Gajah Mada? More Like Gajah Duduk! (Review : MADA)
Judul : Mada
Penulis : Gigrey
Penerbit : Akad
Tahun Terbit : 2021
ISBN : 9786239608040
Tebal : 320 Halaman
Blurb :
Dimulai dari pertemuan tak sengaja di perpustakaan. Gendhis tiba-tiba tertarik ke masa lalu pada zaman Kerajaan Majapahit. Sejauh apa pun Gendhis berlari, Gendhis tetap masuk ke dalam dunia yang terasa aneh baginya.
Majapahit, Gajah Mada, Hayam Wuruk, nama-nama tersebut berputar di pikiran dan penglihatannya. Hingga akhirnya, ia jatuh cinta dengan gajah Mada. Dan mereka pun melalui banyak hal di luar kendali mereka.
"Malam ini sangat indah, Kangmas?"
"Gendhisku jauh lebih indah."


MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Pembukaan
Hellow again, Pembaca Budiman! Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga dalam keadaan sehat walafiat untuk julid. Bercyandaaa!
Pada suatu hari, Gramedia The Fox menggelar event cuci gudang bertajuk "Semesta Buku". Ada banyak pilihan novel dengan diskon hingga 80%, bahkan beberapa bisa tembus 25 ribu per buku, biarpun sebagian besar novel Watpat, tapi Peduli apa Gwe? This is a great deal! Maka aku mengambil tiga puluh! Bohong, aku cuma ambil empat buku dengan harga kurang dari pekgo! Betapa indahnya hari itu!
Dari semua novel diskon tersebut, Mada adalah yang paling menarik perhatian, sebab novel itu super populer di Watpat pada tahun 2021. Dan jujurlly, aku juga sangat menginginkannya, karena sampul super bagus serta review Goodreads yang hampir semua positif. Namun, pada masa itu aku sedang dalam mode edgy, alias ogah FOMO. Terutama pada karya Watpat yang bagiku saat itu (sampai sekarang) pasti brekele.
Sekarang Neptunus mempertemukan kami di cuci gudang Gramedia The Fox, maka aku tidak akan menunda-nunda lagi!
Sampul Mada yang aku baca berbeda dari sampul terbitan pertama. Harus aku katakan, sampul versi pertama lebih masuk ke tema. Ilustrasi dua tokoh utama di muka menjadi implementasi bahwa fokus cerita adalah kisah kedua tokoh utama dengan latar belakang Majapahit. Sedangkan, versi sampul yang aku punya lebih menonjolkan latar belakang daripada tokoh utama. Seolah lebih ingin fokus menunjukkan World Building.
Mengesampingkan semua itu, kedua sampul Mada tetap cantik, sangat sesuai dengan seleraku. Ilustrasinya keren, palet warna enak dipandang, font sesuai tema. Secara keseluruhan cheff kiss! Perfecto!
![]() |
| Sampul Mada versi pertama |
Ada momen lucu saat proses membaca Mada. Aku membaca novel ini di sekolah tempatku berkerja. Salah satu guru sejarah melihat novel Mada di mejaku dengan mata berbinar-binar. Dia memang paling suka sejarah kerajaan Indonesia. Maka datanglah dia padaku dan melihat-lihat isi novel sejenak.
"Ini buku tentang Gajah Mada yach, Bu Impy?" Dia bertanya dengan semangat 45.
"Betul, Pacc. Tapi itu fiksi, Fantasi-Sejarah getoh."
Si guru masih mengebet halaman per halaman, kemudian dia berhenti dengan dahi mengerut. "Apa, nih! Masa zaman Majapahit ngomongnya 'jamet, alay'! Liat tuh Bu Impy!" Dia menunjukkan halaman yang dimaksud. "Sejarah apaan ngomongnya 'jamet, alay' emang ada bahasa begituan di zaman Majapahit?"
"Aku bisa jelaskan 👁️👄👁️"
Rasanya keinginan guru sejarah tersebut untuk membaca Mada hilang seutuhnya. Aku bisa melihat arus wajahnya kiciwa berat. Berharap menemukan kisah Fantasi-Sejarah fenomenal, malah mendapatkan Fantasi berkedok Sejarah. Ya, maafkanlah, Pacc. Begitulah penulis Watpat, mereka paling brekele dalam menata latar dan dialog.
B. Plot
Memperkenalkan Gendhis, seorang wartawan yang sedang bertugas di Jogja untuk meliput seorang penulis terkenal dari keluarga besar "Mada" bernama Armada Biru. Semenjak tinggal di Jogja, Gendhis sering mendapat mimpi tentang dirinya di masa lalu, bermesraan dengan sosok misterius nan tamvan. Keanehan tak sampai di situ, Armada Biru si penulis terkenal, tampaknya terobsesi pada Gendhis. Beberapa kali berusaha memeluk Gendhis dan memanggilnya "Adinda".
Suatu hari Keraton Jogja mengirimkan sebuah lukisan kuno yang mirip sekali dengan Gendhis. Sebelum akhirnya takdir membawa Gendhis ke masa lalu. Lewat ombak laut hangat serta aroma kembang kantil, Gendhis pun bereinkarnasi (atau bermigrasi? I still don't know these Watpat term) ke zaman Majapahit dan harus melaksanakan berbagai tugas yang diada-adain sama penulis.
Nah, itulah garis besar cerita Mada. Um ... aku tidak terlalu menyukai tema reinkarnasi, kembali ke masa lalu, migrasi, reboisasi, atau semacamnya dari Watpat karena satu hal. TIDAK PERNAH ADA PENJELASAN KONKRET TENTANG SEBAB-AKIBAT. Walhasil, banyak plot hole, banyak inkonsistensi, banyak adegan absurd yang membuatku berkata "Hah?"
Seperti Gendhis saat awal sampai di zaman Majapahit. Dia langsung menjelaskan pada Romo dan Ibu (orang tua angkat di Majapahit) bahwa dia berasal dari waktu yang berbeda, alias masa depan. Dan alasan tersebut langsung diterima oleh Romo dan Ibu. Tidak ada kebingungan, tidak ada pertanyaan, tidak ada elaborasi. Seolah fenomena orang datang dari masa depan adalah hal lumrah di Majapahit.
Kemudian, reaksi Gendhis terbangun di dunia yang berbeda sangat tidak realistis. Ini juga jadi masalahku di novel The Bride of Olympus. Tidak ada satu pun tokoh dari novel jenis ini bertingkah sebagaimana mestinya saat terjebak di dunia lain. Mereka beradaptasi secepat kilat, bahkan tidak perlu mempelajari apa pun tentang tradisi dan kebudayaan pada masa itu. Malahan, masa itu yang harus beradaptasi pada mereka. How is that possible?
Terlebih kita sedang membicarakan zaman Majapahit, zaman yang jelas berbeda dari sekarang, entah dari bahasa, budaya, maupun kebiasaan. Tapi Gendhis bebas saja melakukan segala hal, ikut campur pada sesuatu yang bukan urusannya. Seperti contoh konflik pertama, Gendhis melihat seorang suami yang mengusir istrinya lantaran tidak bisa memberikan keturunan laki-laki.
Aku paham Gendhis adalah seorang feminis yang begitu menjunjung emansipasi wanita (meskipun dia diam saja ketika teman cowoknya menyebut wanita sebagai "betina"). Namun, cara Gendhis mengintervensi kejadian itu sangat kekanakkan, tidak berkelas, jelas akan membuatnya dieksekusi mati saat itu juga. Tapi untuk beberapa alasan, kejadian itu berlalu saja seolah memang sering terjadi.
Konflik pertama ini juga sangat aneh. Di awal, sang suami membuang istrinya karena tidak bisa memberikan keturunan laki-laki, tapi kemudian kasusnya berubah menjadi tuduhan perselingkuhan? I don't get it. Konflik pertama selesai ketika Gendhis menjadi detektif untuk membuktikan bahwa sang istri tidak selingkuh, melainkan sang suamilah yang selingkuh.
Okay, I guess ... Aku tidak mengira akan dapat tema detektif juga.
Konflik pertama saja sudah rada aneh, konflik kedua lebih wadidaw lagi. Jadi Gendhis hendak "menyelidiki" tentang perbudakan orang pribumi di kapal orang-orang Inggirs. (Aku pakai kutip karena secara harfiah cuma dikatakan menyelidiki tanpa dikasih tau detailnya). Saat sedang mengendap-endap bertemulah Gendhis dengan seorang bule bernama James.
Kagak tahu James ini siapa, latar belakangnya apa, ke situ buat apa, seberapa besar perannya di kapal, Gendhis menangani pria itu dengan sangat Mary Sue. Yes, I said it! Gendhis adalah seorang Mary Sue! Sebab, alih-alih ditangkap dan ikut disekap layaknya pribumi lain, Gendhis malah melakukan jurus Ceramah No Jutsu hanya karena dia bisa basa enggres.
Gendhis be like "Tunggu, jangan sakiti aku! Aku bisa bahasamu ... aku adalah temanmu, Beybeh. Namaku Gendhis, senang berjumpa denganmu."
GORL, KALIAN SEDANG DIJAJAH! TIDAK ADA YANG SENANG BERJUMPA DENGAN PENJAJAH! Apakah kita lupa arti PENJAJAH? Mereka rasis, menganggap diri mereka lebih tinggi daripada pribumi. Tak jarang mereka menyamakan pribumi dengan binatang. Tidak peduli kau bisa bahasa Inggris, bahasa Prancis, atau bahasa Mars. Kalau kau pribumi dan kau melakukan perlawanan seperti itu MEREKA AKAN MENGHUKUMMU!
Tapi karena tuntutan Plot, tentu saja James tidak menangkap Gendhis, mereka bahkan langsung jadi BESTIE. Berkat Gendhis, James menyadari bahwa perdagangan manusia adalah perbuatan jahat, jadi dia berhenti melakukannya. Betapa indahnya perdamaian dunia seandainya plot disusun oleh penulis Watpat berkedok Sejarah. Everything is sunshine and rainbow.
Masih mau keanehan lain? Kita sampai pada konflik ketiga, sekaligus porsi Romance dalam cerita. Jujurlly, aku terkejut melihat romance di sini sangat kalem. Interaksi antara Gendhis dan Gajah Mada tidak terlalu in your face. Sebenarnya itu membuatku mempertanyakan apakah cinta mereka tulus. Gajah Mada menyukai Gendhis karena (meskipun digambarkan dengan brekele) dia berbeda dari wanita lain di zamannya. Dia berani, spontan, berpegang teguh pada prinsip, dan cantik tentu saja.
Tapi apa yang Gajah Mada taro di atas meja? Sepanjang cerita dia cuma bertingkah sok cool, ngasih barang-barang keramat ke Gendhis bak Doraemon, dan memberi komentar misoginis sehingga mendorong Gendhis untuk melakukan berbagai hal wadidaw. Dia juga seorang War Criminal dan tidak begitu pandai menyusun kalimat rayuan. Tapi narasi memaksaku percaya kalau kisah Gendhis dan Mada ibarat kisah Rama dan Shinta. Gorl, BFFR!
Intinya aku bisa paham kenapa Gajah Mada menyukai Gendhis, tapi aku tidak paham kenapa Gendhis bisa menyukai Gajah Mada. Kalau dilihat dari sikap dan prinsip feminis nan cinta damai Gendhis, dia harusnya benci setengah mati pada Gajah Mada. Namun, Gendhis tidak sekali pun menunjukkan tendensi kalau dia membenci Mada, tidak pula pertentangan, bahkan langsung menerima saat dilamar. tanpa ca-ci-cu, tanpa berpikir bahwa Mada mungkin bukan orang paling suci.
Itu sangat disayangkan karena semua tindak kemanusiaan dan feminisme Gendhis di awal seolah sia-sia. Pada akhirnya Gendhis sama saja seperti wanita kolot yang hanya melihat tampang dan kekuasaan. Dia menentang semua pria yang bertindak semena-mena, tapi begitu pria yang bertindak semena-mena itu adalah seorang Patih yang tamvan dan disukainya. Semua itu tidak penting lagi.
