagus, dan paling menonjol.

Mungkin itu mengganggu Bu Kamboja, sebab dia tidak ingin muridnya somehow jadi lebih baik?

Kalau benar begitu ... Bu Kamboja, I WAS A CHILD! Usiaku sebelas, memangnya bisa jadi sepandai apa bocil sebelas tahun sampai bisa melampaui kemampuan guru? Menjajari pun tampak mustahil. BUT, sekali lagi ini praduga yang paling tidak masuk akal, so .... MOVING ON!

Pada Akhirnya ....

Hellow, Pembaca Review Impy!!!

Kalian pasti senang aku berikan segmen curcol alih-alih review. Ayo, jangan sungkan-sungkan ... empar bunga penghargaan itu kepadaku, baybeh!

Omong-omong, Intermezzo kali ini aku buat semata-mata supaya kita menjadi semakin intim. Tentunya kalian mau semakin intim denganku, hm?

Bagaimana? Kalian sudah merasa mleyot saat aku mengatakan "hm?" seperti cowok-cowok bad buoy Watpat?

Tapi serius, itu adalah kisahku bersama pelajaran Bahasa, serta passion-ku terhadap dunia kepenulisan. Kadang orang yang paing kita kagumi malah merasa terganggu dengan kehadiran kita. Itu bisa juga terjadi pada penulis pemes di luar sana, yekan?

Mereka malah merasa muaq saat kita terlalu mencari perhatian mereka, malah merasa risi ketika kita selalu membelasetiap tindakan mereka, merasa terganggu saat di sisi lain kita berusaha keras untuk disukai oleh mereka. Mungkin dari situ ada sebutan Trying too Hard alias mencoba terlalu keras, sampai berujung cringe.

Bagaimana dengan para pembaca budiman? Apakah kalian punya pengalaman baik ataupun tidak baik dengan dunia kepenulisan? Ceritakanlah di komentar supaya kita lebih intim, hm? Hm? Hm? Hm? Hm? Hm?

Kalian : (Tewas mleyot)

Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Oh ... dan sekarang Blog Review Impy akhirnya terhubung dengan Goodreads sehingga kalian bisa tahu buku-buku apa saja yang sedang kubaca, dan barang kali spoiler-spoiler julidan baru.

Lihat progres bacaku di blog (Iya! Aku memang baru tahu cara menghubungkan Goodreads dan Blog. Jangan komen macam-macam!!!)

Bay-bay ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan