Fantasteen : Absolute Zero


Judul : Fantasteen : Absolute Zero

Penulis : Fauzi Maulana

Penerbit : Dar Mizan

ISBN : 9786022422518

Tebal : 192 Halaman

Blurb :

Badai matahari yang terjadi pada 2012 menyebabkan perubahan cuaca yang sangat ekstrem berpuluh tahun kemudian. Bumi ditutupi salju dan penderita hipotermia satu persatu meninggal dunia. Sebagai seorang wartawan, tentu saja Arus merasa heran dan bertekad mengetahui apa yang terjadi.

Arus pun bertemu seorang pemecah kode bernama Alvinci Smartings. Mereka bersama Rosseau sang detektif menemukan chip terakhir dari Exitium. Ini semua terjadi pada tahun 2089. Siapkah kamu melihat masa depan?
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Distopia Ala-ala

Balik lagi di review Impy ... novel yang kita bahas kali ini adalah salah satu dari sekian banyak seri Fantasteen di luar sana. Agak menyedihkan rasanya, aku sering mengaku sebagai pencinta fantasi, tapi tidak pernah membaca satu seri fantasteen pun sejak dahulu kala. Sebenarnya pernah mencoba beberapa kali, tapi untuk beberapa alasan tidak pernah dituntaskan. Rasanya zaman-zaman aku masih getol baca novel (SMP kalau tidak salah) aku lebih sering membaca fantasi terjemahan. Untuk fantasteen sendiri, anehnya tidak pernah menarik perhatianku. Padahal sampulnya bagus-bagus, padahal judul-judulnya menarik, bahkan jelas-jelas berlebel FANTASI.

Nah, kebetulan aku mendapat pinjaman sekaligus rekomendasi dari teman, katanya sih novel ini bagus dan aku pasti suka. Tentu saja aku merasa tertantang, akhirnya ada juga alasan kuat untuk menamatkan salah satu novel Fantasteen. Mungkin juga untuk hari-hari berikutnya, aku akan berusaha lebih sering membaca seri Fantasteen lain, tentu saja kalau enjoyable, dan aku sedang tidak ingin membaca buku bagus lain, h3h3 ....

Untuk sampul, seperti yang kukatakan tadi. Fantasteen selalu punya sampul-sampul yang meanrik dan fantasi banget. Begitu juga untuk novel yang satu ini. Simple tapi penuh, dalam artian tidak ‘keramean’. Di sisi lain, sampul ini sangat menggambarkan isi bukunya. Dengan salju-salju, font berlapis es, serta embel-embel ‘Masa depan tidak seindah yang kita kira’. Tentunya ini akan berlatar jauh ke depan saat bumi tidak lagi sama.

Mari kita lihat isinya!

B. Plot

Sebelumnya aku ingin mengomentari betapa tipisnya buku ini jika melihat tema yang diusung. Maksudku ... memangnya jumlah halaman kurang dari 200 bisa menampung world building kece? Namun, tebal buku jelas bukan acuan dari isi cerita, boleh jadi memang dibuat begitu agar tidak bertele-tele. Awal kisah kita dikenalkan dengan protagonis utama (Arus) yang ogah-ogahan bangun dari tempat tidur karena suhu di luar mencapai minus dua puluh derajat. Betul ... di zaman ini (2089), Bandung berubah menjadi setara daerah kutub, bahkan menyebabkan banyak orang tewas akibat hipotermia. Oh, bukan cuma Bandung, tapi juga seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia.

Anehnya, tidak ada yang tahu apa penyebab penurunan suhu drastis ini, bahkan ilmuan hebat dari luar negeri. Well ... sebenarnya, udara dingin ini bukan disebabkan oleh kerusakan iklim atau globalisasi, karena situasi krisis ini juga baru terjadi selama dua tahun. Hmm ... entah kenapa itu malah membuat esensi distopianya hilang, kalau menurutku. Maksudku ... apakah dunia masih normal sebelum penurunan drastis itu? Ataukah penurunan terjadi secara bertahap? Kalau misalnya langsung, harusnya dampak yang ditimbulkan lebih besar, bahkan bisa memusnahkan hampir seluruh manusia. Mustahil manusia bisa beradaptasi dengan penurunan drastis hanya dalam kurun waktu dua tahun. Terutama negara-negara tropis.

Selain krisis iklim, dunia novel ini juga dihantui dengan ‘peperangan’ antar dua kubu bernama Yajedan dan Mukanma yang sering membuat kerusuhan. Dua kubu tersebut pernah terlibat dalam perang gaib yang konon katanya sangat dahsyat. Akan tetapi, untuk beberapa alasan kita tidak pernah benar-benar ditunjukkan bagaimana dahsyatnya perang itu. Cuma katanya begini, katanya begitu sahaja!

Tokoh utama kita (Arus) bekerja sebagai wartawan di Harian Bandung. Bisa dibilang sebuah ‘keberuntungan’ karena masih punya pekerjaan layak di masa-masa sulit, sampai suatu hari atasannya (Tuan Slittering) dibunuh secara misterius, dan ternyata pembunuhan itu terus terjadi secara beruntun. Bahkan korban-korban pembunuhan memiliki hubungan dekat dengan Arus. Teman dekat, juga rekan-rekan kerjanya.

Maka seorang detektif bernama Rosseau pun meminta Arus untuk ikut bersamanya dan menyelidiki kasus ini. Sekalian berlindung kalau-kalau dia menjadi target berikutnya. Alasan itu tentu saja masuk akal bagi kita semua. Eits ... tapi kalian mau tahu apa yang dikatakan Arus selanjutnya? “Kenapa aku harus ikut? Apa hubungannya ini semua denganku?”

... ... ... Arus Zeyenk! ORANG-ORANG YANG MATI KAN TEMEN ELU SEMUA! Serius ya ... kenapa novel-novel yang berpotensi jadi bagus harus dihancurkan dengan protagonis brekele! Bukan cuma itu saja ke-brekele-an Arus selama cerita. Ada adegan di mana Arus dipercayai membawa sebuah dokumen rahasia oleh anak perempuan Tuan Slittering (Arnita). Dokumen tersebut jelas-jelas berisi hal PENTING dan RAHASIA, tidak boleh ada yang tahu, dan kalau bisa jangan sampai terbuka atau dilihat siapa pun. Tapi si Arus dengan tanpa merasa berdosa malah bertanya ke Arnita ....

“Kalau boleh tahu, apa isi dokumen ini?”

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, selain bikin makalah setebal seribu halaman tentang betapa memblenya tokoh Arus.

Pada akhirnya, Arus dan Rosseau memang harus membuka dokumen PENTING dan RAHASIA tersebut untuk kepentingan penyelidikan, yang ternyata berisi sebuah chip. Sebagai detektif dan orang yang memiliki akal sehat, Rosseau pun menganggap chip itu sangat PENTING, dan boleh jadi ada hubungannya dengan penurunan suhu drastis di bumi ini. Makanya chip itu harus dijaga sebaik mungkin dan jangan sampai hilang.

Eits ... tapi Arus punya pendapat lain sebagai protagonis brekele kesayangan kita. Arus dengan seenak udelnya malah ngomong, “Loh, itu kan cuma chip!”

... ... ... Seseorang, tolong ambilkan aku pemukul bisbol, linggis, tang, atau benda berat lain buat nampol kepala Arus supaya otaknye lurus! Dari tadi ini anak otaknya kagak dipake ape pegimane si!

Kita kesampingkan dulu masalah sifat memble Arus dan berfokus pada World Building-nya. Novel ini bergenre distopia dan Sci-fi, jadi kurang afdol rasanya kalau tidak bicara pasal world building. Aku suka tema yang diusung novel ini, tentang masa depan dunia yang tidak seindah bayangan manusia. Namun, ada beberapa kejanggalan dari sisi eksekusinya. Misalnya dari perpolitikan antara Mukanma dan Yajedan, aku tidak mau memberi spoiler, tapi rasanya ‘plot twist’ yang disajikan kurang masuk akal. Petunjuk-petunjuk yang diberikan sepanjang cerita, tidak berkesinambungan dengan kesimpulan di akhir.

Belum lagi logika masalah penurunan suhu drastis. Kalau memang penurunan suhu drastis baru terjadi selama dua tahun, seharusnya dampak yang ditimbulkan lebih parah dari penggambaran dalam novel ini. Bahkan lebih masuk akal kalau hampir seluruh populasi di Indonesia, atau negara tropis lainnya punah total. Secara tubuh manusia di negara tropis tidak mungkin bisa beradaptasi, dan tidak akan bisa beradaptasi pada penurunan suhu sampai di bawah nol hanya dalam kurun waktu dua tahun.

Novel ini memang mengatakan kalau banyak orang yang meninggal karena hipotermia, dan kemiskinan karena pertanian dan perkebunan yang punah, tapi rasanya dampak begitu saja kurang meyakinkan. Bagaimana dengan manusia yang masih hidup? Bukankah seharusnya mereka juga terkena dampak dari segi kesehatan. Masalah kulit, pernapasan, kelembaban tubuh. Malahan, novel ini masih menggambarkan ada mall yang ramai, restoran, bengkel, serta segala hal lain yang menandakan kehidupan normal.

Intinya sih, novel ini belum berhasil membuatku ‘percaya’ kalau dunia saat itu sedang dalam ‘krisis’, karena penggambarannya yang tidak terlalu menegangkan, tidak terlalu diperinci. Bahkan dampak yang dialami tokoh-tokoh kita cuma mereka harus menggunakan baju lebih tebal akibat suhu dingin.

Helooowww ... minus 20 derajat itu mau pake baju sepuluh lembar juga tidak akan membuat kita (orang-orang negara tropis) hangat begitu saja! Itu tidak akan menyelesaikan masalah! Lagi pula aku tidak bisa membayangkan (tidak rela tepatnya) kalau proyek ‘pemusnahan manusia’ yang mencangkup SELURUH DUNIA hanya ditangani oleh beberapa orang biasa dari Bandung, dan salah satunya adalah si Arus brekele!!!

Kemudian, aku juga ingin protes tentang nama-nama orang di sini. Arus, Arnita, Amanda memang masih masuk akal untuk orang Indonesia. Tapi bagaimana dengan Alvici, Rosseau, Fort, Veldo, dan Slittering? Bahkan nama belakang Arus saja Revoir. Sangat tidacc Indonesia!  Katakanlah kalau Indonesia di sini sudah terkena pengaruh budaya luar yang besar. Eh, tapi tidak pernah dijelaskan. Jadi agak aneh aja melihat nama-nama aneh bin ajaib begitu padahal latar tempat di dalam negeri.

Namun, dari semua hal yang kusebutkan di atas, aku belum bisa berpendapat lebih banyak karena novel ini berakhir di saat KONFLIK SEDANG TINGGI-TINGGINYA! Hey, Penulis-penulis di luar sana! Kumohon stop menerbitkan novel kalau ente belum tahu gimana cara menamatkannya! Maksduku ... setidaknya buatlah sequel. Ini sudah berapa abad dan tidak ada kabar lagi dari kelanjutan novel ini.

C. Penokohan

Arus. Kalian tahu persis kalau aku membenci Arus dari komen-komenku tentang prilaku brekelenya di sesi Plot. Akan tetapi, aku belum selesai sampai di situ! Arus itu sebagai protagonis, tidak pernah berkontribusi apa pun dalam penyelidikan ini, selain kagetan, plonga-plongo, leyor, selalu minta ditolongin alias beban, dan rada-rada lola juga. Serius, dia seperti boneka yang diseret ke sana-sini sama tokoh lain, dan bahkan tidak pernah mengeluarkan pendapat. Setiap dialognya hanya berisi kaget, keluhan, dan pertanyaan. Aku heran bagaimana bisa penulis membuat protagonis utama yang begitu useless. Entah ini disengaja atau tidak, tapi aku ingin tahu apa yang ada di pikiran penulis saat membangun tokoh Arus saat itu.

Rosseau. Seperti biasa, ketika protagonis utama berkarakter brekele, side kick-nya akan bersinar. Di sini Rosseau malah lebih berperan sebagai protagonis, tapi sayang kehebatannya tertutup karena penulis memaksa pembaca untuk peduli pada Arus. Aku malah kepingin tahu bagaimana latar belakang Rosseau lebih dalam, dan bagaimana cerita dia sampai bisa ikut dalam penyelidikan ini.

Alvici. Si ahli teka-teki. Latar belakang Alvici juga sebenarnya menarik untuk diperdalam, bagaimana dia bisa menjadi ahli teka-teki yang katanya sih paling hebat di seluruh dunia (tapi semua teka-teki novel ini juga bisa aku pecahkan, apa mungkin aku juga ahli teka-teki ya, h3h3 ...) Aku sempat berpikir kalau Alvici ini rada-rada SUS, tapi kayaknya tidak. Hal itu tidak pernah diperdalam lagi.

Red. Pernahkah kalian dikenalkan secara rinci dengan tokoh dalam novel seolah tokoh tersebut akan berperan penting dalam cerita, tapi nyatanya tokoh itu malah tidak punya peran apa pun? Itulah yang novel ini lakukan kepada Red. Kita diberitahukan hal-hal kecil tentang Red yang seolah akan menjadi petunjuk penting di kemudian hari, tapi nyatanya tidak terlalu berperan banyak, dan malah tidak berguna sama sekali.

Elena. Saudara Rosseau. Dia orang kaya, tapi untuk beberapa alasan selalu mengelun ini dan itu. Aku juga kurang paham apa tugas dia di sini selain sebagai bantuan finansial bagi Arus dan Rosseau.

Tuan Slittering, Arnita, Amanda. Korban pembunuhan.

D. Dialog

Mengingat betapa tipisnya novel ini, terlihat jelas kalau penulis ingin menyeimbangkan antara dialog dan narasi. Harus kuakui itu berhasil, tidak ada dialog dump atau cringe selama aku membaca. Setiap dialog bahkan mengandung semacam petunjuk, mengingat novel ini juga mengangkat tema detektif. Sayangnya, tidak ada dialog yang memiliki ciri khas lantaran tidak ada waktu untuk bertele-tele. Oh, kecuali mungkin dialog Arus yang semuanya bernada terkejut, keluhan, atau panik. Pokoknya kalau kalian menemukan dialog terkejut itu pasti Arus.

E. Gaya Bahasa

Gaya bahasa novel ini tergolong lugas, terkadang malah jadi buru-buru. Seperti penggambaran situasi yang alih-alih ditunjukkan (show) malah dituliskan (tell). Misalnya. Setelah perbincangan, Rosseau memutuskan untuk mengambil uang di bank. Dia mengajak Arus ikut serta, tapi ia menolak. Kalau boleh meminta sih aku lebih suka adegannya diperinci, karena 'perbincangan' itu bisa jadi bonding karakter yang bagus.

Terus juga, font di novel ini suka berubah-ubah, dan aku masih bingung apa gunannya font yang berubah-ubah itu. Aku pikir perubahan itu digunakan ketika ekspresi tokoh sedang terkejut (alias Arus), tapi kemudian di beberapa dialog ekspresi datar juga font-nya berubah. Terus aku mikir, mungkin itu untuk semacam clue, tapi juga kadang tidak berarti apa-apa.

Namun, selain dua hal itu, gaya bahasa di sini tetap enak dibaca. Tidak ada keluhan yang benar-benar mengganggu.

F. Penilaian

Cover : 3

Plot : 2,5

Penokohan : 2

Dialog : 2

Gaya Bahasa : 3

Total : 2,5 Bintang

G. Penutup

Konsep distopia dan dunia di masa depan selalu seru bagiku pribadi, dan sebagaimanapun klisenya pasti akan tetap menarik karena pandangan masa depan bagi masing-masing orang bisa saja berbeda. Namun, eksekusi dari ide bagus juga sangat penting. Itulah kekurangan novel ini. World building kurang digambarkan, ketegangan dalam cerita juga kurang bida dirasakan. Seandainya dampak-dampak penurunan suhu dijelaskan lagi, bukan hanya kepada orang-orang miskin, tapi juga orang kaya dan tokoh-tokoh utama.

Terus juga penerapan plot twist-nya yang kontradiksi dengan clue-clue di sepanjang cerita. Rasanya kurang bisa diterima aja gitu loh kalau ternyata si itu yang begitu. Padahal di awal dijelaskan bahwa si itulah yang begitu (Apaan si ....)

Baiklah, sekian dulu saja dariku. Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/

Komen-komenku Saat Membaca

(Menghela napas panjang setiap kali Arus terkejut)

"Kalian tidak tahu apa-apa soal Yajedan? Mereka organisasi yang muncul tiba-tiba pada saat perang gaib tahun 2020."
(Salam ... aku dari tahun 2022, dan kami tidak pernah mengalami yang namanya perang Goib)

"Kalau boleh tahu, apa isi dokumen itu?"
(Diss Beach literally asked for something secret ToT)

(Elena) "Nasi, buah, dan segala yang berasal dari tanaman sekarang harganya sangat mahal."
(Tapi tokoh-tokoh di sini pada makan roti dan selai buah tanpa rasa bersalah tuh! Dan tokoh-tokoh di sini makannya pada 4 sehat 5 sempurna semua, padahal lagi krisis, tuh!)

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Matahari Minor

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan