The Bride of Olympus


Judul : The Bride of Olympus

Penulis : Anna Kanina

Penerbit : Elex Media Komputindo

ISBN : Belum ada (???)

Tebal : Total Tiga Bagian 493 Halaman

Blurb :

Jiwa seorang aktris di era modern, terjebak di dalam tubuh Putri Sparta dan dinikahkan dengan Ares, Dewa Perang Yunani yang terkenal kejam.

***

Jill Adelaide adalah aktris populer dengan kehidupan sempurna. Dikarenakan sebuah ritual misterius yang membawa jiwanya ke era Yunani Kuno, dia terbangun dalam tubuh Putri Sparta yang hendak dinikahkan dengan Ares, seorang Dewa Perang yang memiliki reputasi buruk dalam sejarah.

Tidak memiliki pilihan lain, Jill terpaksa beradaptasi di era Yunani Kuno dan tanpa sengaja mengetahui rahasia para Dewa Olympus yang rupanya tidak seperti yang tertulis dalam mitologi. Meskipun Jill mengetahui sejarah panjang perselingkuhan Ares dengan Aphrodite, sang Dewi Kecantikan, semakin hari semakin sulit untuk mengelak dari pesona Ares yang sudah bertekad untuk meluluhkan hatinya.

Apakah Jill akan menyerah menerima jati dirinya yang baru? Ataukah ia memilih untuk kembali ke kehidupan lamanya yang sempurna? Dan apa yang akan terjadi ketika Jill tanpa sengaja mengetahui rahasia penting yang dapat merenggut nyawanya?
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Takdir dari Neptunus

Selamat pagi-siang-sore-malam bagi para pembaca sekalian ^o^/

Review Impy kali ini spesial, karena aku mengenal penulisnya yang bernama Anna Kanina. Yah, walaupun bukan teman dekat apa lagi Best Pren Poreper (I wish, tho ....), tapi kami cukup akrab di Pesbukk dalam artian berbalas komen dan julid, ekhem ... Diskusi berfaedah. Aku jelas menaruh respecc besar kepadanya sebagai sesama penulis. Lagi pula Mbak Anna ini sangat baik dan rendah hati padahal dia boleh dikatakan sebagai Penulis Pemes. We Support Humble Queen!!!

Aku pernah meminta izin kepada Mbak Anna untuk mereview novelnya yang berjudul The Bride of Olympus, dan dia mengizinkan meskipun berpotensi julid. Coba tengok “review” aduhai buatanku untuk Pacc Ragiel dan Pacc Suwoko kalau tidak percaya, h3h3. Serius, banyak sekali penulis humble dan underrated kenalanku di Pesbukk, dan mereka layak mendapat apresiasi sebanyak-banyaknya!

Sebenarnya The Bride of Olympus sangat populer di Watpat, pernah jadi cerita ekslusif, dan aku sendiri sempat dibuat tertarik. Helooow, siapa yang tidak tertarik pada cerita bertemakan Dewa-Dewi Yunani? Namun, saat itu hasratku terhadap cerita Watpat (juga cerita Platform Online secara keseluruhan) sudah hilang ditiup muson Utara, dan aku membuat sumpah kepada Neptunus kalau aku hanya akan membaca serta mereview novel-novel yang sudah terbit.

Makanya saat mendengar kabar The Bride of Olympus terbit, aku pun sadar kalau ini semua memang sudah ditulis oleh Neptunus dalam suratan takdirku. Neptunus memang menginginkanku untuk membaca dan me-review novel ini.

SUDAH!!!

Pertama, marilah kita nikmati keindahan sampul novel TBoO (itu singkatan judulnya eaa!). Dari segi warna yang adem, font sederhana tapi elegan, tata-letak keseluruhan, serta pemilihan foto yang begitu cocok dengan judulnya. Aku cuma berharap kalau novel ini tersedia dalam bentuk cetak, karena aku jelas akan mengoleksinya!

Nah, kalau sampul sudah oke, bagaimana dengan isi novelnya sendiri? Mari kita cekidot!

(Oh, ini mungkin review terakhir yang kubuat di tahun 2022. Marilah kita tutup Review Impy tahun ini dengan Review yang barokah. Benar, 'khan? H3h3 .... )

B. Plot

Novel ini dibagi menjadi tiga bagian, yang sebenarnya membuatku heran. Maksudku ... novel ini sejatinya satu cerita, dan kalau ditotal pun cuma 500 halaman. Itu jumlah yang sangat normal untuk satu novel Fantasi, apalagi versi Digital tidak perlu memkirkan biaya kertas. Kesannya jadi kayak diribet-ribetin gitu. Mbak Anna, kalau boleh berbagi Fun Fact, kenapa pada akhirnya dijadikan tiga bagian? Aku akan senang mendengarnya.

Di awal novel Bagian Pertama, kita langsung disuguhi adegan seorang gadis bernama Jill terbangun dalam tubuh putri Sparta bernama Portia yang sebelumnya tertidur selama sembilan hari akibat diracun(?). Dewa Ares berjanji akan menyembuhkannya dengan syarat Portia mau menjadi istrinya. Tidak punya pilihan lain, pada akhirnya Portia alias Jill ikut ke Olympus, menjadi Istri dari Ares, Dewa perang yang terkenal kejam.

Lantas konflik pun berjalan seputar Jill dan hari-harinya di Olympus sebagai istri Dewa Ares. Mencoba beradaptasi, serta berusaha untuk tidak terpikat pada pesona sang dewa, sebab tidak mungkin Jill tinggal selamanya di dimensi asing, dalam tubuh yang bukan miliknya. Dia punya karir gemilang di dunia asalnya sebagai aktris, dan juga masih punya keluarga, pokoknya hidup Jill sempurna. Meskipun kita semua tahu pada akhirnya Jill terpikat juga. Ini novel romantis, after all.

Komentarku setelah membaca novel Bagian Pertama adalah ... “Welp ... that was boring.”

Lemme Eggsplain!

Aku punya satu keluhan besar pada novel ini, yaitu BANYAK SEKALI RANGKUMAN! Aku pernah mendengar kritikus novel memberi komentar, “Too much Summary, not enough Scene.” Alias terlalu banyak rangkuman daripada adegan, dan komentar itu rasanya juga cocok untuk novel TBoO.

Gimana ya ... penulis kurang mengeksplor emosi para tokoh (terutama Jill), dan malah fokus memberi kita ‘pelajaran’ serta ‘fakta trivial’ tentang Dewa-Dewi Yunani. Ya, aku tahu para tokoh di sini memang Dewa-Dewi Yunani sehingga secara teknis penjabaran itu juga berarti pengenalan tokoh. Namun, aku yakin ada cara yang lebih baik, lebih ‘ngena’, dan lebih ... apa ya bahasanya? Mungkin lebih mengedepankan teknik Show daripada blak-blakan seperti ....

"Dewa Ares adalah anak Dewa Zeus bersama selingkuhannya, dia Dewa perang, dia dikucilkan dan dibenci karena memble. Kakaknya bernama Athena lebih keren dan barokah, dan dia Dewi strategi, serta anak kesayangan Zeus. Terus ada Demigod namanya si Anu, dia anak kesayangan Dewa Anu, dan pernah mengalahkan si Anu, tapi tidak sepopuler Dewa Anu. Posisinya di Olympus adalah nyapu-ngepel dan cuci piring."

I mean, really? Ini nopel ape Wikipediah!

Serius, penjabaran seperti itu selalu ada setiap kali tokoh baru muncul. Itu jelas informasi penting nan menarik, dan kita sebagai pembaca memang ingin mengenal si tokoh dengan baik, tapi haruskan pakai cara penjabaran artikel seperti itu?

Masih masalah emosi tokoh dan too much Summary. Aku merasa reaksi Jill dalam menghadapi situasi yang dialaminya benar-benar BREKELE! Sumpah ya, aku nyasar di Super Market atau Mall aja bingungnya udah kayak mau meninggal. Lah, ini Jill secara harfiah terjebak di DUNIA LAIN, sendirian tanpa memahami apa pun. Tapi ini manusia masih sempet-sempetnya pengin jadi Master Chef, gegara makanan di Olympus brekele, jalan-jalan sore nan santai, berakting manis-manja-unyu ke Dewa Perang!

Dikatakan bahwa Jill seorang artis, dan dia mungkin Seterong Gorl sehingga bisa tetap tenang dalam situasi terburuk sekali pun! Tapi ayolah ... bahkan manusia paling tegar di dunia nyata (tidak peduli cowok atau cewek) mustahil bisa setenang Jill dalam posisi yang sama. Aku jadi tidak memilik simpati sama sekali untuknya.

Memang ada deskripsi yang mengatakan kalau Jill lari-lari seperti orang gila karena panik dan ketakutan, tapi ya begitu saja. Di-RANGKUM doang, di-JABARKAN doang, di-SUMMARY doang. Mana buktinya kalau dia benar-benar kebingungan, ketakutan, putus asa? GAK ADA! Karena toh setiap berdialog atau ada adegan spesifk (dalam hal in Scene) dia selalu tenang seolah memang sudah dari brojol tinggal di situ. Jill bahkan tidak berusaha untuk pulang!

Well, sebanarnya ada sedikit usaha penulis dalam menunjukkan keinginan Jill untuk pulang, tapi menurutku usahanya tidak cukup keras. Gorl ... you can do better that that if you really want to go home! Memang ada beberapa faktor yang membuat Jill ogah pulang, seperti punya lakik tamvan literally Dewa Yunani, diperlakukan spesial oleh semua orang, kaya raya 100 turunan. But again ... don’t you miss your mom, friends, your freakin pets maybe?

Sikap Jill yang tidak memedulikan pulang sebenarnya bisa dimaklumi kalau semisal di dunianya dia sebatang kara, depresi, tidak ada lagi yang diperjuangkan, atau pernah dikecewakan oleh sesuatu. INI TIDAK! Kita tidak pernah diberitahu latar belakang Jill secara mendalam. Kita cuma tahu Jill artis terkenal, hidupnya SEMPURNA, tapi tidak pernah diberitahu hubungannya dengan keluarga, teman, atau apa pun itu sehingga tidak ada justifikasi terhadap keputusan Jill.

Kalau kalian bertanya padaku, “Terus kudu begimane duooong biar elu seneng?”

Ya, aku berharap penulis lebih fokus memperdalam emosi para tokoh sejak awal, aku ingin bersimpati terlebih dahulu kepada Jill sebelum menghadapi tetek-bengek perdewaan lebih lanjut. Aku ingin ikut merasakan bagamana takut, bingung, panik, sampai akhirnya pasrah terjebak sendirian di tempat asing dalam wujud berbeda.

Misalnya buatlah perlawanan Jill lebih keras sebelum dibawa ke Olympus. Mungkin adegan Jill menangis tidak mau keluar kamar, lalu ibu Portia mengatakan sesuatu yang UwU. Maka dapatlah kita bonding antar Ibu dan Anak yang sama-sama tidak berdaya menolak perintah dewa. Meskipun asing, Jill merasakan aura sang Ibu pada Ibu Portia, maka dia bersandar di bahunya dan menangis bersama.

Atau buatlah adegan ayah Portia menantang Dewa Ares, karena dia tidak mau anak kesayangannya diambil, apa lagi Portia kelihatan begitu takut dan syok. Namun, Dewa Ares tetap memaksa, lantas menyadarkan ayah Portia kalau mereka memang tak berdaya menolak perintah Sang Dewa. Dari situ kita bisa mendapat info tersirat tentang betapa berkuasa dan kejamnya Dewa Ares, tanpa perlu penjabaran ARTIKEL WIKIPEDIAH!

Banyak sekali yang bisa digali dari segala sudut terutama emosi para tokoh, banyak kesempatan untuk membuat pembaca bersimpati. Tapi saat Jill santai-santai aja dibopong ke Olympus, bahkan membawa sikap petantang-petenteng ala Seterong Gorl. Ya ... tentu saja aku sebagai pembaca pun jadi ikutan santai, tidak menganggap ini semua serius. Sekaligus heran kok ada orang se-batu ini, dalam artian cuek aje gitu mau diapain juga, dibawa kemana juga..

Belum lagi laju alur yang terlampau cepat tanpa berpengaruh pada apa pun baik konflik keseluruhan maupun perkembangan para tokoh. Tiba-tiba seminggu berlalu, tiba-tiba sebulan berlalu, tiba-tiba Ares udah cinca mati ke Portia alias Jill, tiba-tiba Jill berteman dengan Centaur, tiba-tiba udah begini-begitu-begono. KENAPA SEMUANYA SUMMARY??? MANA SCENE-NYAAA???

Mungkin aku berekspektasi terlalu tinggi? Maksudku ... judul novel ini jelas-jelas The Bride of Olympus! Tentu saja ceritanya lebih berfokus seputar pasangan suami-istri berserta pernikahan mereka If you know what I mean!

Sebenarnya, pertanyaan utama kita sebagai pembaca adalah “Kenapa Jill harus berpindah tubuh dan dimensi? Supaya apa? Oleh siapa? Bagaimana? Kenapa harus Jill? Kenapa harus tubuh Portia? Di mana ruh Portia yang asli?”

Jujur saja, semua pertanyaan itu terjawab dengan baik. Menerapkan hukum sebab-akibat yang membuat semuanya masuk akal. Namun, sekali lagi, semuanya dirangkum. Aku benar-benar mendapatkan seluruh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas pada beberapa lembar halaman di novel Bagian Ketiga.

Bukan berarti metode itu salah, hanya saja kurang efektif. Ibaratnya, buat apa capek-capek membaca keseluruhan novel kalau membaca halaman pertama, lantas loncat ke halaman terakhir sudah bisa membuatku tahu isi cerita keseluruhan. Kalan mengerti maksudku?

Bay de wey, kesimpulan dari Bagian Pertama cuma Jill dan Ares akhirnya ehem-ehem (bruuh).

HOW EVAH! Bagian Kedua sedikit lebih menarik dari Bagian Pertama yang cuma berisi romansa Jill dan Ares. Contohnya kedatangan Jacinda yang misterius, ancaman pemberontak, Jill ikut dalam Lomba Berburu, Jill bertemu Dewa Hades dan melawan Carberus, serta Jill akhirnya mengaku bahwa dia bukan berasal dari zaman mereka, juga bukan Portia yang asli.

Namun sekali lagi. TOO MUCH SUMMARY! Lagi-lagi segala hal harus diceritakan dengan metode Tell yang sama sekali tidak menggali reaksi pada setiap tokoh, minim aksi, terlalu cepat, dan transisi yang tidak jelas. My oh my, biar kujelaskan lebih lanjoet!

Jadi, ada lomba berburu monster di hutan, dan Jill memaksa ingin ikut untuk membuktikan pada Ares kalau dirinya adalah Seterong Gorl. Nah, mari kita lihat dulu konteks Jill dalam situasi ini. Manusia dari masa depan, di mana monster danggap mitos, dan sudah pasti Jill tidak pernah melihat satu pun monster dalam hidupnya, terlebih lagi MELAWANNYA! Tapi tahookah kalian reaksi Jill saat melihat Cyclops ut\ntuk pertama kali?

"Jill sangat terguncang melihat monster itu. Mereka sangat buruk rupa dengan bonggol-bonggol di sekujur kulitnya."

Udeh ... reaksi Jill saat bertemu Cylops cuma dijabarkan satu kalimat begitu doang?

Escusmi, Jill .... YOU JUST ENCOUNTER A FREAKIN CYCLOPS! FOR THE FIRST TIME IN YOUR FREAKIN LIFE! Monster raksasa tak berotak yang buas, berbahaya, menyeramkan, dan tidak pernah elu liat sebelumnya. DAN ELU CUMA TERGUNCANG???

Reaksi Jill harusnya bisa lebih baik dari itu. Dia bisa syok dan berteriak, atau terpaku di satu tempat, atau gemetar sampai harus diseret menyingkir oleh kelompoknya. Banyak sekali cara menggambarkan rasa takut dan kaget Jill supaya pembaca bisa relate, bisa ikut tegang dengannya sebagai manusia modern yang menghadapi monster untuk pertama kali dalam hidup.

YES! YES! Aku paham dari awal penulis sudah wanti-wanti kalau Jill adalah Seterong Gorl, dan jelas BEDA dari kita semua orang-oang brekele, tapi ini sudah di luar nalar! Tokoh Seterong bukan berarti tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun, tapi bagaimana cara si tokoh menghadapi rasa takutnya. Kalau dari awal rasa takut tersebut tidak tersampaikan dengan baik, penyelesaiannya pun tidak akan memengaruhi apa pun!

Sumpah, aku menunggu aksi yang nendank di sepanjang Bab Lomba Berburu. Ingin merasakan bagaimana ketegangan berburu monster lewat sudut pandang Jill sebagai sesama manusa biasa. Namun, alih-alih ikut merasakan, aku malah keheranan manusia bangsa mana yang santai-santai aja berburu di hutan Yunani kuno penuh monster. Jelas bukan aku!

Begitu juga saat Jill berhadapan dengan Carberus di Istana Hades, dan jangan sekali-kali kalian bertanya kepadaku kenpa eh kenapa Jill bisa ada di posisi tersebut. Semuanya terjadi secara tiba-tiba, di satu halaman Jill lagi naik Pegasus, dan entah bagaimana halaman selanjutnya dia udah terbangun di istana Hades. Again NO SCENE! JUST SUMMARY!

POKOKNYE! Jill berhadapan dengan Carberus. Tadinya aku berpikir, mungkin bagi Jill Cyclops adalah makhluk unyu. Seperti Impy yang menganggap Badut Killer itu unyu sehingga reaksinya saat bertemu Cyclops tidak terlalu nendank. Nah, bagaimana dengan Carberus? ANJING BERKEPALA TIGA DARI NERAKA! Itu kedengaran jauh lebih menakutkan, apa lagi bagi manusia seperti Jill, benar, ‘kan?

KAGAK!!!

Reaksi Jill saat melihat Carberus cuma seperti ini .... (Reka ulang versi Impy yang 99,01% akurat)

Jill be like. “Wah ada anjing ganas. Bagaimanakah gerangan caraku menghadapinya? AHA! Kalau tidak salah aku pernah liat tutorial ‘Cara Menjinakkan Anjing’ di akun Yutub Klinik Tong Fang. Meskipun anjing di tutoral itu anjing Puddle unyu yang udah jinak, sedangkan ini anjing berkepala tiga dari neraka. Tapi anjing tetap anjing ya khaaan. Coba dulu aja eaaa. YOLO!!!”

(Adegan Jill menerapkan tutorial dari akun Yutub Klinik Tong Fang)

“Wah ternyata sangat manjur! Terima kasih Klinik Tong Fang! And don’t forget to subskreb Pudipay!”

I’m lke ... Bruv, really?
Sudah mana miskin aksi, miskin reaksi, penanganan yang juga random abiz itu bikin semangatku hilang total untuk melanjutkan novel ini. (Usap muka peke kain pel)

Marilah kita bahas tentang teknologi-teknologi para Titan. Selain Fantasi dan Romantis, novel ini juga menyerempet ke Sci-fi. Bahwa Titan dan Para Dewa-Dewi bukan berasal dari planet Bumi, dan mereka sebenarnya sangat modern dalam ilmu pengetahuan serta senjata. Alias segala kekuatan yang mereka punya bukanlah sihir melainkan memang sains. Itu sangat menarik, dan membuka prespektif lain tentang para Dewa-Dewi.

Sayangnya, pembahasan teknologi di sini masih terlampau basic, tidak diperdalam sehingga terkesan cuma tempelan. Seperti misalnya mereka membahas ramuan abadi tanpa benar-benar diterangkan apa saja komponennya, membahas manipulasi ras dan kekuatan tanpa diperdalam bagaimana caranya, membahas perpindahan roh astral projection yang lagi-lagi penjabarannya Wikipediah Vibe.

Namun, aku tidak akan terlalu mempermasalahkan hal itu sebab aku tahu Sci-fi adalah genre rumit. Lagi pula, Sci-fi bukan genre utama cerita ini. Meskipun ada satu adegan pasal teknologi yang bikin aku tercengang bukan kepalang.

Jadi suatu hari, Out of no where, Jill ingin mengabadikan keindahan Olympus serta mengabadikan dirinya bersama Ares. Jill berpikir, “Seandainnya ada media yang bisa mengabadikan ini semua. Misalnya foto.”

Di situ aku bertanyea-tanyea ... apakah Jill tidak kepikiran media lain yang juga bisa mengabadikan momen di zaman itu? Yes ... LUKISAN!!! Alih-alih membuat lukisan dirinya dengan Ares, Jill secara harfiah mengajarkan step by step cara membuat kamera polaroid kepada Titan Ilmuan.

I’m Sorry ... SEJAK KAPAN JILL JADI MEKANIK YANG TAHU BEGITU-BEGITUAN!!!

Maksudku, HA??? Perasaan profesinya di dunia cuma artis, kok ujug-ujug tahu cara membuat kamera polaroid!!! Ya, Jill memang pintar dan sebagainya, tapi membuat kamera??? Serius, aku menggunakan kamera seumur hidupku, tapi bukan berarti aku TAHU CARA MEMBUATNYA!

Besok apa? Jill bosan pakai kereta kuda dan mengajari Titan Ilmuan cara membuat mobil Ferari???

(Elus-elus jidat)

Sepertinya segmen plot ini semakin dipenuhi misuh-misuh, jadi sebaiknya kita segera berpindah haluan. Kesimpulan dari segmen Plot ini adalah ... Kekecewaan Haqiqi.

Tema yang diangkat novel ini adalah Perpindahan Jiwa, Dimensi, dan Waktu. Itu tema yang sangat menarik dan akan selalu menarik untuk digali. Namun, eksekusinya pada novel ini terasa dangkal dalam segala hal, terutama menyangkut emosi tokoh (dalam hal ini Jill). Padahal seharusnya faktor itulah paling ditonjolkan. Secara, kisah Jill ibarat lahan bagi pembaca untuk ikut merasakan bagaimana jadinya jika kita yang ada di posisi tersebut.

Ketika reaksi Jill seperti orang yang tidak mengalami apa-apa, tentu saja aku sebagai pembaca kecewa. Lah, kok gini doang? Lah, kok semudah itu mentalnya stabil? Lah, kok segampang itu dia merelakan. Ya, singkatnya sih jadi tidak relatable.

C. Penokohan

Jill. Our Seterong Gorl. Aku ingat Mbak Anna pernah mengatakan kalau Jill memang termasuk Mary Sue. Namun ... aku harus mengatakan bahwa Jill LEBIH PARAH dari Mary Sue, dan aku bahkan belum tahu apa sebutan yang tepat untuk tipe sepertinya.

Setidaknya Mary Sue sering dijabarkan tidak percaya diri, padahal kenyataannya sempurna. Mary Sue membuat kesalahan, meskipun kesalahannya malah menjadi keberuntungan di kemudian hari, karena dia sempurna. Mary Sue dibenci tokoh jahat akibat terlalu sempurna.

But NOT JILL! Jill perfect dan serba bisa. Dia tidak pernah sekali pun meragukan hal tersebut. TIDAK ADA tokoh yang membenci Jill secara spesifik, bahkan tidak Jacinda. Jacinda hanya membenci Jill karena dia menghalangi rencananya, tapi Jacinda sendiri mengakui kalau Jill pandai, seterong, dan beda banget. Jill tidak pernah membuat kesalahan sekali pun, segala perilaku dan perkataannya pasti berpengaruh baik pada sekitar.

Misalnya saat dia membawa teknologi Titan ke lomba berburu. Itu sebuah pelanggaran, tapi bukan kesalahan karena Ares yang menyuruh Jill membawa peralatan tersebut. Atau saat Jill mengusulkan para penyair istana Ares utnuk membuat lagu-lagu pujian supaya Ares dihormati, serta tidak dianggap memble. Lantas semua orang menyetujuinya dan mengatakan betapa briliannya ide Jill.

So, are you telling me ... segitu banyaknya pengikut Ares sebgai Dewa Perang, dan mereka tidak pernah SEKALI PUN membuat lagu-lagu pujian untuk Ares sampai Jill mengusulkan? GET OUT!!!

Intinya ... Jill lebih perfect dari Mary Sue. Nah loh! Ada di kategori manakah dia? Mari kita sebut saja Seterong Gorl.

Ares. ‘Muka Preman, Hati Hello Kitty’ mungkin sebutan yang cocok untuk Ares. Penulis berkali-kali membuat penjabaran khas artikel Wikipediah yang mengatakan kalau Ares tuh jahat, kejam, arogan, dan hal-hal lainnya. Namun, sepanjang novel perilaku dia berkebalikan dari itu semua. Dia bahkan Sweet, pengertian, dan berkepala dingin.

Tadinya aku pikir Ares hanya bertingkah seperti itu di depan Jill. Nyatanya, kepada semua orang pun dia baik. Satu-satunya adegan Ares berbuat jahat adalah saat membunuh petinggi Thebes gara-gara menggoda Jill. Yah, memang penulis juga menyinggung bahwa reputasi Ares yang kejam itu terlalu dibuat-buat, dan hanya terjadi saat di medsn perang. Namun, sekali lagi ... saat perang pun dia tidak berubah.

Padahal aku berharap dia membabi-buta dalam satu adegan, mungkin saat berburu, atau saat menghukum orang. Pokoknya sesuatu yang membuat Jill sadar bahwa Dewa Perang memang memilki sisi liar dalam darahnya, sisi gelap yang membuatnya mendapat julukan Dewa Perang, juga ditakuti semua orang. Sebenarnya ada adegan seperti itu, tapi Ares lebih sering menggertak tanpa benar-benar SNAP gitu loh. Kinda dissapointng.

Padahal aku pengin banget mencintai tokoh Ares, secara aku membayangkan visualnya seperti lukisan Fallen Angel karya Alexandre Cabanel. Sayang sekale penokohannya gak memberikan Vibe serupa ah-ah-ah ToT.

Close up lukisan Fallen Angel

Apollo. Dewa ramalan dan musik. Ini mungkin agak bias, tapi aku CINTA nama Apollo. Apollo itu ibarat Phillip versi Yunani. Di mana ada tokoh yang memakai nama tersebut, maka aku akan mencintainya. Dan harus kuwa-kuwi, penulis menggambarkan penokohan Apollo dengan sangat baik di sini. Dia asik dan lucu, tapi bukan yang cringe. Dia terlampau santai bahkan hampir-hampir tidak peduli mau ada perang ape kagak.

Namun, satu hal yang membuatku memutar bola mata dari cara penulis menggambarkan tokohnya. Yaitu dengan berkal-kali menyebutnya ‘Kesayangan Zeus’. Yes ... sekali saja cukup, tidak perlu lah sampai tujuh kali begitu!

Alastair. Sumpah, penokohan dia ini yang paling membuatku gemez! Untung dia bukan tokoh utama, karena kalau Alastair menjadi tokoh utama, aku jelas akan membencinya seperti aku membenci Jacob di novel Miss Peregrine.

Alastair itu katanya sih kesatria hebat, tapi aku tidak menemukan vibe tersebut dari dalam dirinya. Aku malah lebih melihatnya sebagai cowok kemayu. Makanya saat dia berbohong kalau dia tidak suka perempuan pada Ares. Apakah itu benar sebuah kebohongan? I mean ....

Tapi tentu saja itu kebohongan. Toh, pada akhirnya dia menikah dan punya anak. Tahukah kalian bagaimana aku bisa tahu kalau Alastair menikahi Diana, orang yang tadinya selalu sinis pada Jill? Bukan karena aku melihat sendiri interaksi UwU mereka sepanjang novel, tapi karena Jill meng-Tell semua itu di akhir novel Bagian Ketiga. LAGI-LAGI SUMMARY!

Jacinda. Sumpah, aku suka banget vibe yang dia berikan di awal kemunculan. Aku membayangkan Gandari yang tadinya tidak diterima oleh Destarasta sebagai istri sampai akhirnya Destarasta luluh juga dan mau mengakuinya. Better love story than Twilight Am I right??? Namun, sayangnya Jacinda memang seorang pemberontak.

“Impy, kenapa kao membri spoiler tanpa peringatan???” Ayolah, kita semua sudah bisa menebak kalau dia pemberontak sejak awal.

Titan Genos. Belio adalah Titan ilmuan yang diajarin Jill cara bikin kemere. Aku tahu ini terlalu nit-picky but aren’t Titans are supposed to be GIANTS? Aku pikir itu sudah menjadi pakem dunia perdewaan bahwa Titan adalah makhluk kolosal yang saktii mandra guna. Tapi di novel ini Titan sama seperti dewa, hanya saja usianya tidak abadi. MANA YANG BENAR?

Yah, mungkiin aku harus mencari referensi Dewa Yunani selain dari game God of War Series.

Hermes. The Puppetteer. Jujurlly, kemunculan Hermes benar-benar kutunggu, lantara memang dia-lah kunci dari segala huru-hara yang dialami Jill. Sayangnya, saat dia benar-benar muncul vibe yang diberikan tidak sesuai ekspektasi. Maksudku, kalau dari awal kemauan Jill untuk mencarinya lebih kuat, mungkin akan teras lebih nendank. Lah, ini kesannya serba buru-buru di akhir.

D. Dialog.

Aneh, aku tidak menulis catatan apa pun yang menyangkut dialog. Itu bisa berarti dua hal : Aku menikmati dialognya dan tidak punya sesuatu untuk dikeluhkan, atau dialognya terlalu basic sampai tidak ada yang terlalu barokah untuk dibahas. Meskipun, aku ingat banyak dialog para tokoh yang menjelaskan sesuatu. Apa lagi di Bagian Ketiga, yang memang sudah saatnya untuk me-reveal segala misteri.

Aku suka setiap kali Apollo dapat bagian dialog, tentu saja. He is so chill and likeable. Aku sendiri punya tokoh bernama Apollo dalam novelku, dan lucunya sifat mereka sebelas-dua belas, dalam artian konyol tapi gak nyebelin. Apakah begini stereotipkal orang bernama Apollo?

Ada beberapa dialog yang rada cringe, tapi aku tidak mencatat di mana spesifiknya. Di sisi lain porsi dialog dalam novel ini tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit, rasanya porsi narasi dan dialog dalam novel ini sangat seimbang. Oh, tambahan, aku suka dialog antar Jill dan Jacinda saat mereka berusaha ‘berteman’.

Sayangnya, setelah itu penulis malah memberi eksposisi tentang apa yang terjadi, lantas menghilangkan ketegangan yang sudah terbangun. Mbak Anna, dikau sudah membuat adegan yang sempurna, jadi tidak perlu lagi menjelaskan kepada kita apa makna dari adegan tersebut! We are not blind sheep!

E. Gaya Bahasa

Aku akan mengutip kalimat kritikus di video yutub yang kutonton untuk merangkum semuanya. “Too much Summary, not enough Scene.” Tapi topik ini sudah aku bahas di segmen plot maka sebaiknya kita bahas yang lain saja.

Kalau boleh kubilang, gaya bahasa penulis di sini termasuk dalam tipe “Tidak pada Tempatnya” (Ya, itu bikinanku sendiri. Kenapa? Gak suka?). Intinya begini, membuat narasi yang baik adalah yang menonjolkan kelima panca indera, dan penulis memang membuat narasi seperti itu dengan sangat baik. Hanya saja, salah dalam penempatan.

Penulis suka menjabarkan hal-hal paling remeh secara mendetail, tapi saat aku ingin penulis melakukan hal tersebut dalam satu adegan aksi supaya lebh nendank, dia malah tidak melakukannya. Mungkin itu juga menjadi alasan kenapa setiap adegan aksi dalam novel ini terasa hambar, karena narasinya juga tidak maksimal.

Aku juga ingin memberi mengomentari pergantian Sudut Pandang alias Pov yang tidak efektf. Jadi ... hampir seluruh isi novel mengambil Pov3 serba tahu, tapi ada dua bab nyempil menggunakan Pov1. Perpindahan sudut pandang sebenarnya tidak dilarang asal ada alasan kuat kenapa sudut pandang itu harus di ganti. Nah, di sini pergantian itu tidak beralasan sama sekali.

Misalnya di Bab Kisah Alastair (kalau gak salah), menurutku Bab itu akan baik-baik saja tanpa harus berganti menjadi Pov1. Ya, kita memang diajak mengenal Alastair dengan lebih baik, tapi tidak sampai harus berganti sudut pandang. Malahan cara Alastair memperkenalkan dirinya pada Bab itu benar-benar seperti artikel Wikipediah. (menghela karbon dioksida)

Satu lagi keluhan yang membuatku gemez. SIAPA EDITOR BUKU INI???

Kenapa banyak sekali typo, tanda baca tidak tepat, serta kata-kata absurd yang terlewat? Misalnya kata “DewaDewa” yang mulanya aku pikir typo, tapi kok typo bisa sebanyak itu dan konsisten sampai aku berpikir jangan-jangan memang ini sebutan untuk "Dewa-dewa" yang diinginkan penuls.

Tapi kalau ternyata benar typo. Ayolaaaah! ini penerbit mayor! Masa kualitasnya brekele gini, seh! Sayangnya tidak ada informasi tentang siapa editor novel ini, membuatku semakin bertenyea-tanyea. Apakah belio berusaha lempar batu, sembunyi jidat?

F. Penilaian

Cover : 3

Plot : 2

Penokohan : 1

Dialog : 2

Gaya Bahasa : 2

Total : 2 Bintang


G. Penutup

Serius, untuk jalan cerita keseluruhan. Novel ini menyajikan konflik menarik, penyelesaian yang masuk akal, dan world building unik, meskipun tidak bisa dibilang fresh. Hanya saja, seperti yang berkali-kali kukatakan, metode penceritaan Mbak Anna masih terasa seperti rangkuman, banyak sekali narasi maupun dialog yang membuatku lupa kalau aku sedang membaca novel, bukannya artikel Wikipediah.

Aku juga ingin menyarankan untuk tolong pikirkan emosi tokoh-tokoh sebelum hal lain. Buat pembaca bersimpati dan peduli kepada para tokoh terlebih dahulu sebelum masuk ke konflik yang lebih berat. Serius, perilaku para tokoh (terutama Jill) sepanjang adegan juga yang membuat keseluruhan novel ini terasa hambar.

Wooww! Look at me giving advice to someone who are actually more famous than me!!!

Xixixi ... tapi ini novel pertama Mbak Anna, dan untuk novel pertama sekaligus terbitan Watpat, The Bride of Olympus jelas jauh lebih superior daripada terbitan-terbitan Watpat yang lain. Oh, janganlah disama-samakan dengan terbitan watpat yang juga pernah kureview di sini. Itu sama saja membandingkan Olympus dengan Underworld.

Aku yakin novel-novel selanjutnya akan jauh lebih barokah, sebab menurutku kekurangan Mbak Anna ini tergolong mudah untuk diperbaiki. Tricky, but not imposble. Yaelaaah, sok bercakap kayak mentor padahal mah jontor!

Well, dii akhir kata terima kash untuk Mbak Anna yang sudah mengzinkanku mereview novel ini. Dan maafkanlah kalau ada kata-kata yang menyinggung, sumpah alter ego julidku kadang tidak tahu tempat dan waktu ToT.

Sampai jumpa di review lain tahun depan ^o^/

Comments

  1. Kalo soal retelling Greek Mythology yg ngasih info, tpi kagak ganggu menurutku itu ada di novel Percy Jackson. Mbak Irma coba baca, dah.

    —Nami

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jujur habis baca ini langsung pengin baca Percy Jackson. Bukan cuma untuk membancing-bandingkan, tapi juga ngikutin ceritanya. Udah lama banget itu series jadi daftar baca ToT

      Delete

Post a Comment

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan