86


Judul : 86

Penulis : Okky Mandasari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 2011

ISBN : 9789792267693

Tebal : 256 Hamalan

Blurb :

Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.

Pokoknya, 86!
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Rekan Kerja Pembawa Berkah

Hellow Pembaca Budiman! Izinkanlah Impy menampaikan se-uprit kisah barokah.

Sebagai seorang introvert terkadang aku sulit punya teman. Kalau tidak ada urusan aku bahkan ogah-ogahan mengajak orang lain ngobrol duluan. Namun, suatu hari novel membuatku akrab dengan seorang Guru Bahasa Indonesiaang juga penggila novel. Untuk seterusnya mari kita sebut belio sebagai Bu Guru.

Bu Guru memang penggila novel, tapi dia penikmat novel serius dalam artian buku motivasi, filosofi, intinya buku yang mengangkat tema sosial juga sejarah. Jadi ... walaupun kami sama, kami juga berbeda, y'know. Aku plonga-plongo kalau dia membicarakan novel Pulang atau Gadis Kretek. Dia pun plonga-plongo kalo aku membicarakan Serial SGE atau Harpot.

Biar begitu kami tetap saling merekomendasikan novel satu sama lain. Aku berusaha menghargai tipe bacaannya, dia pun sama, walaupun tahu kami tidak akan benar-benar menikmati bacaan masing-masing. Nah, suatu hari Guru Bahasa Indonesia ini (maksa) meminjamkanku novel. Genrenya fiksi, tapi mengangkat tema sosial yang reletable.

Itulah novel yang akan kita bahas hari ini. Judulnya 86.

"Kamu pasti suka novel ini, Bu. Bikin kesel, banyak plot twist, pokoknya buwagus buwanget!" katanya dengan wajah berbinar-binar.

Mau gak mau aku berusaha ikut excited, padahal dalam hati ngedumel, Kalau kagak ada Pangeran Elf atau Makhluk Mitologi atau Daddy Monster sih guweh gabakal suka!

Tadinya aku ogah-ogahan baca novel 86, tapi kemudian teringat kalau dia juga pernah kutawarin alias kupaksa membaca novel Kita Pergi Hari Ini karya Jeng Ziggy. Z sampai gumoh, maka aku pun bertekad untuk membaca novel ini dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Meski hati terasa lara, meski raga terasa luka, dan dompet terasa gada isinya. Mari kita membaca novel 86 demi menyenangkan hati Bu Guru. Btw, sampul dari novel punya Bu Guru dengan yang ada di banner atas berbeda. Jadi aku akan mengomentari versi yang kubaca saja, h3h3 ....

Versi sampul yang kubaca. Terbitan baru kali, ye ....

Aku suka perpaduan warna latar belakang begitu, biasanya aku juga memakai gradasi warna seperti itu saat membuat sampul. Karena judulnya yang singkat, mau tidak mau vibe covernya juga harus simpel. Namun, hal yang simpel itu dibikin istimewa berkat ilustrasinya yang aduhai dan sarat makna. Aku bakal memberi nilai lebih untuk sampul versi punya Bu Guru.

B. Plot

PNS atau Pegawai Negeri Sipil merupakan pekerjaan yang didambakan banyak orang tua di negeri tercinta ini untuk dimiliki anak-anaknya, sebab diangap kasta tertinggi dari sebuah pekerjaan. Keluarga baru akan dianggap "sukses" saat ada di antara mereka yang menjadi PNS, itulah kenyataannya.

Kalian mungkin bertanyea-tanyea "Apa sih istimewanya menjadi PNS?"

Jujur aku juga gatau, h3h3 ... Aku sering mendengar mamaku bilang, "Enak jadi PNS banyak tunjangannya. Naikin derajat keluarga, hidup pasti enak dan terjamin!" lantas belio tanpa lelah mengirim link pendaftaran CPNS setiap tahunnya, padahal aku gak ada niat ke situ sama sekali, Mah!

Tolong STOP kirim link CPNS!!!

Ya ... mugkin itulah yang orang-orang kejar dari jabatan PNS, atau fakta bahwa pekerjaan PNS begitu penting untuk kelangsungan negeri tercinta. Sebagai pondasi kokoh yang menopang atap negeri. Institusi kelas atas yang transparan serta berguna bagi masyarakat bangsa dan negara. Pasti begitu, 'kan?

Kita bisa tanya Arimbi, anak desa yang beruntung lolos seleksi keramat CPNS sampai akhirnya bisa bekerja di kantor pengadilan negeri. Orang tuanya di desa begitu bangga, satu desa menganggapnya orang sukses dan berkuasa. Nyatanya hidup Arimbi di Ibu Kota serba pas-pasan, bahkan boleh dibilang kurang.

Gaji tidak seberapa, biaya hidup serba mahal, jauh dari keluarga dan teman. Bagi Arimbi menjadi Pegawai Negeri tidak terlalu berpengaruh pada hidupnya secara signifikan. Mengapa demikian? Banyak orang menginginkan pekerjaannya, bahkan sampai bayar mahal. Teman-teman sekantornya jelas hidup enak dan tidak pernah kekurangan.

Apa yang salah dari Arimbi???

Salahnya adalah ... Arimbi terlampau jujur, atau katakanlah terlalu polos. Dia belum tahu cara main para Pegawai Negeri, dia belum tahu istilah 86, dia jelas tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang ketika menjadi seorang Pegawai Negeri. Apakah itu kalian mungkin bertanya-tanya?

Behold, budaya ✨K O R U P S I

Novel ini menunjukkan pada kita betapa parahnya budaya tersebut dalam ruang lingkup orang-orang yang seharusnya paling bersih, paling adil, serta paling netral. Tidak ada yang tidak bisa diatur dengan uang. Aku yakin orang-orang berhati UwU membaca novel ini merasa segala tindak-tanduk tokoh terlalu karikatur, terlalu stereotipikal.

Percayalah, tidak demikian ....

Beberapa memang didramatisir karena ini kisah fiksi, tapi selebihnya? Sebagai orang yang pernahcukup lama PKL di kantor instansi negara, aku sedikit-banyak tahu apa saja perilaku tak terpuji dari orang-orang yang seharusnya berperilaku paling baik, sebab merekalah orang-orang terpilih dari ribuan manusia yang juga menginginkan posisi serupa.

Kembali ke Plot! Arimbi sudah bekerja selama empat tahun dalam instansi tersebut, tapi dia tidak pernah benar-benar melakukan praktek 86, dia melihatnya tentu saja, tapi tidak pernah terjun langsung. Sampai suatu hari sebuah kasus membuatnya mendapatkan kejutan berupa AC gratis dari orang yang "berterima kasih". Sejak saat itu, Arimbi menginginkan lebih, dan mulai membuka diri untuk praktik86 lain.

Ini sebenarnya yang membuatku heran dari penokohan Arimbi. Dia bekerja selama empat tahun, dia tahu atasan dan teman dekatnya melakukan praktek 86, dan dia tidak pernah terlibat. Namun, sekali dia mendapatkan keuntungan dia merasa keheranan dan terkejut. Kenapa dia terkejut? Dia melihat itu terjadi setiap hari selama empat tahun pada rekan-rekannya, bukan?

Belum lagi Arimbi ini ibarat ikan mati yang mengikuti arus. Dia diajak melakukan ini, dia ikut. Disuruh berbuat itu, dia jalani. Disuruh nyebur ke rawa-rawa dia gaskan. Maksudku, Arimbi tidak pernah sekali saja duduk dan berpikir apakah memang itu yang ingin dia lakukan? Apakah hal itu berisiko? Apakah keuntungan yang didapat sepadan?

ARIMBI KAGAK PERNAH BERPIKIR DULU SEBELUM BERTINDAK!!!

Jadi jujur saja aku kurang bisa bersimpati saat dia merana, menangis, meratapi nasibnya yang begitu perih. Darling, kau punya pilihan, kau punya otak, kau punya pendirian, tapi kau buang semua itu! Tidak pernah juga ada yang terlalu memaksa Arimbi melakukan hal-hal buruk tersebut, Arimbi seringnya ditawarkan sesuatu, dan tanpa berpikir langsung diambil saja tawaran tersebut.

Aku cuma berharap ada sekali saja adegan Arimbi punya pendiriannya sendiri, bukan pendirian yang dibuat penulis untuknya. Tapi itu tidak pernah terjadi, dan aku benar-benar dibuat gregetan. Selain gregetan dengan semua pelaku praktik 86 tentunya.

Untungnya, atau tidak untung kalau boleh kubilang. Arimbi punya suami (Ananta) yang setia menemaninya di saat susah maupun senang. Kenapa kubilang tidak untung? Karena sifat dan sikap Ananta kagak ada bedanya dari si Arimbi, bjir! Sama-sama gak punya pendirian, sama-sama seperti ikan mati yang mengikuti arus, sama-sama impulsif.

Ya, aku miris dengan betapa menjamur praktik 86. Aku jelas ikut pilu saat Arimbi menjadi korban kotor dari praktik tersebut. Aku kesal dengan betapa tidak adilnya dunia pada orang-orang tak berduit. Mereka mendapat hukuman terberat untuk hal-hal yang mungkin tidak mereka lakukan.

Konten di novel ini semuanya membuatku kesal dan ingin pindah kewarganegaraan! Novel ini begitu berani dan sayangnya juga begitu nyata dengan keadaan. Tidak peduli dulu, atau sekarang, atau di masa depan, praktik 86 akan terus ada. Tinggal kita memutuskan untuk ikut nyebur ke dalamnya atau tidak.

Namun oh nenamun, segala hal yang terjadi pada Arimbi tidak membuat diriku pribadi bersimpati. Arimbi bertingkah seolah segala hal yang terjadi padanya adalah dampak dari praktik 86. Itu sebagian benar. Tapi sebagian besarnya terjadi, sebab Arimbi dan Ananta tidak ada yang punya pendirian. Sorry not sorry.

Aku akan akhiri segmen ini dengan info bahwa wajahku terus mengernyit sepanjang adegan Arimbi di penjara. Maksudku ... APAKAH BENAR ITU YANG TERJADI DI PENJARA PEREMPUAN??? I'M SHIK SHAK SHOK!!!

Aku heran saat Bu Guru bilang novel ini punya Plot Twist, sbeab aku tidak menemukannya di mana pun. Ternyata eh ternyata yang Bu Guru maksud adalah tapa mengejutkannya adegan di penjara perempuan. Eh, begini Bu Guru ... mengejutkan memang iya, tapi itu bukan Plot Twist, duong!

C. Penokohan

Arimbi. Gorl have brain but didn't use it. Aku paham Arimbi diceritakan sebagai orang desa yang polos. Namun, bedakan polos dengan BLO'ON! Selama empat tahun dia bekerja di pengadilan negara, dia tahu ada hal yang bisa diatur dengan uang, dia tahu ada praktik 86 di sana, tapi dia tidak pernah membuat keputusan dalam menanggapi hal tersebut?

Arimbi bisa saja digambarkan menerima praktik 86 sebab dia senang melakukannya. Atau terpaksa melakukan praktik 86 sebab terlalu jujur malah membuatnya terlibat masalah. Atau memaksa menjadi jujur dan dimusuhi orang banyak. Intinya, aku berharap dia punya alasan untuk segala keputusan yang diambil.

INI TIDAK!

Seringkali dia cuma menuruti perintah, atau berpikir itu adalah jalan satu-satunya, atau dijebak. Tidak pernah ada adegan Arimbi berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Aku jadi berpikir, mungkin Arimbi cuma diposisikan sebagai cangkang, atau refleksi pembaca, atau sekadar representasi bahwa ITULAH yang akan terjadi pada orang-orang yang tak memiliki kuasa.

Namun, rasanya memasukkan sedikit konflik batin bukanlah sebuah dosa.

Ananta. Literally Arimbi versi cewek. Awal kedatangan Ananta aku merasa dia sedikit SUS. Aku pikir dia mendekati Arimbi sebab Arimbi seorang Pegawai Negeri, memanfaatkannya untuk uang. Kayaknya memang seperti itu di awal, Arimbi pernah membicarakannya juga. Namun, Ananta terus setia menemani Arimbi di masa tersulitnya, so that's nice ....

Bos Arimbi. Aku lupa siapa nama belio, dan tidak bisa mengecek, kerana bukunya sudah dikembalikan, h3h3 ... BUT!!! Dia ini representasi orang beruang (orang berduit, bukannya hewan buas). Sebesar apa pun kesalahannya, jelas-jelas sudah didakwa bersalah juga, dia masih tetap bisa hidup enak. Dan itu membuatku ... Ingin pindah negara sekarang juga.

D. Dialog

Aku agak lupa bagaimana komentarku tentang dialog novel ini. Kaaknya sih novel ini lebih mengandalkan narasi, tapi sekalinya ada dialog tidak ada masalah sama sekali, dan malah cukup mengalir. Kalau biasanya aku menyebutkan dialog kesukaan, di sini mungkin kuberi tahu dialog yang paling kubenci.

Dialog orang tua Arimbi.

Maksudku ... aku membenci bukan karena dialog itu jelek, tapi karena dialog itu terasa sangat nyata. Dialog orang tua Arimbi selalu berisi tuntutan yang tak ada habisnya pada anak perempuan. Satu tuntutan sudah terpenuhi, bukannya memberi istirahat, mereka langsunglanjut ke tuntutan selanjutnya. Lebih sedih lagi semua tuntutan itu jauh dari kata mudah.

I hate how real that is.

E. Gaya Bahasa

Nah, ini segmen yang paling kuingat. Narasi novel ini sangat enak dibaca, walaupun tema yang diangkatnya terlampau awikwok. Aku bahkan hanya membaca selama tiga hari dalam keadaan pekerjaan lagi sibuk-sibuknya. Namun, walaupun enak dibaca, narasi dalam novel ini lebih terasa rangkuman. Hal-hal yang ingin aku ketahui secara detail seringnya justru dirangkum.

Sedangkan hal-hal yang tidak terlalu ingin kudengar malah diceritakan secara detail. Ekhem ... yang kumaksud adalah seluruh adegan saat Arimbi di penjara. Tentu saja aku mengharapkan narasi batin para tokoh yang lebih dalam, sebab tokoh-tokoh di sini berasa terlalu karikatur. Terutama tokoh-tokoh utamanya.

Ending novel ini juga rada anti klimaks. Entah kenapa, aku merasa novel ini berhenti di jalan. Tidak ada penyelesaian masalah, atau refleksi diri dari para tokoh utama. Atau ini juga salah satu makna tersirat, bahwa praktik 86 tidak akan pernah selesai, dan tidak akan pernah merefleksi diri? Alias akan selalu terjadi kapan pun dan di mana pun, tidak peduli sebesar apa azab yang di dapat?

Barangkali begitu.

F. Penilaian

Cover : 3,5

Plot : 3,5

Penokohan : 2

Dialog : 2

Gaya Bahasa : 2

Total : 2,6 Bintang

G. Penutup

Terlepas dari segala ke-brekele-an tokohnya, novel ini sangat relate pada kehidupan, terutama di negeri tercinta. Itu ... bukan hal bagus sama sekali, tapi justru itu yang membuat novelnya menarik. Praktik 86 yang digambarkan novel ini terdengar fiksi, padahal itulah unsur yang paling nyata.

Bu Guru memberi tahu aku bahwa sang penulis adalah seorang wartawan yang juga pernah bekerja di KPK. Pantas belio begitu berani dan hafal betul tabiat seperti apa praktik 86 itu. Aku percaya bahwa inilah kenyataan pahit di negeri tercinta, sebab aku dan mngkin banyak orang juga menjadi saksinya. Atau bahkan melakukannya.

Nah, kita sudah sampai di penghujung. Sebenarnya aku rada khawatir setiap kali membahas novel serius. Sisi julidku tiba-tiba menguap, aku takut salah bicara, dan dipaksa jadi dewasa (aku belum mau dewasa, ihiks!) Parahnya, Bu Guru punya buku "serius" lain yang akan dipinjamkannya padaku.

BU GURU, HAVE MERCY!!!

Well, mungkin ini akan jadi tahun yang mebosankan bagi Review Impy, tapi seperti Ananta pada Arimbi. Kalian HARUS menemaniku di saat susah dan senang. Itu bukan permintaan, tapi keharusan, h3h3 ....

Sekian dariku, sampai jumpa di lain waktu ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan