Bibi Gill
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786239726249
Tebal : 358 Halaman
Blurb :
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786239726249
Tebal : 358 Halaman
Blurb :
Apakah dia bisa menemukan jawaban yang selama ini dia cari?
Hei, jika kalian melihat seseorang yang amat sederhana, seperti ibu-ibu penjaga kantin, tukang sapu, sopir ojek online. Jangan buru-buru menilainya memang sesederhana itu. Boleh jadi dia adalah pemilik teknik bertarung paling mematikan di dunia paralel.
Buku in adalah buku ke-12 dari serial BUMI.
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Terkena Reading Slump
Hai, hai para pembaca Review Impy yang budiman. Aku akhirnya mampu membuat review setelah berminggu-minggu terkena Reading Slump sehingga hanya rebahan alih-alih membaca di waktu luang. Mungkin ini akibat stres berkepanjangan setelah membaca serial sebelah yang sangat aduhai. Lihatlah betapa novel brekele begitu memengaruhi suasana hati pembaca, but I can’t stop somehow!Maka suatu hari, aku membaca ulang novel favoritku sepanjang masa—A Man Called Ove—guna mengembalikan gairah terhadap pernovelan. Dan itu berhasil! Novel A Man Called Ove seolah mengingatkanku bahwa masih ada novel bagus di luar sana, sekaligus mengingatkan betapa aku sangat mengidolakan Frederik Backman.
Ekhem ... setelah memanjakan diri dengan karya-karya Om Backman, aku pun siap kembali menyiksa diri. Namun, bukan dengan seri sebelah, aku belum siap fisik dan mental untuk itu. Di sisi lain, Om Tere Liye datang kepadaku dengan angin yang tidak terlalu segar, membawa Bibi Gill dan Sagaras sebagai kemurahan hatinya!
Sumpah sudah dibuat, dan tentunya harus dijalankan dengan sepenuh hati. Kita mulai dari Bibi Gill.
Sampul novel ini. Oh, haruskah kita membahasnya lagi? Satu-satunya hal yang salalu aku suka dan mendapatkan nilai tinggi dari seri ini adalah sampulnya. Lagi pula, cuma faktor itu yang konsisten dari seri barokah ini h3h3 ... Meskipun, sebenarnya aku tidak berhak mengomentari sampul, karena aku membaca versi yang BELUM DIEDIT!
Baiklah, tanpa basa-basi mari kita lanjutkan serial to Infinity and Beyond-nya Pacc Tere Liye.
B. Plot
Melanjutkan kisah di novel Si Putih, di mana N-ou masuk ke klan Polaris Baru, sementara si Putih terjebak bersama Pak Tua di Polaris Lama. Dan, ya ... Pak Tua di sini masih tidak punya nama. Benar-benar cuma disebut “Pak Tua” sepanjang buku, dan aku tidak tahu apa maksudnya. Tunggu dulu ... rasanya aku tahu! Tentu saja supaya Pacc Tere bisa bikin buku baru tentang Pak Tua meskipun tidak ada yang meminta ha-ha-ha. Tertebak sekali taktikmu, Georgio!Kembali ke topick!
Posisi N-ou di sini pun secara harfiah digantikan oleh Bibi Gill, karena lagi-lagi mereka bertualang menjadi trio. Sifat N-ou dan Gill pun sangat mirip, hampir-hampir tidak ada bedanya. Kita akan bahas pasal ini lebih lanjut di segmen Penokohan. Akan tetapi, kita punya tokoh tambahan robot bernama H3L0. Dia tidak terlalu memiliki kepribadian, selain menandakan bahwa Pacc Tere bakal bikin buku lain yang mengambil latar di Klan Proxima Centaury, karena si robot berasal dari sana.
Tentang si robot, untuk beberapa alasan dia bisa segala hal kecuali bicara. Dia cuma bisa berucap “Helo” dan hanya itu dialognya sepanjang buku. Awalnya aku mau protes, karena secara teknis bicara adalah salah satu fitur paling awal dalam perkembangan robot sebelum hal-hal lainnya seperti memasak atau menyembuhkan. Apa lagi kita sedang membicarakan klan yang digembar-gemborkan jauh lebih canggih dari Bumi!
Tapi apa boleh buat, mungkin perkembangan robot di Bumi dan Proxima Centaury beda sistim, aku nurut aje dah ama World Building yang disajikan Pacc Tere.
Nah, tujuan petualangan mereka kali ini adalah mencari Tujuh Bola Naga. Enggak, deng! Tapi mereka memang mencari hewan naga.
Sebenarnya itu tujuan Gill sendiri, tapi Pak Tua dan Si Putih memilih ikut bertualang biar ada atap untuk bernaung. Mengapa Gill ingin mencari naga? Ternyata eh ternyata, Gill ingin melakukan bonding dengan Induk Naga supaya bisa balas dendam kepada Monster Kegelapan yang sudah menghancurkan hidupnya. Sebab Naga dipercaya sebagai hewan yang paling WOW di klan Polaris.
Di perjalanan mereka yang SANGAT GAMPANG itu pun, Gill sekaligus menceritakan masa lalunya kepada Pak Tua. Di sinilah kita diberitahukan sejarah tentang Bibi Gill si Pengintai Terhebat dari Klan Bulan. Kisah yang menjadikan Bibi Gill sebagai pribadi yang kita kenal sekarang.
Kalian tahu apa komentarku saat mengetahui konsep itu?
Konsep yang menceritakan masa kini sekaligus selipan-selipan masa lalu si tokoh utama, yang membuat kita mengenalnya lebih dekat ....
KOK JADI KAYAK SI OVE!
Bukan, aku bukan menuduh Tere Liye meniru novel A Man Called Ove. Toh, banyak novel lain yang mengangkat konsep serupa. Aku hanya mau mengomentari betapa signifikannya perbedaan eksekusi konsep tersebut pada masing-masing novel. Di novel A Man Called Ove transisi dari masa kini-ke masa lalu-ke masa kini lagi dituliskan dengan begitu halus. Kalau di Bibi Gill kesannya terburu-buru dan melompat-lompat.
Di novel Ove, aku bisa bersimpati sepenuhnya dengan si tokoh utama (Ove). Ikut merasakan emosinya ketika senang, sedih, maupun marah. Aku bisa memahami setiap kejadian dalam hidup Ove yang mengubah pribadinya sejak kecil hingga dewasa. Pada akhirnya aku jadi sangat mencintai Ove si kakek penggerutu yang sekarang.
Di sisi lain, masa lalu Bibi Gill memang menyedihkan, tapi tidak ada permainan emosi lain di dalamnya. Aku sedih, karena memang disuruh sedih. Tidak ada sisi kompleks yang membuatku pribadi sebagai pembaca bersimpati lebih jauh kepada Gill. Sekali lagi, karena penyampaian yang terburu-buru.
Belum lagi plot ngebut serta rangkaian kebetulan yang masih sering terjadi. Sebenarnya itu sudah menjadi semacam ciri khas Pacc Tere sejak novel Selena. Semenjak seri ini sengaja dipanjang-panjangin padahal seharusnya sudah tamat sejak novel Komet, ups ....
Maksudku, tolonglah! Perjalanan mereka bertiga terlampau lempeng. Tidak ada rintangan, lika-liku, atau ketegangan. Apa pun tujuan mereka akan didapatkan saat itu juga Mereka mau cari portal, langsung ketemu portal. Mereka mau buka portal, langsung kebuka portal. Mereka mau ketemu kota penduduk, langsung ketemu kota penduduk. Mereka nyari naga, langsung dateng naga.
Kalau begini caranya, ekspektasiku untuk sebuah plot yang barokah apa, dong? Aku butuh sesuatu yang EXCITED! You know what I mean, Bruv?
Pasal plot tiba-tiba berkah. Jadi, Trio Uhuy ini ceritanya masuk ke Klan Polaris Minor, tepatnya ke kota yang selalu disinari matahari. Eh, gak ada ujan, gak ada angin, begitu mereka datang mataharinya langsung terbenam (bruuh). Lebih parah lagi, kalau matahari terbenam, hewan-hewan buas akan datang menyerang kota itu. Maka Gill pun ‘kebetulan banget’ ada di situ untuk menjadi pelindung mereka semua.
Memang sih, dikatakan kalau kota itu ada siklus matahari terbenamnya sekali selama berapa tahun (aku lupa kapan persisnya) Tapi gini loh, kan bisa matahari terbenam itu jadi perbincangan dulu, atau terjadinya masih lama sehingga Trio Uhuy bisa menjelajahi klan itu, serta mengenal penduduknya dengan lebih baik, sekaligus ikut bantu bersiap-siap untuk matahari terbenam.
Ini tidak! Trio Uhuy datang, penduduk menyambut meriah dengan pesta seolah tidak akan terjadi apa-apa, dan tiba-tiba matahari terbenam, tiba-tiba penduduk langsung panik setengah modar seolah hal ini belum pernah terjadi. Make it make sense!
Kalau tetap mau matahari terbenam bertepatan dengan kedatangan mereka, kenapa tidak buat para penduduk murung dan waspada? Kenapa para penduduk brekele ini malah pesta-pesta seolah gak akan terjadi apa-apa, lantas baru pada panik pas matahari udah terbenam? Aku mau ikut tegang dan bersimpati pada mereka saat serangan hewan buas pun susah, karena mereka sendiri tidak menunjukkan ketegangan itu! (elus dada).
Namun, dari segala hal brekele di atas, ada beberapa bagian yang aku sukai dari novel ini. Tidak seperti seri yang dulu-dulu, aku menyelesaikan novel ini cukup cepat. Konsep hewan-hewan raksasa masih seru, aksi melawan hewan-hewan juga seru, meskipun pada akhirnya tetap Gill yang akan menang karena dia Mary Sue! Secara pribadi, aku paling suka adegan para penduduk mengungsi di gua. Ketegangannya dapat.
Masa lalu Gill juga bisa dibilang oke, lebih tepatnya ada beberapa yang menyentuh soft spot-ku. Meskipun seperti yang kukatakan sebelumnya, kekurangan emosi, karena kita memang dipaksa untuk sedih. Mungkin, masa lalu favoritku adalah saat Gill masih anak-anak, karena ada vibe Middle Grade di sana, h3h3.
Karena kita sedang membahas masa kecil. Masa kecilnya Gill sedikit-banyak mengingatkanku pada awalan film frozen. Coba kalian perhatikan rangkuman di bawah ini ....
Elsa punya kekuatan es => Gill punya kekuatan es.
Bukan, aku bukan menuduh Tere Liye meniru novel A Man Called Ove. Toh, banyak novel lain yang mengangkat konsep serupa. Aku hanya mau mengomentari betapa signifikannya perbedaan eksekusi konsep tersebut pada masing-masing novel. Di novel A Man Called Ove transisi dari masa kini-ke masa lalu-ke masa kini lagi dituliskan dengan begitu halus. Kalau di Bibi Gill kesannya terburu-buru dan melompat-lompat.
Di novel Ove, aku bisa bersimpati sepenuhnya dengan si tokoh utama (Ove). Ikut merasakan emosinya ketika senang, sedih, maupun marah. Aku bisa memahami setiap kejadian dalam hidup Ove yang mengubah pribadinya sejak kecil hingga dewasa. Pada akhirnya aku jadi sangat mencintai Ove si kakek penggerutu yang sekarang.
Di sisi lain, masa lalu Bibi Gill memang menyedihkan, tapi tidak ada permainan emosi lain di dalamnya. Aku sedih, karena memang disuruh sedih. Tidak ada sisi kompleks yang membuatku pribadi sebagai pembaca bersimpati lebih jauh kepada Gill. Sekali lagi, karena penyampaian yang terburu-buru.
Belum lagi plot ngebut serta rangkaian kebetulan yang masih sering terjadi. Sebenarnya itu sudah menjadi semacam ciri khas Pacc Tere sejak novel Selena. Semenjak seri ini sengaja dipanjang-panjangin padahal seharusnya sudah tamat sejak novel Komet, ups ....
Maksudku, tolonglah! Perjalanan mereka bertiga terlampau lempeng. Tidak ada rintangan, lika-liku, atau ketegangan. Apa pun tujuan mereka akan didapatkan saat itu juga Mereka mau cari portal, langsung ketemu portal. Mereka mau buka portal, langsung kebuka portal. Mereka mau ketemu kota penduduk, langsung ketemu kota penduduk. Mereka nyari naga, langsung dateng naga.
Kalau begini caranya, ekspektasiku untuk sebuah plot yang barokah apa, dong? Aku butuh sesuatu yang EXCITED! You know what I mean, Bruv?
Pasal plot tiba-tiba berkah. Jadi, Trio Uhuy ini ceritanya masuk ke Klan Polaris Minor, tepatnya ke kota yang selalu disinari matahari. Eh, gak ada ujan, gak ada angin, begitu mereka datang mataharinya langsung terbenam (bruuh). Lebih parah lagi, kalau matahari terbenam, hewan-hewan buas akan datang menyerang kota itu. Maka Gill pun ‘kebetulan banget’ ada di situ untuk menjadi pelindung mereka semua.
Memang sih, dikatakan kalau kota itu ada siklus matahari terbenamnya sekali selama berapa tahun (aku lupa kapan persisnya) Tapi gini loh, kan bisa matahari terbenam itu jadi perbincangan dulu, atau terjadinya masih lama sehingga Trio Uhuy bisa menjelajahi klan itu, serta mengenal penduduknya dengan lebih baik, sekaligus ikut bantu bersiap-siap untuk matahari terbenam.
Ini tidak! Trio Uhuy datang, penduduk menyambut meriah dengan pesta seolah tidak akan terjadi apa-apa, dan tiba-tiba matahari terbenam, tiba-tiba penduduk langsung panik setengah modar seolah hal ini belum pernah terjadi. Make it make sense!
Kalau tetap mau matahari terbenam bertepatan dengan kedatangan mereka, kenapa tidak buat para penduduk murung dan waspada? Kenapa para penduduk brekele ini malah pesta-pesta seolah gak akan terjadi apa-apa, lantas baru pada panik pas matahari udah terbenam? Aku mau ikut tegang dan bersimpati pada mereka saat serangan hewan buas pun susah, karena mereka sendiri tidak menunjukkan ketegangan itu! (elus dada).
Namun, dari segala hal brekele di atas, ada beberapa bagian yang aku sukai dari novel ini. Tidak seperti seri yang dulu-dulu, aku menyelesaikan novel ini cukup cepat. Konsep hewan-hewan raksasa masih seru, aksi melawan hewan-hewan juga seru, meskipun pada akhirnya tetap Gill yang akan menang karena dia Mary Sue! Secara pribadi, aku paling suka adegan para penduduk mengungsi di gua. Ketegangannya dapat.
Masa lalu Gill juga bisa dibilang oke, lebih tepatnya ada beberapa yang menyentuh soft spot-ku. Meskipun seperti yang kukatakan sebelumnya, kekurangan emosi, karena kita memang dipaksa untuk sedih. Mungkin, masa lalu favoritku adalah saat Gill masih anak-anak, karena ada vibe Middle Grade di sana, h3h3.
Karena kita sedang membahas masa kecil. Masa kecilnya Gill sedikit-banyak mengingatkanku pada awalan film frozen. Coba kalian perhatikan rangkuman di bawah ini ....
Elsa punya kekuatan es => Gill punya kekuatan es.
Elsa melukai adiknya saat menggunakan kekuatan => Gill melukai temannya saat menggunakan kekuatan.
Sesepuh Troll melarang Elsa menggunakan kekuatan es karena bahaya => Sesepuh kampung melarang Gill menggunakan kekuatan es karena bahaya.
Kebetulan? Aku rasa tidak!
Intinya sih, di beberapa bagian aku tidak bisa mengerti logika novel ini, atau merasa terganggu dengan segala hal brekele di dalamnya. Tapi ada juga saat-saat di mana aku enjoy, entah itu dari konsep World Building setiap klan dan teknologinya yang keren, atau penjabaran kenampakkan alam yang indah, juga adegan bertarung yang lugas.
Kebetulan? Aku rasa tidak!
Intinya sih, di beberapa bagian aku tidak bisa mengerti logika novel ini, atau merasa terganggu dengan segala hal brekele di dalamnya. Tapi ada juga saat-saat di mana aku enjoy, entah itu dari konsep World Building setiap klan dan teknologinya yang keren, atau penjabaran kenampakkan alam yang indah, juga adegan bertarung yang lugas.
C. Penokohan
Gill. Keberadaan Gill muda ini membuatku sadar kalau Tere Liye kehabisan ide dalam membuat tokoh dan penokohan. Kenapa? Karena secara teknis Gill sama dengan N-ou, bedanya Gill perempuan sedangkan N-ou laki-laki. Mereka sama-sama Mary Sue dan/atau Gary Stu.Gill sempurna, hebat, cantik, disukai banyak orang, secara harfiah tidak memiliki kekuarangan. Yah, dia memiliki kekuarang, tapi kekurangannya lebih ke ‘keren’ daripada benar-benar kekurangan yang memanusiakan. Dia dingin, santai, bicara seperlunya, dan tidak pernah menganggap apa pun serius karena dia tahu dirinya hebat, bisa menyelesaikan segala masalah.
Itu sebabnya aku tidak merasakan apa pun setiap kali Gill melawan musuh-musuh, karena aku tahu dia PASTI MENANG. Dia bahkan bisa langsung menaklukkan induk naga raksasa dalam sekali coba! Bisa dengan mudah mengendalikan ‘Monster Kegelapan’ setelah tahu kebenarannya.
Terus, apa yang bisa kita harapkan dari seorang Mary Sue, selain kesempurnaan? Rasanya tokoh Gill bisa menjadi contoh yang bagus tentang mengapa tokoh Mary Sue adalah trope paling buruk dalam penokohan novel. Membuat cerita jadi hambar.
Pak Tua. Kalau di novel Si Putih, Pak Tua lebih sering menggerutu, beban, dan menyebalkan. Di sini, untuk beberapa alasan dia jadi pskiaternya Gill. Tempat curcol dan berkeluh kesah, karena ternyata itulah ‘kekuatan’ Pak Tua. Bisa membuat orang lain bercerita dengan suka rela (muter bola mata).
Si Putih. Si Putih ini ternyata nama aslinya Vapa. Kucing asli Klan Polaris Minor yang tadinya melindungi kota itu dari serangan hewan-hewan malam. Namun, itu semua terjadi sebelum Si Putih bertemu N-ou. Artinya, Si Putih punya tuan lain sebelum N-ou dari Klan Polaris Minor ini.
Aku sangat berharap si tuan terdahulu Si Putih diperkenalkan kepada kita, karena ya ... rasanya orang itu penting untuk plot, dan masuk akal untuk dijelaskan. Iya, ‘kan? Sayangnya, orang itu malah tidak pernah disebut-sebut. Si Putih pun jadi kucing useless aja sepanjang cerita. Dan aku tidak pernah merasa seheran ini dalam hidupku saat membaca novel.
H3L0. Robot pembantu dan bisa segalanya. Tokoh Mary Sue selain Gill barang kali.
Zat. Dia tidak terlalu penting untuk plot, tapi perannya banyak juga di novel ini untuk menjelaskan segala hal tentang Klan Polaris Minor, dan untuk adegan panik.
Orang-orang dari masa lalu Gill yang bernasib nahas.
D. Dialog.
Aku selalu mengatakan, hal paling brekele dari novel-novel Pacc Tere adalah cara belio menuliskan dialog. KEBANGETAN KAKU! Setidaknya begitulah yang aku perhatikan di seluruh Serial Bumi, dialog antar tokohnya benar-benar aduhai.Kalian mungkin beranggapan, “Ah, ini mah elunya aje yang kagak suka dialog berbahasa baku!”
Eits ... perlu kalian ingat kalau aku SANGAT SUKA dialog berbahasa baku. Setiap buku terjemahan yang aku baca pasti menggunakan bahasa baku. Tapi dalam dialog berbahasa baku pun ada yang disebut NATURAL. Sayangnya, Pacc Tere belum bisa menuliskan dialog yang natural sehingga saat ada dua tokoh bercakap-cakap aku malah merasa canggung, bukannya kemistri. Padahal tujuan utama dialog memang untuk membangun kemistri!
Ada satu ciri khas Tere Liye di seluruh Serial Bumi, di mana belio selalu mengatakan tokoh-tokohnya bersahabat sejati selamanya banget, tapi lewat dialog. Hal ini terjadi juga kepada Gill dan sahabat-sahabatnya.
Di satu dialog salah satu dahabat Gill akan berkata. “Kita ini sahabat sejati! Ke mana pun kamu pergi, kita akan pergi.”
Atau saat Pak Tua bilang, “Kalian benar-benar sahabat sejati. Pastilah kau sangat sedih kehilangan mereka.”
Like, Please Pacc Tere! Don’t tell me! SHOW ME!
Aku menolak percaya kalau mereka adalah sahabat sejati selamanya, kalau porsi adegan ‘persahabatan’ saja selalu dikasih tahu lewat dialog. Padahal kenyataannya mereka canggung setiap kali bercakap-cakap.
Like, Please Pacc Tere! Don’t tell me! SHOW ME!
Aku menolak percaya kalau mereka adalah sahabat sejati selamanya, kalau porsi adegan ‘persahabatan’ saja selalu dikasih tahu lewat dialog. Padahal kenyataannya mereka canggung setiap kali bercakap-cakap.
Singkatnya mungkin begini ... Setiap dialog dalam novel ini ibarat orang-orang asing yang dimasukkan ke dalam satu ruangan sempit, dan dipaksa ngobrol! Ya, begitulah! (Sabar ... sabar ....)
Pacc Tere juga beberapa kali mencoba membuat dialog UwU dan romantis antara Gill dan Bill, yang sayangnya ... Fail. Maaf, Pacc! I just can’t feel the spark between them. No mater how hard I try.
Hey, that is actually pretty good and catchy!
Sebenarnya teknik Tell itu bukannya forbidden dalam sebuah novel. Teknik Tell membuat cerita lugas, cepat, dan tersampaikan maksudnya dengan baik. Namun, kalau pemakaiannya ada di SELURUH NARASI, itu baru menjadi problem. Teknik Tell yang terus-menerus, bisa berdampak pada laju alur yang terlalu buru-buru, tidak ada permainan emosi, tidak bisa mengajak pembaca untuk ikut ke dalam cerita, karena itu semua adalah kelebihan dari teknik Show.
Dan itulah yang terjadi pada novel Bibi Gill. Suka ngebut seperti suamiku, Marc Marquez.
Ini yang paling parah, kadang-kadang ‘narasi’ yang dibuat Pacc Tere bahkan bukan narasi sama sekali, melainkan hanya satu kata. Misalnya menjabarkan interaksi tertawa hanya dengan “Tertawa”, menjabarkan adegan kejar-kejaran dengan “Mengejar” (Makan kapur barus). Percayalah, benar-benar seperti itu! Kalian mungkin akan paham kalau membaca novelnya sendiri.
Ayolah Pacc Tere!!! Itu bahkan bukan kalimat! Apakah Engkao semalas itu sampai tidak mampu membuat narasi yang minimal mengandung SPOK?
Entahlah, aku membaca versi yang belum diedit, jadi aku yakin versi buku akan lebih baik. Namun, sekarang aku tahu akan jadi seperti apa novel-novel Tere ‘Tell’ Liye tanpa editor, dan aku tidak terlalu senang dengan pengetahuan itu itu. How to unsee ....
Satu hal lagi ... (beneran satu lagi, elah!)
ONOMATOPE BERSERAKAN DI MANA-MANA!!!
MAKE IT STOP!!!
Plot : 2,5
Penokohan : 1
Dialog : 1
Gaya Bahasa : 1
Total : 2 Bintang
Tapi tetap saja ... aku akan ladeni apa pun yang coba Tere ‘Tell’ Liye berikan kepadaku. Aku belum mau menyerah padamu, Zeyenk!
Anehnya, setelah membaca serial sebelah yang beanr-benar aduhai, aku tidak terlalu tersiksa dengan novel ini. Masalahnya, penderitaan yang kuterima di novel ini tidak ada apa-apanya dibandingkan serial sebelah. Aku sangat bersyukur karena itu, tapi di sisi lain jadi paranoid untuk memulai lagi serial sebelah.
Nah, segitu dulu review dariku. Dan ini belum berakhir, karena masih ada Sagaras. Aku akan coba membaca novelnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya! MERDEKA!
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Pacc Tere juga beberapa kali mencoba membuat dialog UwU dan romantis antara Gill dan Bill, yang sayangnya ... Fail. Maaf, Pacc! I just can’t feel the spark between them. No mater how hard I try.
E. Gaya Bahasa
Banyak juga catatan yang kubuat untuk segmen ini. Terutama tentang betapa banyaknya teknik Tell pada setiap narasi maupun dialog. Saking banyaknya, aku sampai punya sebutan baru untuk Pacc Tere, yaitu Tere ‘Tell’ Liye.Hey, that is actually pretty good and catchy!
Sebenarnya teknik Tell itu bukannya forbidden dalam sebuah novel. Teknik Tell membuat cerita lugas, cepat, dan tersampaikan maksudnya dengan baik. Namun, kalau pemakaiannya ada di SELURUH NARASI, itu baru menjadi problem. Teknik Tell yang terus-menerus, bisa berdampak pada laju alur yang terlalu buru-buru, tidak ada permainan emosi, tidak bisa mengajak pembaca untuk ikut ke dalam cerita, karena itu semua adalah kelebihan dari teknik Show.
Dan itulah yang terjadi pada novel Bibi Gill. Suka ngebut seperti suamiku, Marc Marquez.
Ini yang paling parah, kadang-kadang ‘narasi’ yang dibuat Pacc Tere bahkan bukan narasi sama sekali, melainkan hanya satu kata. Misalnya menjabarkan interaksi tertawa hanya dengan “Tertawa”, menjabarkan adegan kejar-kejaran dengan “Mengejar” (Makan kapur barus). Percayalah, benar-benar seperti itu! Kalian mungkin akan paham kalau membaca novelnya sendiri.
Ayolah Pacc Tere!!! Itu bahkan bukan kalimat! Apakah Engkao semalas itu sampai tidak mampu membuat narasi yang minimal mengandung SPOK?
Entahlah, aku membaca versi yang belum diedit, jadi aku yakin versi buku akan lebih baik. Namun, sekarang aku tahu akan jadi seperti apa novel-novel Tere ‘Tell’ Liye tanpa editor, dan aku tidak terlalu senang dengan pengetahuan itu itu. How to unsee ....
Satu hal lagi ... (beneran satu lagi, elah!)
ONOMATOPE BERSERAKAN DI MANA-MANA!!!
MAKE IT STOP!!!
F. Penilaian
Cover : 4Plot : 2,5
Penokohan : 1
Dialog : 1
Gaya Bahasa : 1
Total : 2 Bintang
G. Penutup
Yah, begitulah. Serial Bumi tetap Serial yang Brekele. Seolah serial ini dibuat tanpa tujuan yang konkret. Kabar baiknya, Pacc Tere beberapa kali memberi kode di novel ini bahwa dia masih akan membuat banyak buku, karena Dunia Paralel mungkin ada Triliunan jumlahnya! (God have mercy!)Tapi tetap saja ... aku akan ladeni apa pun yang coba Tere ‘Tell’ Liye berikan kepadaku. Aku belum mau menyerah padamu, Zeyenk!
Anehnya, setelah membaca serial sebelah yang beanr-benar aduhai, aku tidak terlalu tersiksa dengan novel ini. Masalahnya, penderitaan yang kuterima di novel ini tidak ada apa-apanya dibandingkan serial sebelah. Aku sangat bersyukur karena itu, tapi di sisi lain jadi paranoid untuk memulai lagi serial sebelah.
Nah, segitu dulu review dariku. Dan ini belum berakhir, karena masih ada Sagaras. Aku akan coba membaca novelnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya! MERDEKA!
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Komentar-komentar tambahan dalam catatanku.
1. Kenapa kakak-kakaknya Gill tidak dikasih nama, dan hanya disebutkan usianya? Aku semakin tidak bisa bersimpati dengan kondisi mereka. Haruskah aku peduli pada sesuatu atau seseorang yang namanya sendiri tidak aku ketahui? Mungkin, tapi porsinya sangat sedikit.2. Entah kenapa vibe Klan Bulan yang selama ini canggih dan mengaggumkan jadi berkurang, karena penjabaran Klan Bulan dalam novel ini malah kayak kampung nelayan biasa.
3. Tere Liye seolah tahu kalau soft spot-ku adalah anak-anak. Baiklah! Kuwa-kuwi Kao berhasil Pacc! This is UwU!
4. Buku ini lebih sering menghina Klan Bumi daripada buku-buku sebelumnya. Like, hellooow! Kalau bukan di PLANET BUMI, kalean tinggal di mana???
5. Sebenarnya aku juga bingung sama konsep dunia paralel dalam serial ini. Sejatinya kan dunia paralel itu adalah dunia yang berbeda, tapi tetap terjadi dalam satu waktu, dan satu wilayah. Seharusnya dari segi Geografis tidak ada yang berubah dong? Tapi di sini kok kesannya kayak udah ada di planet yang berbeda, dengan sistem tata surya yang juga berbeda. Seseorang tolong jelaskan padaku!
6. Kampus ABTT katanya teh kampus terbaik dan tercanggih di Klan Bulan, tapi kok murid selalu bisa berkeliaran ke tempat-tempat penting tanpa ketahuan. Dari mulai Selena, sekarang Gill dan Lima temannya. Kontradiksi macam apa ini?
Aku baru sampai baca bab bab awal novel ini ditambah gaya penulisan Tere Liye yang menurutku udah berubah jadi males ngelanjutin.
ReplyDeleteTapi pas aku main tiktok sempat liat cuplikan isi novelnya yang bagian kematian kematian orang orang yang dekat sama bibi gill.
Malah nggak nyangka kalo cerita bibi Gill ini bakalan segelap ini dan menurutku bisa berpotensi jadi salah satu novel paling angst dalam serial bumi.
Seandainya kalo bang Tere Liye pakai teknik 'show' nggak cuman pake tell doang. Pasti aku bakalan nyesek dan nangis Bombay. Kebetulan aku sudah sering baca novel yang ada angstnya akhir2 ini
Setuju sih. Total kematyan tokoh di sini paling banyak 👀
DeleteSayangnya memang siapa pun penulis buku ini gak bisa mengembangkan cerita semaksimal mungkin. Yang bikin aku kesel pembaca dipaksa sedih cuma dengan alesan kematyan tokoh, padahal tokoh itu juga belum terlalu berperan sampai bikin pembaca peduli.
(Oh, aku bilang "siapa pun penulis buku ini" karena Pacc T dibantu beberapa Ghost Writer. Makanya gaya bahasanya suka beda 👀)