Omong-omong, konflik ketiga ada hubungannya dengan perselisihan Majapahit dengan Kerajaan Sunda. Awalnya kedua kerajaan berperang, tapi berkat diplomasi serta Ceramah no Jutsu dari Gendhis, mereka pun berdamai. Tapi eh tetapi, Mada masih menyimpan dendam pribadi pada salah satu petinggi di Kerajaan Sunda. Maka Mada pun melanggar sumpahnya pada Gendhis untuk berdamai dan membantai Kerajaan Sunda.
Aku akan sangat senang kalau setelah itu Gendhis marah besar pada Mada dan membenci Mada. Mungkin menjadi alasannya mencari jalan pulang ke zamannya demi meninggalkan pria itu. Apa pun yang membuat hubungan keduanya diuji. Sayang beribu sayang, itu tidak terjadi. Gendhis memang marah, tapi lebih ke marah yang gemez, dan memohon pada Mada untuk tidak melakukan pembantaian lagi.
Gendis be like. "Kang Mas harus berjanji demi aku untuk tidak membantai kerajaan orang lagi. Kalau nggak aku ngambek!"
dan Mada menjawab, "Baik Adinda, Kang Mas janji tidak akan membantai kerajaan orang lagi sampai akhir hayat demi Adinda Mbla'em-mbla'em."
"Ih, ma'acih, Kang Mas! Seneng deh Eyke!"
UDEH GITU DOANG PENYELESAIANNYA!? Tidak ada rasa takut dari Gendhis pada suaminya yang ternyata kriminal perang? Tidak ada rasa kecewa? Tidak ada hukuman atau konsekuensi? Karena setelah itu mereka saling gombal lagi, seolah segala hal tentang PEMBANTAIAN tidak pernah terjadi. Konflik ini lagi-lagi membuatku sadar kalau genre Sejarah dalam novel ini cuma tempelan.
Ya, aku tahu Fantasi-Sejarah tidak harus akurat dengan sejarah yang diambil, tapi setidaknya ada satu momen, atau satu kejadian signifikan yang membuat kita masuk serta memahami sejarah tersebut (entah fiksi atau sungguhan). Ini mah kagak! Latar tidak tergambar baik, dialog tidak sesuai latar. Novel ini bisa mengambil latar di mana pun dan ceritanya tidak akan berubah, saking semu-nya.
Pada akhirnya Gendhis pulang ke masanya ketika dipanah oleh orang random sok misterius sambil ngomong. "Maaf telah membawamu ke dunia ini hanya untuk membuatmu menderita."
Honey, I'm lost at this point, aku bahkan tidak tahu kenapa Gendhis dikirim ke situ dari awal, apa tujuannya juga tidak jelas. Pokoknya ada hubungannya dengan Ratu Pantai Selatan dan keseimbangan dunia? Ye ... aku juga kagak begitu paham kenape Ratu Pantai Selatan iseng banget bikin-bikin begituan kayak kagak ada kerjaan laen di dunia roh.
Plus, Kanjeng Ratu cuma mengambil orang-orang yang punya nama serupa dengan tokoh di Majapahit untuk dikirim ke masa lalu. Kalau mau jujur, penjelasan itu lebih menimbulkan banyak pertanyaan daripada jawaban. Sebab, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, Raja Hayam Wuruk di sini juga ternyata berasal dari masa depan. Buku ini berharap informasi tersebut membuatku khayang sambil berkata ....
"WHAAATTT!!! GILA KREATIF BANGET, CUY! TERNYATA SANG RAJA HAYAM WURUK YANG AGUNG ITU DATANG DARI MASA DEPAN!! UNBELIEVABLE!!! APPLAUSE BANGET GA SIH BUAT SI PENULIS."
Tapi kenyataannya yang keluar dari mulutku saat itu cuma, "Ha?"
Saat kembali ke masanya, Gendhis menyadari ternyata Armada Biru si penulis terkenal yang terobsesi pada Gendhis adalah Gajah Mada Zaman Majapahit yang diberi kesempatan oleh Kanjeng Ratu untuk menghentikan waktu (alias usianya) sehingga dia bisa mengembara di dunia, demi mencari Gendhis sang kekasih hati di masa depan supaya mereka bisa bertemu dan kembali memadu kasih di zaman yang tepat. Aww ... that is so sweet.
TAPI TUNGGU SEJENAK!
Kalau Mada adalah Gajah Mada dari zaman Majapahit, bagaimana ceritanya dia adalah seorang anak dari keluarga besar penulis terkenal yang kesemuanya bernama akhiran "Mada". Bukankah dia seharusnya solitude? Toh, dia bukan disebutkan bereinkarnasi atau imigrasi atau reboisasi. Dia benar-benar Mada dari zaman Majapahit yang hidup abadi demi menemukan Gendhis.
Harusnya dia menghadapi dunia dari berbagai zaman sendirian, mencari dan terus mencari hingga akhirnya bertemu dengan Gendhis, dong? AMERICA EXPLAIN!!!
Sekarang aku yakin untuk tidak menyarankan novel ini ke penikmat sejarah ataupun penikmat reinkanasi, sebab kedua hal itu paling ditonjolkan novel ini, tapi tidak satu pun yang tergambarkan dengan baik. Bahkan sisi romance-nya pun kureng. Wholesome tidak, hot-hot-hot tidak, cinta jadi benci juga tidak. Tidak ada yang berkesan dari kisah cinta mereka.
What should I do with this book?
C. Penokohan
Gendhis. Tokoh utama not like oher gorl kita yang kinda Mary Sue! Serius, Gendhis ini seperti punya aura rizz dalam dirinya, lantaran setiap orang jahat yang bertemu dengannya akan tiba-tiba berubah jadi baik. Bahkan kalau Gendhis reinkarnasi ke zaman Mahabarata, aku yakin dia bisa membuat Sangkuni tobat dan menggagalkan perang besar! Seberpengaruh itulah dia!
Anehnya, sisi Not Like Other Gorl dan feminisme Gendhis tergambarkan dengan baik. Aku suka caranya membela orang lain, menentang para petinggi, melakukan perlawanan, menjadi kreatif dan berprinsip tegus. BUT! (it's a big but) kenapa tidak satu pun dari sikap rebelious Gendhis itu ada konsekuensi? Setiap orang menuruti dan mendengarkannya. Padahal seharusnya itu menjadi konflik baru di zaman sekuno Majapahit.
Harus aku akui, Gendhis dalah tokoh yang membuatku betah membaca novel ini, meski terkadang dialognya cringe dan tingkahnya tidak masuk akal. Dia tetap tokoh paling menarik, tidak membosankan. Aku bersyukur kita dibawa bertualang dari sudut pandang Gendhis, sebab kalau tidak aku tidak yakin novel ini akan selamat.
Mada. Dia tuh apa, sih? Apa yang buku ini ingin aku rasakan pada Mada? Dia begitu boring. Aku harus buat perbandingan dengan novel The Bride of Olympus. Tokoh utama laki-laki di situ adalah Dewa Ares, sifatnya jelas kejam dan mengintimidasi, tapi penyayang dan UwU di depan pacarnya, aku sebagai pembaca bisa merasakannya dari cara si tokoh berperilaku.
Mada di sisi lain ... Saking bingungnya, aku sampai membuka Goodreads untuk melihat tanggapan pembaca lain tentang tokoh Mada. Kenapa Mada sangat dicintai. Well, tidak ada jawaban di sana. Orang-orang nge-simp Mada cuma karena dia seorang PATIH di zaman Majapahit dan ilustrasinya mirip orang kuriya. Apakah orang-orang tetap akan nge-simp Mada jika ilustrasinya seperti ini?
![]() |
| Mada versi arca hanya bapa-bapa zaman Majapahit biasa JK.JK! |
Romo dan Ibu. Tim hore untuk Gendhis
Hayam Wuruk. Raja yang ternyata seperti Gendhis juga datang dari masa depan. Tidak terlalu penting untuk cerita selain nongol sekali-dua kali untuk berdialog kocak dengan Gendhis. Aku rasa tokoh ini dibuat cuma supaya penulis punya efek kejut untuk novelnya. Raja Hayam Wuruk yang agung ternyata bocah biasa dari masa depan? Wooow.
Sorry gorl, itu tidak berhasil (untukku pribadi). Sebab tidak ada keterangan dia ke situ buat apa, siapa yang kirim, tujuannya apa, caranya beradaptasi gimana, dia berusaha pulang atau nggak. Kenapa dia bisa menjadi Raja padahal bukan raja sesungguhnya? Bisakah dia mengatur Majapahit? Apakah dia makan komodo untuk sarapan (ini pertanyaan ngaco karena Impy sudah ngantuk)
D. Dialog
Jadi begini ya, Pembaca budiman ... dialog merupakan salah satu kunci utama World Building. Tidak perlu muluk-muluk, hanya saja harus menyesuaikan latar dan suasana. Aku mengharapkan bahasa baku jika latar tempat di masa lalu. Latar masa kini atau masa depan aku tidak peduli, tapi khusus masa lalu, bahasa baku lebih terasa masuk akal memberikan efek "mesin waktu".
Dialog dalam novel Mada sebenarnya bisa dibilang baku. Aku bisa memaklumi kata seperti "Jamet, Alay." dari Gendhis karena aku paham konteks, dan dialog itu masih masuk akal melihat Gendhis sedang marah dan spontan. Novel Mada juga menggunakan sebutan seperti Kang Mas, Romo, Nyai, dan sebagainya menyesuaikan latar jawa kuno. Beberapa kali juga menggunakan Bahasa Jawa.
Lantas, kenapa aku tidak merasa ada di situ pada masa itu? Tidak ada ciri khas dari zaman tersebut yang bisa aku rasakan dalam dialog. Mungkin karena novel fiksi-sejarah yang biasa aku baca memang lebih banyak mengandung narasi daripada dialog sehingga aku harus beradaptasi untuk Fiksi-Sejarah lulusan Watpat. Ya ... pasti itu alasannya.
Satu lagi ... kenapa sangat sedikit dialog romantis antara Gendhis dan Mada padahal mereka tokoh utama dalam novel ini, dan seharunya kisah cinta mereka menjadi topik utama? Aku hampir tidak percaya mereka saling mencintai kalau penulis tidak memaksaku percaya lewat narasi. Tidak ada momen mereka yang membuatku UwU, bahkan tidak dialog yang di-highlight di blurb.
"Malam ini sangat indah ya, Beybeh."
"Gendhis Mbal'em-mbla'em jauh lebih indah."
Darling ... kalian bahkan belum punya adegan berlari bersama di padang rumput, belum bermain di kali sambil ciprat-cipratan air, belum makan bakso sepiring berdua, dan kalian sudah bertukar dialog UwU begitu? I don't feel the saprk here!
E. Gaya Bahasa
Novel ini mengambil sudut pandang orang ketiga serba tahu. Sebagian besar mengambil sisi Gendhis, tapi beberapa kali ada sisi Mada juga. Harus aku katakan sebagian besar narasi dan deskripsinya aku enjoy. Ada beberapa typo, tapi tidak terlalu mengganggu buatku pribadi. Ada referensi modern yang digunakan di narasi, itu sedikit membuat bulu ketekku berdiri. Tapi selebihnya tidak masalah.
Yang aku ingin pertanyakan seungguhnya adalah World Building ....
Seseorang tolong jelaskan bagaimana sistim reinkarnasi dalam novel ini berkerja, sebab aku hampir-hampir membalik meja saking bingungnya. Jadi reinkarnasi bisa dilakukan kalau seseorang yang memiliki nama sama persis seperti tokoh di Majapahit. Oke, bagaimana kalau ada seratus orang yang punya nama tersebut? Bagaimana proses seleksi supaya terpilih satu okoh?
Kemudian reinkarnasi dilakukan oleh Kanjeng Ratu Pantai Selatan supaya dunia seimbang? Mangsutnya seimbang buat siapa? Terus, sebelum Reinkarnasi terjadi, orang tersebut akan mendapatkan mimpi tentang dirinya di masa lalu, kemudian bertemu sosok misterius dari zaman dahulu yang bisa menjadi perantara reinkarnasi(?) SIAPA ORANG-ORANG ITU??? Suruhan Kanjeng Ratu? Kanjeng Ratu yang menyamar?
Di tempat reinkarnasi pula ... bagaimana sistim linguistiknya? Apakah para reinkarnator langsung bisa bahasa tempat tersebut? Apakah seseorang bereinkanasi bersama seluruh pengetahuan tempat mereka akan ber-reinkarnasi? Sebab khusus Gendhis, dia bisa tahu segala sesuatu tentang zaman Majapahit dan cepat beradaptasi karena dia "pernah belajar tentang Majapahit" yang berarti dia bukan seorang ahli. Bagaimana dia bisa beradaptasi secepat itu?
You know what ... Tidak perlu kalian jawab. Biarlah Neptunus sendiri yang memberi jawaban itu kepadaku.
Novel ini punya ilustrasi ... aku biasanya memberi nilai tambah untuk novel yang punya ilustrasi dengan catatan ilustrasi tersebut harus sesuai dengan adegan dalam narasi. Nah, Ilustrasi di novel Mada sebenarnya sangat bagus (meskipun bukan seleraku pribadi), tapi sang ilustrator harus mempelajari ekspresi wajah selain muka datar sok kulbet.
Ada adegan Mada dengan Gendhis sedang ngerumpi setelah mereka berhasil menghukum Sang Suami bersetra selingkuhannya di konflik pertama. Kemudian tiba-tiba Hayam Wuruk datang sambil berteriak "MADA!!!" digambarkan berintonasi marah besar. Otomatis aku membayangkan Hayam Wuruk berteriak dengan wajah marah, dong ... kalian pasti juga, 'kan?
Alih-alih kita malah diberikan ilustrasi seperti ini ....
![]() |
| What is this? Kompetisi mewing? |
Lagi enak-enak membayangkan suasana dan ekspresi tokoh, malah dibikin nge-blank sama ilustrasi! Percayalah hampir semua ilustrasi disini ekspresi tokohnya kalau nggak mewing ya sok kulbet. Ya, aku tahu para tokoh terlihat tamvan dan cantiks saat ekspresi datar, tapi mereka kan bukan boneka!
Ini menjadi pertimbangan bagi penulis di luar sana, jika ilustrasi tidak menggambarkan narasi dan deskripsi dari novel dengan benar, sebaiknya tidak usah memakai ilustrasi!
F. Penilaian
Sampul : 3
Plot : 2
Penokohan : 2
Dialog : 2
Gaya Bahasa : 2
Total : 2 Bintang
G. Penutup
Kalau aku dapat satu sempak setiap kali kebingungan membaca novel bertema reinkarnasi, maka aku akan punya dua sempak. Memang sangat sedikit, tapi sudah cukup untuk membuatku tidak ingin membaca cerita bertema reinkarnasi lagi untuk beberapa waktu ke depan. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, dan terlalu sedikit jawaban yang kudapat.
Anehnya, aku merasa cuma aku yang terganggu dengan hal-hal tersebut! Semua orang tampak senang dengan ide bahwa mereka terbangun di dunia lain sebagai orang lain, dan melakukan berbagai hal wadidaw, plus berakhir menikah dengan orang tamvan dan\atau cantiks. Tapi aku harus tahu 5W1H jika aku mengalami hal tersebut, mungkin aku memang tidak cocok menyelami tema ini. Aku terlalu rasional.
Fantasi-Sejarah yang novel ini gembar-gemborkan juga terasa kurang dari berbagai hal. Tidak memikat dari segi sejarah, tidak juga memikat dari genre Fantasi. Intinya, novel ini tidak mencapai ekspektasiku sebagai Fantasi-Sejarah paling populer di Watpat pada tahun 2021. Namun oh nenamun, jangan jadikan review ini sebagai tolok ukur bagi kalian.
Selera pembaca orang berbeda-beda, tidak ada satu review pun yang objektif di dunia ini. Maka kalian coba katakan padaku, coba buat aku mengerti kenapa novel tema reinkarnasi begitu memikat atau tidak memikat bagi kalian.
Nah, segitu dulu review kali ini, kita bertemu lagi kapan tau ^o^/
Pojok Nitpick Bersama Impy
Di satu kesempatan keluarga Gendhis kerampokan sehingga membuat Gendhis terpaksa memotong rambut, lantas menjual rambutnya demi mendapatkan uang. Pertama, jual-beli rambut sangat tidak lumrah di era Majapahit, orang-orang tidak membutuhkan rambut pada saat itu, tidak yakin juga akan digunakan untuk apa.
Apakah penulis membaca Little Women suatu hari dan terinspirasi saat Jo menjual rambutnya demi mendapat uang? Namun, latar Little Women adalah Amerika Serikat era Perang Saudara. Wig sedang populer pada zaman itu, rambut panjang menjadi aset berharga, serta lambang feminim. Tentu rambut sangat berharga dan banyak yang mau. Apa yang orang-orang Majapahit lakukan pada rambutmu, Darling?
Kedua, kenapa Gendhis sangat merana dan depresong saat memotong rambutnya sampai pendek, padahal dia MEMANG SUDAH PUNYA RAMBUT PENDEK SEJAK AWAL! Genhis tidak pernah digambarkan punya rambut menjuntai panjang nan indah melambai-lambai tertiup angin. Entah dalam narasi maupun ilustrasi, rambut Gendhis selalu BOB CUT! YOU'RE A KUNTY BOB, GENDHIS!
Dan dia merana rambutnya dipotong sedikit lagi sampai sebatas telinga? Gendhis be like ... "Kakanda, apakah kau akan tetap mencintaiku meskipun rambutku seperti laki-laki begini?"
Gorl, don't be so dramatic! Konflik seperti itu bisa masuk akal kalau dari awal Gendhis membanggakan rambutnya yang panjang, lebat, dan indah. Memotong rambut sepanjang itu tentu sebuah sakit hati yang tidak bisa disebutkan dengan kata-kata. LAH INI KAN KAGAK!
Selanjutnya ... di awal cerita ada adegan Gendhis melihat Armada Biru dan seorang ANAK SMA LAKI-LAKI bertukar senyum, dan Gendhis menganggap mereka berdua punya hubungan menyimpang? WHAT ARE YOU TALKING ABOUT??? Sesama cowok tidak boleh bertukar senyum, gitu? Jadi cowok kalau ketemu cowok jangan sampe menunjukkan emosi selain stoic, kalau tidak kalian GEEIII!!! (Menurut Gendhis). Gendhis mending lu banyak-banyak bertapa, deh, biar otak lu kagak ngeres.
Terakhir ... katakan padaku, bagaimana caranya elektronik milik Gendhis masih berfungsi selama berminggu-minggu tidak di-charge selama di Majapahit? Begitu juga ponsel Hayam Wuruk yang masih berfungsi baik setelah tujuh tahun. Apakah Kanjeng Ratu Pantai Selatan yang melakukan itu? Sebab novel ini tidak pernah menjelaskannya kepadaku. Seolah ponsel yang masih menyala tanpa di-charge setelah tujuh tahun adalah hal lumrah.
INI MEMBUATKU GILA!!!
.png)























Sepertinya lebih tepat disebut isekai kak impy dari pada reinkarnasi 😁
ReplyDeleteAku tadinya punya ekspektasi besar sama ini novel karena aku suka manhwa genre itu. Tapi melihat review kakak kok keknya wadidaw sekali wkwk emang review GoodReads itu kaga bisa dipercaya 🤣
Bener kata kakak, sampulnya cakepan yg pertama. Sampul yg edisi pertama itu sempat membuatku tertarik untuk beli.