High School Paradise (1 & 2)


Judul : High School Paradise (#1 Surganya Anak SMA) (#2 Love United)

Penulis : Orizuka

Penerbit : Puspa Populer

Tahun Terbit : 2006

ISBN : 9786028290852, 9786028290869

Tebal : 216 dan 220 Halaman

Blurb :

(High School Paradise) SMA Athens memang sekolah elite. Tapi, masih ada yang kurang. Athens nggak punya ekskul sepak bola. Ini yang membuat Lando, Rama, Sid dan Cokie selama dua tahun datang terlambat.
Empat siswa paling top dan keren di Athens itu protes. Yang diprotes, siapa lagi kalo bukan guru olahraga mereka yang terkenal galak. Godzilla, eh, Gozali sebenarnya.

Berhasil? Ternyata, Tidak.
Hukuman Gozali malah semakin berat dari hari ke hari dan benar-benar membut mereka harus tebal muka. Belum lagi mereka punya satu tugas, Yaitu menyelamatkan Julia agar bisa masuk kelas khusus. Berhasilkah mereka mendirikan ekskul sepak bo;a dan menyelamatkan Julia?
Langsung saja baca cerita lengkapnya.

(Love United) Cinta memang berjuta rasanya.... Begitu juga sekarang yang terjadi pada Fantastic Four-nya SMU Athens, Cokie, Lando, Rama dan Sid. Semuanya terkena demam 'Cinta', walau tentu saja nggak meninggalkan kegilaan mereka pada satu hal yang sama, SEPAKBOLA. Awalnya sih mereka nggak sadar kalau terkena virus cinta. Jadi, pas sadar, beragam cerita seru mulai menghapiri mereka.

Si playboy Cokie harus berhadapan dengan demo para cewek yang patah hati. Lando yang pendiam sampai menangis ketika pujaan hatinya ke rumah. Beda lagi dengan Sid, Si imut yang berhadapan dengan cinta pertamanya, Amel, hingga harus 'perang dingin' dengan Julia. Jadi, Apakah virus cinta kali ini bisa mempersatukan cinta-cinta mereka? Atau masih ada yang patah hati gara-gara bertepuk sebelah tangan?
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Teenlit era Golden Decade = Superior

Pembaca Budiman, pernahkah kalian bengong dikelilingi puluhan buku baru yang belum dibaca. Alih-alih membaca buku-buku fresh, up to date, serta menarique tersebut, kalian malah membaca buku terbitan tahun 2006 yang ditemukan di pelosok lemari, dalam kondisi nyaris tak layak baca akibat dimakan rayap pula.

Betul ... itulah pesona buku era Golden Decade, alias novel yang terbit antara tahun 2000-2010. Aku juga menyebut era ini sebagai masa kejayaan Teenlit, sebab di masa ini Teenlit benar-benar dibuat untuk anak remaja. Konflik yang disajikan biasanya tentang sekolah, cita-cita, impian, persahabatan, serta bumbu-bumbu cinta monyet. Segala hal yang memang relate pada kehidupan remaja.

Makanya, saat melihat sampul novel ini, meskipun ada ilustrasi empat cowok, serta penjabaran mereka yang dikatakan "Tamvan dan Berani", aku berani jamin novel ini tidak akan sebobrok jika penulis Watpat zaman now yang mengangkat tema serupa. Artinya tidak akan ada romantisasi tindak kriminal dalam novel ini. Aku berani jamin itu.

Sampul novel ini benar-benar ciri khas Teenlit era Golden Decade. Aku tidak tahu secara spesifik apa nama style gambar tersebut, tapi percayalah hampir semua Teenlit di zaman itu mempunyai ilustrasi serupa, bahkan font yang tidak jauh beda. Aku suka banget-nget-nget style seperti ini saat SMP, rasanya ... seleraku sudah berubah drastis sekarang ini, h3h3 ....

Nah, marilah kita sama-sama buktikan apa saja isi dari Teenlit Golden Decade yang membuatnya SUPERIOR dari Teenlit terbitan Watpat di zaman sekarang. Atau harus kukatakan ... The Dark Age of Teenlit!!!

B. Plot

Kita diajak berkenalan dengan empat cwk yang sedang dihukum di lapangan akibat terlambat, dan ini bukan pertama kali mereka dihukum. Malahan, sudah hampir dua tahun mereka mendapat hukuman serupa akibat terlambat. Kita pun berpikir, mustahil mereka secara kebetulan selalu terlambat selama nyaris dua tahun, bukan? Seolah-olah ... mereka melakukannya dengan sengaja.

karena EMANG IYA!

Bukan tanpa alasan, keempat cowok ini (Rama, Cokie, Lando, dan Sid) kepengin punya club Sepak Bola di Sekolah Elit Athens, makanya mereka melakukan aksi terlambat itu. Namun, untuk suatu alasan aduhai, guru olahraga di sana (Pak Gozali dan/atau Gozila) tidak mengizinkan ada sepak bola di Sekolah Elit Athens, bahkan sepak bola tidak boleh masuk kurikulum sekolah secara keseluruhan.

I'm Sorry ... How is that possible? Aku tahu di sini ceritanya Athens adalah sekolah super-duper-ultra elit, dihuni hanya oleh dua tipe manusia. Satu, kaya dari brojol. Dua, genius dari brojol. Namun oh nenamun, bukan berarti mereka bisa mengatur sendiri kurikulum sesuai keinginan mereka. Masalah kurikulum jelas diatur oleh Kemendikbud.

Jikalau Athens seenak jidat menghilangkan kurikulum yang seharusnya ada, bukankah itu tindakan ilegal? Apa lagi alasan dilarangnya permainan sepak bola di Athens didasari dari hal yang sangat sepele dan personal dari tokoh Pak Gozali.

So ... Pada zaman dahulu kala, Pak Gozali adalah atlet sepak bola terkemuka, membawa serta klub sepak bolanya menuju piala nasional, atau piala internasional? INTINYE PIALA! Sampai suatu hari tragedi menimpa Pak Gozali sehingga mengalami putus urat Neptunus ... maksudku urat Achiles.

Mulai dari situ, Pak Gozali trauma pada sepak bola, dan memutuskan untuk tidak melibatkan sepak bola pada kehidupan pribadinya sehari-hari. Menurutnya sepak bola terlalu berbahaya dan penuh risiko barangkali? (Menghadeh). Dari kisah itu, aku ingin menyampaikan satu pesan pada Pak Gozali ....

OALAH, PAK!!!

Elu Raja Inggris Bukan, Kim Jong Unch Bukan, Orang terkaya nombor dua di seluruh semesta juga bukan. Kok seluruh sekolah harus kena dampak dari kecelakaan yang berdampak pada diri lu sendiri doang! Harus jadi senarsistik dan seberpengaruh apa dirimu sampai bisa melakukan itu, ha???

Aku masih bisa memahami, atau setidaknya lebih bersimpati kalau tragedi yang membuat Pak Gozali takut sepak bola juga menyangkut murid-muridnya, menyangkut tim sepak bola, alias sahabat-sahabatnya. Bisa kecelakaan bus, kerusuhan di stadion yang memakan korban jiwa, atau bahkan tersambar petir ramai-ramai.

Ya, itu membuat ceritanya jauh lebih dark, tapi juga jauh lebih masuk akal. Kepala sekolah atau Kemendikbud pun setidaknya punya alasan untuk menyetujui dihilangkannya permainan sepak bola dari kurikulum. Untuk kepentingan bersama, alih-alih pribadi si Gozali! Itu sangat dictator behaviour!

Serius ... novel ini menjual banget konflik persepak-bolaan, yang mana kalau kita pakai 0,000001% aja logika, hal seperti itu mustahil terjadi.

Bukan hanya Pak Gozali. Keempat tokoh utama brekele kita, yang rela terlambat dan disetrap selama dua tahun demi mendirikan klub sepak bola, gagal memberikan alasan-alasan konkret atas tindakan tersebut. Apa sih alasan keempat anak ini ngebet banget pengen ada klub sepak bola? Get this ....

Karena sepak bola yang menyatukan mereka.

...

...

...

HAH???

Apakah ini termasuk Boys Logic? Atau Rich People Logic? Karena aku sama sekali tidak mengerti apa urgensi dari alasan tersebut. Maksudku, mereka cerdas dan kaya, yang artinya mereka bukan mencari beasiswa jalur atlet. Mereka tidak sedang mengejar piala atau hadiah uang untuk "menyelamatkan" sesuatu (Apa pun itu).

Kalian mengerti maksudku? Mereka tidak memperjuangkan apa pun, sampai harus memaksa ada ekskul sepak bola. Mereka cuma mau ada ekskul sepak bola, karena mereka KEPENGIN MAIN BOLA! Kagak ada alasan lain!

Dan, dan, dan ... logikanya lagi mereka SANGAT BISA main bola sepulang sekolah, atau saat weekend, atau saat jam santai apa pun. IYA KAN??? Aku tidak bisa masuk sama sekali ke dalam logika mereka, dan kenapa ekskul sepak bola sepenting itu, sampai mereka rela dihukum selama dua tahun.

"Ya elah!" dan "GET OVER IT!" adalah komentarku sepanjang membaca novel ini. Terutama bagian konflik persepak-bolaan brekele. Aku jadi membandingkannya dengan novel Britt-Marie was Here, yang juga mengangkat tema sepak bola, mereka juga melakukan berbagai cara supaya bisa membuat klub bola. Bedanya ... ADA YANG MEREKA PERJUANGKAN!!!

Untung beribu untung, konflik bola-bolaan itu pada akhirnya tidak terlalu berpengaruh, sebab Empat Serangkai pun setuju kalau mereka lebih mementingkan belajar daripada sepak bola, toh mereka sudah akan naik kelas 12, yang berarti sekalipun ada ekskul Sepak Bola, mereka tidak bisa lagi jadi anggota aktif.

(tarik napas) TERUS KENAPA HARUS ADA KONFLIK ITU!!!

Di novel kedua pun konflik bola brekele sama sekali tidak terlihat selain Empat Serangkai beberapa kali mengeluhkan kegagalan mereka menjadi Tim Sepak Bola Athens. Nah, konflik lain yang tak kalah penting adalah misi Empat Serangkai membantu teman cewek pertama mereka (Julia) untuk masuk ke Kelas Khusus, supaya mendapatkan beasiswa.

You see ... Julia ini tadinya orkay, tapi semenjak perusahaan sang ayah bangkrut, dia harus mencari kerja sampingan untuk menutupi biaya sekolah. Akibat kerja sambilan itu, Julia tidak pernah belajar, dia juga jadi jarang tidur sehingga ikut dihukum karena terlambat berkali-kali. Itulah alasan Julia bisa kenal dengan Empat Serangkai.

Selain misi membantu Julia masuk kelas khusus, tentu saja ada sub-plot lain tentang latar belakang masing-masing tokoh. Sid yang mamanya punya trope tante girang tukang gonta-ganti pacar, Lando yang masa lalunya kriminal serta ayahnya pemabuk seta ibunya kabur ke luar negeri, Cokie yang Playboy, dan Rama yang Goody two shoes.

Aku pun menggabungkan buku satu dan dua dalam review, karena keduanya memang berkelanjutan. Beberapa konflik yang belum selesai, atau latar belakang tokoh yang belum ada di novel pertama, akan muncul di novel kedua. Contohnya latar belakang Cokie, dan kelanjutan kisah cinta para tokoh.

Walaupun, aku ingat-ingat lagi Rama tidak punya konflik pribadi di sini. Ya, hidup dia memang yang paling enak daripada teman-temannya, penokohannya juga menjadi favoritku (He is so kind and UwU). Namun, rasanya itu kurang adil, 'kan? Ketiga temannya punya latar belakang nendank yang bikin penokohan mereka semakin dalam, tapi Rama tidak punya sama sekali cuma karena tokoh dia "udah bagus" dari awal.

Bay de wey, kalau disuruh memilih antara buku pertama dan kedua, aku mungkin memilih buku pertama. Walaupun tidak masuk logika dan rada brekele, tujuan utamanya jelas. Membuat ekskul sepak bola dan membantu Julia masuk kelas khusus. Buku kedua di sisi lain ... gak ada juntrungannya. Lebih kayak kumpulan cerpen daripada satu novel konkret.

Konflik di novel kedua itu mencangkup Cinta segitiga Julia, Sid, dan Amel (jujur saja konflik ini lumayan seru, sebab Sid are such a stoopid lil beach. Untuk pertama kali aku benar-benar gemez yang beneran gemez pada se-fruit tokoh).

Kisah Mama Sid dan Pak Gozila (yang foreshadow-nya kurang tepat sasaran, tapi mungkin memang aku pribadi yang salah tangkap. Aku pikir Mama Sid akan bersatu dengan Ayah Lando yang pemabuk. Sebab ... Entahlah, aku pikir itu akan jadi Twist yang UwU dan semakin mempererat persahabatan mereka! Memang agak aneh, tapi bodo amat!)

Kisah Lando dan Aida (Hint-hint mereka akan bersama sudah ada sejak awal, jadi aku mendukung hubungan mereka. Namun, aku berharap penyelesaian konflik keluarga Lando bisa lebih deep, alih-alih diselesaikan semudah membalikkan telapak kaki. Ekhem ... itu malah susah, ya!)

Terakhir (yang bisa kuingat) Latar belakang Cokie sebagai Playboy. (Sekaligus kisah tobatnya sebagai Playboy. Yang boleh kukatakan sangat dangkal dan anti-klimaks. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa Cokie dapat Pengembangan Karakter seperti itu. Dikit-dikit gonta-ganti pacar, eh tiba-tiba jadi setia dan tipikal knight in shining armour. Ke laut aje!)

Satu kelebihan novel ini yang sebenarnya sederhana, tapi mustahil dilakukan oleh penulis zaman sekarang (terutama Watpat) adalah anak remaja bertingkah seperti anak remaja. Dalam artian mereka mandiri, tapi masih membutuhkan sosok orang dewasa. Mereka bandel, tapi tetap menghormati guru dan orang tua. Percakapan mereka pun tidak lebay.

Mereka (terutama Empat Serangkai) tergolong anak cerdas dan kaya, tapi bukan berarti mereka dipuja-puja, atau merasa diri mereka layak dipuja-puja. Inti dari intinya ... mereka MASUK AKAL. Itu yang membuatku nyaman membaca novel ini, meskipun konflik utamanya sangat awikwok. Aku percaya mereka SMA, aku percaya setiap obrolan mereka, sikap mereka, cara mereka menanggapi sesuatu.

Hal-hal seperti itu yang sederhana, tapi penulis Watpat gak bisa.

Secara keseluruhan, ini novel ringan khas Teenlit Golden Decade yang memang harus dinikmati tanpa memikirkan segala ke-brekele-an di dalamnya, lantaran seberapa pun brekelenya Teenlit Golden Decade, tidak akan terlalu menyiksa kita seperti novel Teenlit Watpat, atau Teenlit-nya Lexie Xu yang juga cikal-bakal Teenlit Watpat.

C. Penokohan

Sid. Walaupun menceritakan Empat Serangkai, porsi konflik Sid adalah yang paling banyak. Mulai dari ngebet bikin ekskul Sepak Bola, cinta monyet, cinta mamanya dan Pak Gozali, cinta masa lalu, kebodohannya, sifat bodo amat. Sid ini tipikal cowok kocag dan rada bodoh, terutama di buku kedua yang kebodohan Sid udah di taraf minta dibuang ke rawa-rawa.

Menurutku penulis berhasil membuat pembaca gemez pada ketidak-pekaan Sid di buku kedua. Aku pun bakal menempeleng kepalanya kalau ada di situ. Di antara Empat Serangkai juga Sid paling unlikable. Seringkali Sid tidak sepemikiran dengan teman-temannya, dan lebih mementingkan diri sendiri.

Bisa jadi karena dia tidak dibesarkan dengan sosok ayah, serta mamanya yang juga sangat childish. BUT!!! Bukan berarti dia bisa bertingkah sesukanya tanpa memikirkan perasaan orang, 'kan? Yang membuatku sangat bersyukur adalah teman-teman Sid menyadari sikap brekele tersebut, dan tak ragu menegurnya saat keterlaluan.

Lando. Tipe dingin dan (mantan) Bad Buoy. Lando punya potensi konflik yang sangat barokah, tapi untuk beberapa alasan penulis lebih memilih untuk memperdalam konflik Sid. Ketahuan kan siapa tokoh kesayangan penulis? Contoh saja saat dia dikeroyok oleh preman yang dulu berteman dengannya. Rasanya konflik itu bisa berlanjut, sayangnya tidak.

Terus kisah Ibu Lando yang kabur ke luar negeri sehingga membuat Ayah Lando depresi, juga tidak dibahas lagi sekali pun. Padahal aku sangat mengharapkan sesuatu terjadi dari konflik itu. Hal itu juga yang membuatku berpikir Ayah Lando akan bersatu dengan Mama Sid, karena mungkin sifat ceria Mama Sid bisa menyembuhkan luka Ayah Lando.

Sayangnya, semua itu hanya akan ada di kepalaku seorang.

Cokie. Tipikal Playbuoy cap Gomeh. Sumpah penokohan Cokie sangat buruk, bahkan "perkembangan"nya di buku kedua tidak mampu memperbaiki keburukan tersebut. Di buku pertama, adegan Cokie secara harfiah cuma teleponan dan/atau ketemuan sama cewek-cewek yang berbeda di setiap adegan. You know ... karena dia PLAY BUOY (bruuh).

Empat serangkai lagi kumpul, tiba-tiba ada yang nelepon Cokie, dan seterusnya Cokie pamit diri karena yang menelepon tadi ceweknya. Kemudian salah satu dari Empat serangkai akan mempertanyakan apakah itu cewek yang berbeda dari kemarin, yang ternyata emang cewek beda dari kemarin. Adegan begitu berulang sampai mungkin empat atau lima kali.

BORING!!! Dan saat akhirnya dia dapat "Character Development" pun. Gak ada ujan, gak ada angin, penulis memperkenalkan tokoh baru yang Not Like Other Gorl bagi Cokie, sampai akhirnya Cokie pun merasa dialah cewek yang dia idam-idamkan selama ini sehingga membuatnya tobat dari dunia per-PlayBuoy-an. (Buang saja aku ke rawa-rawa).

Rama. Tipikal cowok unproblematic tapi tidak boring. Bagaimana aku menjelaskannya? Intinya Rama tidak punya satu konflik pun, itu sudah jadi pertanda. Dia orang kaya, pintar, setia, pengusaha, tamban-rupawan. Literally Gary Stu.

Namun, entah kenapa sifat Gary Stu itu tidak terlalu mengganggu, sebab tidak menimbulkan efek apa pun ke cerita. Sebenarnya itu bisa jadi kekurangan dan kelebihan. Rama adalah tokoh yang bagus, tapi penulis membuatnya boring, dengan tidak memberinya konflik apa pun.

Julia. Tipikal ciwi-ciwi ceria yang dieksekusi dengan baik. Alias, penokohan Not Like Other Gorls yang berhasil. Dia tidak pernah menghina cewek lain untuk jadi unik, dia tidak pernah sok macho, atau sok anti hal-hal berbau cewek, atau merendahkan cewek-cewek feminim. Dia cuma menjadi dirinya sendiri. I like that a lot.

Apa lagi Sid benar-benar menistakan Julia di buku kedua. Aku benar-benar ingin memeluk Julia dan mengatakan GORL, YOU DESERVE BETTER! Julia memang tidak pernah terang-terangan mengejar Sid. Sebaliknya, mereka itu dari awal sudah musuhan, berteman tapi berantem mulu gitu, loh. Namun, Julia jelas lebih dulu menyimpan rasa suka.

Nah, kekecewaannya saat tahu kalau Sid adalah orang LOLOT yang tidak bisa menebak pikiran perempuan, bahkan tidak peduli dampak dari perilaku manisnya pada Julia benar-benar membuatku ikut merana.

Aida. Kalau Julia tipe pecicilan, Aida adalah tipe kalem, keibuan, atau singkatnya Shizuka. Aku percaya Aida disukai banyak laki-laki, karena dia memang dermawan, menghargai orang lain, memahami situasi, dan pengertian. Walaupun beberapa kali aku merasa penulis berlebihan dalam mengeksekusi penokohan Aida.

Bayangkan aja Aida selalu tahu isi hati orang lain, sampai di taraf cenayang. Ya, dia cuma menabak-nebak, tapi saat tebakannya selalu benar, itu sudah tidak normal. Julia menyimpan rahasia, Aida tahu. Sid menyembunyikan sesuatu, Aida paham. Lando galau, Aida tahu sebabnya. Gorl, what are you, some kind of witch?

Zai (atau Zen?). Kemunculanya terlalu mendadak, dan memaksa untuk jadi penting. Aku tahu alasan penulis membuat tokoh Zai, tapi kalau seandainya Zai tidak datang terlalu ujug-ujug, mungkin konflik itu bisa sangat terasa dan ngena. Sayangnya, Zai cuma jadi alat untuk Julia dan Sid bisa bersatu. Hesteg Justice for Zai.

D. Dialog

Tidak ada keluhan pada dialog di Teenlit Golden Decade, tentu saja. Bahkan sekesal apa pun Empat Serangkai pada Pak Gozali, mereka tetap bicara sopan padanya, menghormatinya sebagai guru. Paling mereka berani mengejek Pak Gozali di belakang, dengan sebutan Gozila. Nah, itu baru reletable. Kita semua melakukan itu pada guru yang tidak kita suka.

Aku ingat memanggil guru Matematikaku dengan sebutan Pak Titan, karena jarak antara dua matanya agak jauh, mirip Titan di live action Attack on Titan. Maafkan aku Pak ToT. Aku bukannya membenci Bapak, tapi membenci mata pelajaran yang Bapak ajar. Walaupun cara mengajar si bapak memang rada brekele juga. SUDAH!!! Kenapa malah curcol.

Dialog di novel kedua, tepatnya saat kebodohan Sid sedang ada di puncak gunung, sangat superior. Kalau dipikir-pikir, dialog semodel itu seharusnya membuatku cringe, tapi nyatanya tidak. Emosi yang di rasakan Julia dan teman-teman Sid sangat terasa. Ketidak-pekaan Sid pada momen itu sangat tergambarkan dengan jelas juga.

Ya, seluruh adegan ini bikin aku nelongso untuk Jules. Shut up!

E. Gaya Bahasa

Seperti layaknya novel Golden Decade, beberapa hal yang mencangkup PUEBI kurang singkron dengan peraturan zaman now. Terutama 2006 Bahasa Indonesia belum terlalu disempurnakan seperti sekarang sehingga tanda baca dan penempatan kata rada ngaco. Yang paling sering terjadi adalah tanda tanya dobel, dan tidak ada koma sebelum partikel.

