Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
ISBN : 9786024246945
Tahun : 2017
Tebal : 380 Halaman
Blurb :
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.
Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Flawless Book?
Pembaca Budiman yang terkasih, pastinya kita semua setuju bahwa tidak ada satu hal pun di dunia yang sempurna selain Tuhan YME. Namun, kalian harus percaya kalau aku bilang novel Laut Bercerita boleh jadi mendapatkan predikat sebagai novel paling sempurna di seluruh jagad raya ....
MENURUT ORANG-ORANG!
Serius, tidak satu pun komentar jelek aku temukan tentang novel ini. Mulai dari review, testimoni, bahkan desas-desus dari segala media, semuanya berkonotasi positif. Kalau kalian lihat di Goodreads pun, tempat di mana kritikus bisa memodarkan mental penulis, nyaris semua orang memberi bintang empat atau lima. Semua terkagum-kagum dan termehek-mehek pada novel ini.
Dari total 14.500 review bintang, serta 3000 diantaranya memberikan review tertulis, cuma ada 25 makhluk yang memberi bintang 1-2 disertai alasan. Terhitung hanya 10 orang pula yang memberi alasan benar-benar konkret, bukan cuma komen sebaris dua baris kata. 25 dari 3000 itu jumlah yang terlalu jomplang untuk se-fruit novel.
Tukang Review Profesional seperti Impy Island (muntaber) pun tergerak hatinya untuk membuktikan affah iyah novel ini memang sesempurna itu? Sefenomenal itu? Maka aku membaca bukunya via Ipusnas setelah mengantri kurang lebih 300 abad! Itu pun lewat orang dalam! (Apakah ini foreshadowing dari isi novelnya?)
Dari segi sampul. WOW. Ini sih bukan sekelas sampul novel lagi, tapi benar-benar karya seni yang dilukis di atas kanvas. Font yang terlampau sederhana di bagian bawah pun tidak lagi menjadi kekurangan, sebab art-nya sendiri sudah superior. Sesuai vibe yang diusung. PERPEKTO!
Nah, tanpa berlama-lama lagi mari kita selami laut dan kita beri kesmepatan Laut Bercerita.
B. Plot
Sebenarnya Blurb novel sudah menceritakan seluruh buku secara garis besar. Apa lagi setelah melihat angka 1998, tentu saja otak pembaca akan dibawa ke zaman itu. Politik, Aktivis, Mahasiswa, Demo, Orde Baru, Presiden Kedua, Tukang Bakso, Thanos Snap. Khususnya bagi pembaca generasi Milenial dan Boomer. Beberapa orang menyebut zaman itu Golden Age, beberapa lagi menyebutnya Dark Age.
Aku pribadi tidak mengingat apa pun tentang tahun 1998 sebab aku baru hadir di muka bumi setahun kemudian, dan tidak benar-benar aktif mengeksplor dunia sampai 10 tahun setelahnya. Jadi, segala hal yang mengangkat kejadian tahun 1998 senantiasa menjadi Soft Spot bagiku yang hanya mengetahui situasi di masa itu dari buku, media, dan cerita para orang tua.
Biru Laut adalah mahasiswa yang menginginkan perubahan pada negaranya. Namun, melawan otoritas bisa jadi sangat berisiko di masa itu. Kebebasan berpendapat benar-benar terbatas, serta siapa pun yang berani berontak akan segera ditindak. Tidak sendirian, Biru Laut punya komunitas berisi teman-teman sesama mahasiswa-mahasiswi yang juga memiliki keinginan serupa.
Tentu saja otoritas tidak menyukai ini, lantas membuat operasi untuk "menghapus" komunitas tersebut. Laut menjadi salah satu dari banyak teman-temannya yang juga mengalami proses penghapusan. Maka novel ini berisi kisah Laut yang berpisah dengan bumi untuk menyatu bersama laut. Secara harfiah ... dia benar-benar dibuang ke laut.
Aku tidak akan mengomentari segala tindakan aktivis Laut dan teman-temannya, sebab aku tidak begitu mengerti. Namun, aku jelas bakal mengomentari unsur intrinsik serta logika dalam dunia novel itu sendiri. Toh, meskipun berdasarkan sejarah, kisah serta penokohan di dalamnya sendiri tidak benar-benar nyata.
Pertama, buku ini benar-benar mengikat pembaca sejak halaman pertama. Meletakkan konflik utama di awal memang salah satu dari banyak tips barokah menggaet pembaca. Namun, beberapa novel yang meletakkan konflik di awal kadang lupa mempertahankan minat pembaca sampai novel habis. Novel ini di sisi lain, berhasil mempertahankannya.
Well ... aku tidak akan bilang ceritanya seru dari awal sampai akhir, tapi sepanjang babak pertama aku tidak berniat tutup buku sedetik pun. Terbukti bahwa alur maju-mundur (cantik) memang teruji ampuh mempertahankan ketertarikan pembaca. Mungkin alur maju-mundur adalah tipe alur kaporitku sebab novel-novel Om Fredrik Backman juga memakai alur jenis ini.
Sayangnya, di beberapa bagian novel ini juga bisa jadi sangat membosankan, menggunakan bahasa yang bertele-tele, dengan topik bahasan yang diulang-ulang. Kayak semisal Laut yang berulang kali memuja-muji betapa kiyuut dan unyu-nya Anjani. Berkali-kali menceritakan tradisi makan bersama keluarganya. Berkali-kali menarasikan resep masakan yang sebenarnya tidak perlu sedetail itu.
Aku bahkan membuat catatan yang hanya bertulis "Boring" di beberapa paragraf, lantaran memang hanya itu yang kurasakan. Tidak seperti novel Watpat yang narasinya kebanyakan ancur sampai diskip-skip-skip pun tidak masalah, atau Icylandar yang kalimatnya bikin bosan dan kadang juga bikin kesal karena tidak bermakna apa-apa pada akhirnya.
Di novel ini kalimatnya enak dibaca, informasinya penting, dan aku mendapatkan sesuatu dari keseluruhan narasi. Misalnya perkenalan tokoh, latar belakang tempat, konteks kejadian sehingga aku pasti/harus membaca seluruh narasi. Namun, aku juga kebosanan saat membaca seluruh narasi itu, kayak pengen buru-buru lompat ke hal lain gitu loh.
Tokoh-tokoh dalam novel ini juga tidak begitu menarik simpati, selain Laut yang memang menjadi narator serta fokus cerita. Kepribadian mereka hanya disebutkan secara garis besar, tanpa benar-benar ditunjukkan adegan yang membuat mereka istimewa. Jadi saat Laut memaksaku untuk peduli pada teman-temannya, terutama pada Sang Penyair, aku tidak merasakan simpati yang seharusnya.
Jujur, sampai tengah cerita pun aku belum ngeh siapa itu Sang Penyair, alias teman terdekat, bahkan bisa dibilang mentor bagi Laut. Entah aku kelewatan atau perannya memang kurang menonjol sampai gagal membuatku peduli. Begitu juga saat reveal sang impostor.
Aku ... gak menduga sih iya. Tapi juga gak terlalu tercengang, karena tidak pernah ada hal signifikan yang menggiring ke arah sana secara emosional. Namun, aku sudah sangat menebak kalau Impostor-nya bukan Tama, sebab penulis bikin steatment "Yang ngeselin belum tentu jahat" berkali-kali.
Jadi saat Tama bertingkah SUS atau ngeselin, aku yakin 100% bahwa itu cuma false foreshadowing. Aku jamin kalian semua akan merasakan itu juga saat membaca bukunya. Aku juga rada kurang suka fakta bahwa breaking point Laut saat diintrogasi adalah Anjani. Maksudku ... dari segala hal penting bagi Laut di dunia ini, dia berontak cuma karena si interogator menyinggung Anjani?
Mohon maap, itu terlalu klise, terlalu dangkal untuk cerita seberat ini. Atau mungkin akunya yang gak punya hate. Au ah ah gelap!
Barangkali satu kekurangan novel ini yang sangat-sangat-sangat aku sayangkan, yaitu building dan pay off yang terlalu sering diungkit, padahal kalau dijadikan tersirat akan lebih nyess ke pembaca. Yap, aku membicarakan perihal petak umpet Laut dan Asmara saat mereka kecil. Itu akan menjadi momen kesukaanku kalau saja penulis tidak selalu mengungkitnya sepanjang cerita.
Jadi ... Laut dan Asmara pernah bermain petak umpet, tapi Laut malah pulang sehingga Anjani mengira Laut hilang diculik. Setelah mengetahui Laut baik-baik saja, Asmara pun menangis sejadi-jadinya, bersyukur sang kakak tidak terluka. WOW ... itu ironi yang sangat keren kan? Pada akhirnya Laut benar-benar menghilang akibat diculik.
THAT WAS GREAT! Namun oh nenamun, setelahnya hal itu selalu diungkit oleh Laut dan Asmara.
POV Laut mengatakan, "Mara, ingatkah kamu saat kita main petak umpet, lalu aku pulang dan kamu pikir aku diculik ...."
POV Asmara mengatakan, "Laut, aku ingat saat kita main petak umpet dan aku mengira kamu hilang padahal kamu cuma pulang ...."
Like ... IYA KITA PAHAM ITU MOMEN TERBAIK, TIDAK PERLULAH DIUNGKIT TERUS!!! Kesan UwU dan ironinya malah jadi hilang, kalian mengerti maksudku?
Nah, poin itu menutup pembahasan Plot dari novel Laut Bercerita. Aku sebenarnya paham kenapa orang-orang memberikan rating tinggi pada novel ini. Selain susunan bahasa yang indah, keberanian penulis mengangkat plot sensitif juga patut diapresiasi tinggi.
Aku pribadi tidak pernah terlalu menekuni 1998 berserta segala konflik di dalamnya, dan novel ini berhasil membuatku tertarik. Berkali-kali aku berhenti baca sejenak untuk mengecek Mbah Gugel tentang beberapa hal terkait tragedi 1998. Jadi sebagai novel yang mengangkat tema tragedi sejarah, novel ini bisa dikatakan berhasil.
Apakah ini yang terbaik, alias Flawless? Wah, aku pribadi tidak akan menyebutnya begitu, terutama melihat segala kekurangan yang kusebut di atas.
C. Penokohan
Laut. Digambarkan sebagai orang idealis tapi tidak berapi-api, mengharapkan Indonesia yang lebih baik, serta benar-benar ikut ke dalam segala aktivitas demi mewujudkan impian tersebut. Sebagai narator (sebab novel ini menggunakan POV1) Laut sangat mendayu-dayu, dan terkadang itu penyebab utama narasi buku ini jadi bertele-tele.
Asmara. Aku sangat suka perbandingan sifat Asmara dan Laut. Kalau laut Idealis, Asmara lebih ke realistis dan asertif. Meski Asmara juga menginginkan Indonesia yang lebih baik, dia berjuang dengan cara berbeda yang menurutnya lebih ber-impact serta aman. Dia juga tipe Girl Boss dan Feminis sejati. I love her for it!!!
Orang Tua Laut. Mereka ini rada ngeselin ...
Tunggu, jangan dulu lempar bakiak itu ke wajahku!!! Mereka tuh terlalu denial, sampai fantasi mereka tentang Laut lama-kelamaan malah membuatku kesal daripada terenyuh. Maksudku, bukankah mereka seharusnya tahu konsekuensi yang akan diterima Laut pada akhirnya? Toh, mereka tidak terlalu melarang atau peduli pada kegiatan Laut sebagai aktivis.
Ya, mereka memang tidak tahu pasti status Laut sebagai aktivis, tapi mereka punya pikiran ke situ. Setidaknya larang lebih keras, atau nasehati lebih dalam supaya Laut tidak terlalu menekuni kegiatan aktivisnya. Lah ini mereka terkesan legowo, bahkan mendukung, tapi setelah dapet konsekuensi malah merana gak udah-udah.
Ya ampun apakah aku baru saja melakukan VICTIM BLAIMING???
Teman-teman Aktivis Laut yang mungkin tidak akan kusebutkan satu-satu sebab peran mereka tidak terlalu semu. Ya, mereka penting. Ya, mereka menggerakkan plot. Ya, mereka punya latar belakang dan tujuan masing-masing. Tapi semua itu sebagian besar diceritakan oleh Laut, dalam bentuk narasi pula sehingga simpatiku tidak sebesar itu pada mereka. Is this hot take?
D. Dialog
Ada satu hal aneh yang dilakukan penulis pada dialog novel ini. Alih-alih menulis dialog sebagaimana mestinya (dengan kutip dua), belio malah menjabarkannya dengan narasi. Entah itu memang sebuah metode dalam pernovelan, atau itu memang gaya belio menuliskan percakapan antar tokohnya.
Aku akan berikan sebijiq contoh ....
(Laut Bercerita Hal. 86)
Hal yang seharusnya mengandung dialog malah dijabarkan narasi. Metode seperti itu terjadi beberapa kali sepanjang novel. Memang tidak terlalu menganggu, toh kalau dijadikan dialog pun malah terkesan ping-pong. Aku cuma penisirin kenapa penulis memutuskan untuk melakukan itu alih-alih memberi dialog yang memang konkret.
Namun, selain hal itu aku tidak punya keluhan lain. Beberapa dialog bahkan mengandung quotes yang bikin termehek-mehek. Dialog para interogator yang juga terasa mengintimidasinya padahal tidak terlalu dijabarkan membentak-bentak. Itulah kengerian yang sesungguhnya.
E. Gaya Bahasa
Kita diajak melihat cerita ini dari sudut padang Laut, sebab novel ini mengangkat POV1. Sebagai narator, Laut sangat bisa meluluhkan hati pembaca, cara bicaranya, caranya melihat situasi, dan caranya mengatur emosi. Bisa dilihat dari narasi-narasinya kalau Laut itu tipe orang idealis yang juga kalem. Berbeda dari adiknya yang berapi-api.
Kenapa aku membandingkan mereka? Sebab di babak kedua, sudut pandang berubah ke Asmara. Jujurlly, keduanya punya kepribadian yang kuat dan itu tergambarkan jelas dari narasi batin mereka. Secara keselurhan tidak ada masalah.
Cuma ada satu hal yang menjadi problem-ku pada Laut ... HIS FREAKIN DIRTY BRAIN!
Why, Laut? Why your otak so kotor? Setiap kali aku merasa interaksi Laut dan Anjani sangat kiyuut dan UwU dan wholesome. Laut pasti langsung mebicarakan hasrat laki-lakinya. Tentulah kesan UwU-nya jadi hilang untukku. Alih-alih romantis dan tulus, aku berasanya Laut ini cuma nafsuan doang ame si Anjani.
Mungkin itu sebabnya aku merasa aneh saat Laut berperilaku difensif begitu nama Anjani disebut-sebut saat interogasi. Menurutku, kemistri mereka tidak didasari oleh sesuatu yang cukup tulus sampai Laut harus bereaksi seperti itu. Kesanya kayak. "Yaelah ...." gitu loh.
Tapi itu juga membuatku bertanyea-tanyea, apakah memang seperti itu isi kepala pria dewasa setiap kali melihat wanita? Pasti ada yang "terpacu" di dalam dirinya padahal cuma tatapan mata gitu? That is kinda creepy ....
Well ... mungkin aku terlalu banyak baca Middle Grade yang segmen romantisnya cuma pegangan tangan, top-topnya ciyum pipi. Atau mungkin karena penulis sedikit-banyak terinspirasi budaya barat, sebab agak imposibel hubungan mama-papa sebelum nikah ditanggapi senormal ini pada tahun 1998
Seperti yang kita semua tahu hal-hal seperti itu agak tabu di negeri kita tercinta. Atau (lagi) akunya yang kuper dan kagak ngerti gaya hidup Laut DKK I DON'T KNOW!!! I DON'T KNOW!!!
F. Penilaian
Cover : 4
Plot : 3
Penokohan : 2
Dialog : 2
Gaya Bahasa : 2
Total : 3 Bintang
G. Penutup
Novel ini punya keistimewaannya sendiri, itu sudah jelas. Namun, untuk novel paling sampoerna? Wah, menurutku pribadi sih itu terlalu dibesar-besarkan, h3h3 ... tentu saja pendapat ini mencangkup subjektifitas jadi JANGAN MENDEBATKU SEBAB AKU SELALU BENAR DI BLOG INI!
Ekhem ... sebenarnya juga tidak ada yang meng-claim ini novel terbaik. Namun, reputasi novel ini di khalayak ramai bahkan lebih bagus daripada Dekisugi Honekawa yang secara harfiah Gary Stu. Barangkali lantaran tema yang diangkat, atau cara penulis membawa tema yang diangkatnya.
Nah, segitu dulu review novel Laut Bercerita. Untuk selanjutnya aku akan membaca .... ENTAHLAH memangnya aku akan menepati janjiku sekalipun sudah kusebut di sini?!?!?!?
Paling-paling aku bilang bakal baca Novel A, ternyata yang diabca Novel Z. SUDAH CUKUP!!!
Sampai jumpa di lain hari ^o^/
Comments
Post a Comment