Tentang Lukisan, Dermaga, dan Persahabatan Orang-orang Terpilih (Review : My Friends)
Judul : My Friends
Penulis : Fredrik Backman
Penerbit : Atria Books
Tahun Terbit : 2025
ISBN : 9781982112820
Tebal : 436 halaman
Blurb :
Twenty-five years earlier, in a distant seaside town, a group of teenagers find refuge from their bruising home lives by spending long summer days on an abandoned pier, telling silly jokes, sharing secrets, and committing small acts of rebellion. These lost souls find in each other a reason to get up each morning, a reason to dream, a reason to love.
Out of that summer emerges a transcendent work of art, a painting that will unexpectedly be placed into eighteen-year-old Louisa’s care. She embarks on a surprise-filled cross-country journey to learn how the painting came to be and to decide what to do with it. The closer she gets to the painting’s birthplace, the more nervous she becomes about what she’ll find. Louisa is proof that happy endings don’t always take the form we expect in this stunning testament to the transformative, timeless power of friendship and art.

MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Pembukaan
Pertanyaan hari ini untuk kalian, Pembaca Budiman ... Kapan terakhir kali kalian membaca novel yang benar-benar bagus? Novel dengan plot, alur, serta tema yang benar-benar kalian cintai. Bukan sekadar 'oke' atau 'bagus', tapi benar-benar 'WOW, NEPTUNUS! BUKU BERTUAH APAKAH INI!'. Sudah sangat lama sejak aku mengalami perasaan seperti itu, sampai Suhu Fredrik Backman menerbitkan novel terbarunya.
Aku sama sekali tidak punya rencana membaca novel karya Pak Backman tahun ini, sebab aku ingin menyelesaikan TBR (To Be Read) yang sudah jamuran di lemari. Namun, Neptunus berkata lain, lagi dan lagi dan lagi aku dipertemukan dengan novel karya Pak Backman. Maka tanpa perlawanan, tanpa ba-bi-bu, aku pun memutuskan untuk mebaca My Friends daripada TBR di lemari.
![]() |
Buku-buku TBR di lemari be like .... |
Sayang beribu sayang, aku membeli novel ini via Kindle. Itu berarti tidak ada buku fisik, serta harus membaca versi berbahasa enggres! Tapi kalian tahu ... Peduli apa guweh? Kalau menunggu penerbit Indonesia menerjemahkan My Friends, bisa-bisa dua atau tiga tahun lagi novel ini baru bisa aku nikmati. Sedangkan, kalau berurusan dengan Pak Backman, aku mau FOMO! Kalian paham???
Nah, kalian tahu apa artinya? Benar ... review ini akan berisi puja-puji, tidak akan julid, pastinya review ini tidak akan terlalu menarik perhatian kalian para Pembaca Budiman yang senengnya menjulid, terutama kalau topiknya you-know-who! Aku akan mengambil risiko tersebut, asalkan kalian izinkan aku memuja-muji penulis favoritku, okay!
Tunggu dulu ... mungkin ada satu hal selain puja-puji yang ingin aku sampaikan sebelum menuju segmen Plot. SAMPUL. Jujurlly, dan aku menyampaikan ini dengan segala hormat ... sampul novel-novel Pak Backman bukan seleraku. I'M SORRY! Aku tidak suka font segede gaban yang menutupi design, aku tidak suka nama penulis lebih besar daripada judul novel, aku tidak suka tata letak secara keseluruhan.
Well, itu memang ciri khas sampul Pak Backman sejak novel pertamanya. Entah itu keputusan Pak Backman sendiri atau keputusan penerbit. BUT!!! It's not good. Pak Backman ... apakah dirimu tidak bisa mengubah style sampulmu demi aku? UwU? (Pak Backman muntaber)
SUDAH!!! Mari langsung menuju segmen Plot dan melihat bagaimana cara Pak Backman membuatku kagum kali ini.
B. Plot
Kita diperkenalkan dengan anak perempuan bernama Louisa, yang sebenarnya akan menjadi wanita dewasa sebentar lagi. Hari itu Louisa menghadiri acara lelang di gereja untuk membuat grafiti pada lukisan paling mahal dalam acara lelang tersebut. Bukan, karena dia membenci lukisan, tidak sama sekali. Louisa cinta seni, terutama lukisan. Boleh dibilang melukis adalah caranya melarikan diri dari kejamnya dunia.
Namun, Louisa membenci orang-orang yang memandang lukisan hanya berdasarkan nilai jual. Orang-orang dewasa yang tidak peduli seni, tidak peduli kisah di baliknya, hanya membicarakan aset seolah tidak ada alasan berkarya selain uang. Lukisan yang hendak dilihat Louisa berjudul The One of The Sea karya C.JAT.
The One of The Sea bukan sekadar indah, bagi Louisa lukisan tersebut adalah pengingat bahwa dia juga pernah punya kenangan indah. Tidak peduli apakah kenangan itu nyata atau bukan. Sayangnya, belum sempat menjalankan niat, kehadiran Louisa pun disadari. Jadi begini ... orang-orang menganggap Louisa kecoak yang keberadaannya sering tidak diperhatikan, tapi setekali saja terlihat, semua orang akan melakukan apa pun untuk menyingkirkannya.
Louisa kabur dari pihak keamanan, dia ahlinya berlari, sampai tubuhnya menabrak seorang gelandangan di belakang gereja. Louisa duduk sejenak bersama si gelandangan, lantaran pria itu terlihat bisa dipercaya. Mereka bahkan punya kesamaan dalam rasa cinta pada lukisan. Siapa sangka gelandangan itu bukan gelandangan sama sekali, melainkan C.JAT penulis dari The One of The Sea. Dan pria itu telah menemukan orang yang pantas sebagai pewaris lukisan terbaiknya.
Louisa belum tahu kalau gelandangan yang ditemuinya merupakan C.JAT, tidak ada pertemuan kedua antara mereka sebab C.JAT meninggal tak lama kemudian. Maka, sebelum kepergiannya, C.JAT mengutus Ted, sahabat sekaligus manajernya untuk mencari Louisa dan memberikan lukisan The One of The Sea. Namun, tanpa tempat tinggal, tanpa keluarga, tanpa prospek hidup, Louisa tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada lukisan seberharga itu.
Jadilah ... Louisa mengekor Ted menuju tempat di mana dia bisa menjual lukisan tersebut, supaya bisa mencapai hidup yang lebih baik. Pria 30 tahun yang kikuk dan serius, bersama gadis 18 tahun yang tidak pernah berhenti bicara, duduk bersebelahan dalam gerbong kereta. Perjalanan ini tidak akan singkat, seperti juga kisah yang akan Ted bagi pada Louisa tentang The One of The Sea, dan siapa saja anak-anak dalam lukisan itu.
Secara garis besar, novel ini menceritakan persahabatan antara manusia dalam menghadapi kerumitan dunia. Tentang persahabatan anak-anak yang harus dewasa sebelum waktunya. Tentang laut dan dermaga, tentang yatim-piatu, tentang orang tua yang patah hati, tentang cinta terakhir, dan yang paling penting tentang canda tawa dan kentut. Begitu banyak canda tawa yang datangnya dari kentut.
Aku benar-benar dibuat kagum dengan cara Pak Backman menceritakan latar belakang dari masing-masing tokoh. Begitu mengikat dan membuat penasaran, akhir bab menjawab sebuah pertanyaan, tapi juga membuka kisah baru. Kisah dalam novel ini bisa ada karena Ted menceritakannya pada Louisa sehingga kisah ini sepenuhnya pemahaman Ted.
Tokoh utama di sini jelas Ted dan Louisa, tapi kunci utama cerita ada pada tiga sahabat baiknya, Sang Pelukis, Joar, dan Ali. Aku bisa saja menggambarkan secara singkat bagaimana penokohan mereka, tapi rasanya tidak adil melakukan itu, di saat Pak Backman memperkenalkan mereka dengan begitu kompleks, begitu emosional. Begitu juga cara beliau menceritakan ksiah dari masing-masing anak.
Karena konsepnya sudut pandang tokoh yang bercerita, sebagian besar latar tempat ada di gerbong kereta. Nah, dari kisah Ted, barulah kita dibawa berkeliling ke masa lalu. Bermain di laut, mengobrol di dermaga, keributan di sekolah, penyelinapan ke museum, dan sebagainya. Pak Backman juga sangat ahli membuat narasi-narasi yang membuat kita menebak-nebak.
Sepanjang cerita, kita dibuat menganggap bahwa teman-teman Ted sudah meninggal semua, dan cuma tersisa dirinya sendiri. Namun, apakah memang demikian? Aku sebagai pembaca sangat mengharapkan akhir bahagia, tapi Pak Backman melakukan tarik-ulur-tarik-ulur konflik sehingga aku tidak berhenti khawatir sampai halaman terakhir!
Pada akhirnya, seperti ciri khas Pak Backman, bagaimana ending dari kisah ini tidak terlalu penting. Sebab kita sudah mengenal dan memahami para tokoh sehingga apa pun pilihan yang mereka ambil, bagaimana pun mereka menjalani hidup sekarang, kita sudah tahu alasannya dan kita sudah berdamai dengan itu.
C. Penokohan
Louisa. Anak yatim-piatu yang punya terlalu banyak celotehan di kepala dan sangat payah dalam menyembunyikannya. Louisa tidak pernah merasakan bagaimana hidup "normal". Selama hidupnya dia berpindah-pindah tempat tinggal di rumah asuh, berbagai macam tipe keluarga disfungsional, dari yang jahat sampai sangat jahat.
Satu-satunya kenangan Louisa tentang sang ibu adalah kartu pos bergambar lukisan The One of The Sea karya C.JAT bertuliskan "Di sini sangat indah, matahari bersinar hangat setiap hari. Ibu merindukanmu, kita akan segera bertemu lagi." Lukisan itu akhirnya menjadi obsesi Louisa, karena selalu mengingatkannya pada masa indah di mana sang ibu bersenandung di dekatnya sampai dia tertidur.
Begitulah yang Louisa yakini selama ini tentang sang ibu, sampai dia teringat atau malah menyadari bahwa kenangan indah itu tidak pernah ada. Namun, cinta sejati Louisa (Fish) pernah berkata, "Kenapa otakmu yang harus menentukan apa yang terjadi dan apa yang tidak? Kau masih bisa menyimpan memori itu sebagaimana kau mengingatnya. Kenangan itu milikmu!"
Maka itulah yang Louisa lakukan.
Ted. Teman-temannya mengenal Ted sebagai anak yang sangat cerdas, pendiam, dan target perundungan, sebab Ted dan keluarganya adalah imigran. Entah karena Ted merupaka narator utama, atau dia memang anak bageur. Latar belakang Ted tidak terlalu jedar-jeder seperti teman-temannya. Malahan, Ted ini seperti rumah berteduh bagi teman-temannya. Seperti yang Joar katakan, "Ted payah dalam meninggalkan orang, terutama orang-orangyang dia cintai."
Sang Artis. Namanya tidak pernah disebutkan sampai menjelang akhir, itupun disebutkan oleh teman yang paling dicintainya. Sang artis ini ibarat Sang Terpilih, semua temannya (terutama Joar) begitu getol menjadikannya 'seseorang', sebab dia memang pantas mendapatkan segala pujian yang ada di dunia. Masalahnya, Sang Artis bergumul dengan dirinya sendiri, dan itulah musuh terbesarnya.
Joar. Kunci dari keseluruhan kisah. Joar bukan tokoh utama, tapi jelas dia penggerak cerita. Dia sering digambarkan memiliki ide-ide paling cemerlang. Kadang ide itu memang bukan yang paling teladan, tapi jelas bisa memberi semangat serta arti hidup untuk yang lain.
Ali. Dia dinamai Ali oleh Joar yang pertama kali melihatnya meninju orang seperti Muhammad Ali. Perangai dan perilaku Ali ini sebelas-dua belas dengan Joar, hanya saja dia lebih pintar, logikanya lebih jalan, dan punya perasaan yang sensitif juga.
D. Dialog
Tidak perlu meragukan Pak Backman dalam membuat dialog. Setiap dialog terasa bermakna, dan entah kenapa jadi terdengar bijak. Itu semua karena para tokoh punya kesulitan masing-masing, penderitaan mereka berbeda, begitu juga cobaan yang mereka hadapi. Cara mereka menghadapi berbagai cobaan itulah yang membuat dialog anak-anak 14 tahun ini terasa bijak.
Interaksi antar tokoh juga seimbang, menonjolkan ciri khas masing-masing. Louisa yang banyak bicara, Ted yang penggerutu, Joar yang selengean, Sang Artis yang selalu legowo, juga Ali yang harus bisa jadi orang paling logis untuk sekitarnya.
E. Gaya Bahasa
Masih khas Pak Backman, menggunakan alur maju-mundur dengan sangat baik sehingga kita tidak kepikiran sama sekali untuk tutup buku. Pak Backman juga ahlinya merangkai kalimat indah, tanpa terasa seperti prosa ungu bertele-tele. Beliau lebih sering menggunakan perumpamaan sehari-hari daripada kata-kata puitis penuh metafora.
Sudut pandang yang diambil orang ketiga untuk masa sekarang, dan orang ketiga terbatas saat Ted menceritakan kisahnya. Jujurlly ... untuk kali ini aku merasa ada sedikit kebocoran POV dari penggambaran Pak Backman dalam novel kali ini. Meskipun, aku masih bisa ngeles dengan metode cocoklogi kalau ada yang menghujat Pak Backman karena hal itu.
Also ... aku tahu Pak Backman ahlinya membuat tokoh-tokoh dengan usia senja. Menggambarkan kerapuhan, kedewasaan, serta keterbatasan hidup si tokoh. Namun, penggambaran Pak Backman tentang tokoh-tokoh novel ini terlalu berlebihan. Katakan padaku kenapa Ted dan kawab-kawan selalu digambarkan mereka sangat tua, padahal masih berusia awal 30 tahun?
Please, Pak Backman! Usia 30 tahun tidak serenta dan senelongso itu!
Tapi eh tetapi ... masih sangat banyak pelajaran yang bisa diambil dari novel ini, banyak quotes-quotes kece yang berhubungan dengan lukisan, kehidupan, serta komentar tentang politik. Pak Backman juga sangat ahli membuat komentar-komentar politik lewat para tokoh, bukannya yang maksa dan sok edgy seperti penulis lokal yang sering aku julidin!
F. Penilaian
Sampul : 2
Plot : 4
Penokohan : 4
Dialog : 4
Gaya Bahasa : 3,5
Total : 3,5 Bintang
G. Penutup
Fredrik Backman sudah menjadi penulis kesukaanku sejak lima tahun yang lalu. Aku jatuh cinta pada A Man Called Ove, pada kisah cintanya, perjuanganya, interaksinya dengan tokoh-tokoh lain. Anehnya, secinta apa pun aku pada novel Pak Backman, aku tidak akan pernah bisa (atau mau) meniru gaya menulisnya. Aku juga tidak pernah melihat ada penulis lain yang gaya menulisnya mirip beliau (atau belum).
Dalam novel My Friends, semua keunikan Pak Backman masih sangat terasa (karena itu memang ciri khas belio). Hanya saja, My Friend tidak memiliki dampak sama besar untukku seperti novel-novel Pak Backman yang lain. Aku memang susah melepas novel ini kalau sudah membacanya, tapi niat untuk mulai membaca novel ini tidak sebesar karya-karya novel Pak Backman lain.
Sebagai perbandingan, aku rela menghabiskan waktu seharian sampai diomelin emak karena tidak berkontribusi apa pun di rumah, untuk membaca A Man Called Ove. Aku rela begadang padahal besoknya berangkat kerja pukul lima pagi demi membaca Anxious People. Aku membatalkan acara dengan teman, karena My Grandmother Asked Me To Tell You She's Sorry, harus selesai hari itu juga!
Novel My Friends di sisi lain, tidak demikian, sampai aku baru menamatkannya dua minggu kemudian. Ada dua kemungkinan, antara tidak ada yang super-duper menarik dari kisah My Friends, atau karena kisah ini sangat-sangat-sangat menarik, makanya aku tidak mau cepat-cepat menyelesaikannya. Aku rasa ... gabungan dari keduanya (bruuh).
Aku akan tetap merekomendasikan novel ini pada kalian, tapi sebelumnya BACA DULU A MAN CALLED OVE!
Sampai jumpa di review berikutnya ^o^/
Comments
Post a Comment