Nah, dari sisi kepenulisan plot dan cerita, sebenarnya tidak terlalu ada masalah. Aku menikmati setiap paragraf yang kalimatnya mengalir. Tentu saja, ini novel terbitan Golden Decade. Mungkin satu hal, penulis seringkali merangkum sebuah adegan atau latar belakang tokoh sebelum benar-benar menjabarkan ceritanya per adegan.

Contoh saja Cokie, begitu penulis akan menceritakan latar belakangnya lebih dalam, penulis membuat kalimat seperti ... "Sebenarnya Cokie dulunya bukan seorang Playboy, tapi setelah mantannya berobat ke klinik Tong Fang, Cokie pun truauma akan cinta."

Atau saat penulis hendak menceritakan latar belakang Lando, belio menulis di awal ... "Sebenarnya dulu Lando berbeda dari sekarang. Dia preman, tukang ribut, dan Boz Mafia. Namun, setelah mengenal tiga sahabatnya Lando pun jadi tobat."

Maksudku ... kenapa harus ada penjabaran begitu? Bukankah akan lebih barokah kalau tunjukkan saja latar belakang tersebut. Langsung saja menuju ceritanya, dan biarkan pembaca sendiri yang simpulkan si tokoh dulunya bagaimana, dan dia berubah karena apa. Lah, kalau dari awal sudah diwanti-wanti begitu, efek kejutnya, atau pemahamannya di pembaca jadi berkurang.

Begitu juga beberapa konflik yang hilang tanpa disebut-sebut lagi, padahal bridging-nya di awal bikin penasaran, dan kalau digali lagi bisa lebih barokah. Misalnya konflik ibu Lando tadi, atau kemunculan Zai, atau buatlah konflik tentang Rama dan kehidupannya.

Aku paham, jumlah protagonis mempengaruhi tempo novel ini. Kalau protagonis berjumlah lebih dari satu, penulis harus bisa mengimbangi masing-masing konflik supaya porsinya pas pada masing-masing tokoh. Nyatanya, penulis novel ini terlalu condong ke satu konflik dari satu tokoh sehingga terkesan melupakan tokoh lain, padahal posisinya sama-sama protagonis.

F. Penilaian

Sampul : 2

Plot : 3

Penokohan : 3

Dialog : 3,5

Gaya Bahasa : 3,5

Total : 3 Bintang

G. Penutup

Pada akhirnya novel ini menjadi apa yang kita semua harapkan dari Teenlit era Golden Decade. Tema persahabatan ada, keluarga ada, perjuangan yang menyangkut sekolah juga ada, serta tentunya bumbu-bumbu cinta monyet yang tidak terlalu serius, tapi bagi mereka yang mengalaminya, bisa jadi sangat-sangat-sangat serius.

Walaupun aku masih gak habis thinking sama konflik persepak-bolaannya, dan kenapa konflik itu yang jadi nilai jual di saat konflik itu adalah yang paling BREKELE! Yah ... ini Teenlit after all. Aku membuat catatan itu setiap kali hal awikwok terjadi sepanjang cerita.

Omonganku pun terbukti saat kubilang seancur-ancurnya kebrekelean novel Golden Decade, tidak akan sebrekele novel Teenlit zaman now (baca : Watpat). Yah ... kecuali mungkin Aerial, novel yang seharusnya aku cintai karena terbit di era Golden Decade dan bergenre fantasi, tapi malah menjadi novel yang membuatku bertambah usia 200 tahun saking seringnya kening ini berkerut.

Novel ini punya buku ketiga, yang tidak aku miliki (fuk). Aku akan mencarinya, dan membacanya dalam waktu dekat ... atau lama I don't know. Aku sedang membaca sebijiq buku yang sangat sulit aku selesaikan, dan aku tidak tahu apa penyebabnya!

Nah segitu dulu dariku, sampai jumpa di review berikutnya ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Matahari Minor

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan