The Sacred House


Judul : The Sacred House

Penulis : Suwoko Saiyan

Penerbit : Atmikha Publisher

ISBN : 9786025369148

Tebal : 179 Halaman

Blurb :

Berawal dari tugas liburan sekolah, petualangan itu bermula.

Dengan rasa penasaran tingkat dewa, mereka menelusuri desa mati, Sidojaya. Namun, kunjungan itu tidak mendapat restu dari sang 'pemilik'. Jikalau keberuntungan berada di pihak mereka, dapatkah rasa penasaran itu terpenuhi? Ataukah malapetaka yang menyambut bersamaan dengan makhluk aneh.
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Review Orang Dalem

Pada suatu hari, teman seperjuanganku protes kalau warna latar belakang blog review ini bikin sakit mata. HOW DARE HE!!! Tapi pas dilihat-lihat, emang bener h3h3 ... inilah kritik dan saran yang kutunggu-tunggu sejak lama! Thanks to him, akhirnya aku merombak warna blog ini supaya lebih enak dibaca. Eh, tapi kemudian dia baca-baca beberapa reviewku, dan komen kalau review buatanku ini “pedes”.

“Oh, sthaap ....” (itu bukan pujian!) Tentu saja pedes, ini kan safe space-ku!

Nah, Sebagai teman yang baik hati dan tidak sombong pun aku menawarkan novel ciptaannya untuk kureview juga di sini. Dan dia mengizinkan, yeeeyyy! Sebenarnya sudah lama juga kita saling bertukar feedback, terutama jaman-jaman Watpat masih menjadi tempat yang indah. Good ol days. Omong-omong, novel dia ini salah satu pemenang Watty's Award tahun 2018 (atau 2019). O-ho-ho, tentu saja aku semakin semangat ’45 untuk mereviewnya.

(Baca menggunakan aksen host Silet) A-pa-kah no-vel i-ni la-yak men-da-pat-kan A-ward ter-se-but?

Sampulnya sih aku sukak. Dari font, latar belakang, ilustrasi. Simple, tapi juga menggambarkan kehororan dan kemisteriusan yang diusung novel ini. Aku cuma mau mengeluhkan ilustrasi burung kecil di atas font. Kok ya bikin geregetan. Mana cuma hasil copy-paste burung yang di atap ilustrasi rumah ToT. Kalau burung itu dihilangkan, atau paling tidak diganti ilustrasinya, mungkin aku tidak akan komentar apa-apa.

Biklah mari kita langsung menuju TKP!

B. Plot

Masuk ke prolog kita langsung dibikin ketar-ketir dengan demo warga Desa Sidojaya ke rumah seorang bapacc alim bernama Joyo. Seperti klasik horor yang mengambil latar desa, para penduduk lokal suka main bar-bar gituh. Warga melabrak rumah Pak Joyo akibat tuduhan bahwa kekayaan Pak Joyo adalah hasil Tuyul! Tentu saja Pak Joyo mengelak, secara dia adalah pribadi soleh dan rajin beribadah. Nah, ini yang aku bingungkan dari genre horor, atau mungkin sinema Hidayah yang mengangkat kasus serupa (pemfitnahan).

Masa iya, dari sekian banyak penduduk, tidak ada satu pun yang kontra. Paling tidak, memberi si tertuduh ini kesempatan untuk membela diri, atau bahkan ikut membela si tertuduh. Lagi pula, orang-orang yang mendapat tuduhan fitnah biasanya orang paling alim yang mungkin ada di lingkungan tersebut. Logikanya, pasti ada pertentangan. Secara dia itu orang paling alim. Ini teh semua orang percaya gitu aja, seolah kebaikan hati si tertuduh dulu-dulu enggak pernah terjadi. Hmm ... barangkali orang-orang desa memang digambarkan ‘kolot’ supaya plot jalan terus? (Tentu saja).

Kembali ke cerita. Penduduk semakin memercayai tuduhan tersebut ketika Mbah Slamet si dukun sakti, juga membenarkan tuduhan. Maka dibakarlah rumah Pak Joyo. Percepat waktu ke tahun 2015, Desa Sidojaya menjadi desa mati. Angker dan sial, penduduk yang tinggal di sana akan meninggal, yang masih hidup memilih pindah desa. Wawan, yang menjadi salah satu protagonis di sini pun melihat kabar tersebut di koran. Lantas mendapatkan ide cemerlang untuk tugas kelompok membuat karangan semasa liburan.

Wawan mengusulkan teman-temannya (Sari, Ratih, Rio, dan Bayu) untuk melakukan ekspedisi ke rumah angker tersebut. Niatnya sih biar isi karangannya lebih seru, sekalian menambah pengalaman tak terlupakan. Haruskah ke desa angker? Maksudku ... Pak Guru cuma bilang 'Karangan Semasa Liburan' bukannya 'Karangan Semasa Liburan di Tempat Angker'. Tapi toh mereka jalan juga. Di sini, Wawan menjadi pemimpin, sementara Sari menjadi bagian mencatat segala petualangan mereka di rumah angker tersebut. Eh tapi pas di sana si Sari malah disuruh tunggu di luar (Bruuh). Jadi nyatetnya bijimana om?

Segala macam kejadian aneh pun mereka alami di rumah tersebut, dari mulai hawa dingin tak wajar, sampai penampakan hantu lokal. Jujur penggambaran penampakannya membuatku merinding, mungkin karena efek baca sendirian di malam hari (cari penyakit memang). Beruntungnya mereka berlima bisa keluar dan kembali ke rumah masing-masing. Namun ternyata, arwah Sari tertinggal di rumah itu, dan jasadnya saja yang mereka bawa pulang. Nah, bagian anehnya adalah, si Bayu menyadari kalau Sari tidak kelihatan bernapas, tapi dia tidak pernah mengatakan apa-apa. Dan malah ada diskusi seperti ini.

(Bayu) "Saat aku menggendong Sari, jujur aku tidak merasakan embusan napasnya."

"Tapi bukannya saat itu Sari sedang pingsan?" (?????)

"Benar ... tapi setahuku orang pingsan tetap akan bisa bernapas ...." (?????????)

Percakapan janggal macam apa ini?! Maksudku ... orang macam apa yang tidak paham kalau pingsan juga pasti masih bisa bernapas? Seharusnya dari awal Bayu menggendong Sari dan menyadari dia tidak bernapas, dia panik dan mengatakan Sari sudah meninggal. Itu akan lebih masuk ke dalam otakku yang memble ini. Baiklah, kita tinggalkan saja masalah itu. Kelimanya berniat untuk membawa pulang Sari yang ternyata kerasukan generuwo dan hampir melecehkan Wawan.

Mereka kembali ke rumah terkutuk di desa terkutuk tersebut dan melewati beberapa rintangan perhantuan lain sampai akhirnya bisa kembali pulang. Akan tetapi ... apakah teror di Desa Sidojaya sudah berakhir. Tidak akan ada yang bisa memastikannya.

C. Penokohan

Bagaimana ya perasaanku untuk teman-teman kita di sini ... Jelas tidak ada yang kubenci, tapi juga tidak ada yang aku sukai. Tidak ada yang terlalu berkesan, atau membuatku menunggu-nunggu kehadiran mereka. Seolah aku tidak tahu siapa mereka, tapi dipaksa mengikuti petualangan mereka. Alih-alih seru, aku malah plonga-plongo dibuatnya.

Wawan. Tipikal protagonis utama. Dia pemimpin, dia yang jadi kepala dari semua petualangan. Dia yang kena masalah paling parah, dan dia juga yang berperan besar dalam menyelesaikan masalah. Sifatnya kalau kubilang sih dibilang pemberani tapi penakut. Dan rada-rada lola juga. Entah begitu atau bukan niat si penulis menggambarkannya kepada pembaca, tapi itu vibe yang kudapat. Sekali waktu ada adegan dia keheranan melihat mayat hidup. Dia bilang itu terlalu fantasi. Maksudku ... kau sudah melihat macam-macam hal di rumah angker itu Wawan Zeyenk! Seharusnya Titan sekali pun tidak bisa mengejutkanmu!!!

Rio. Sifat yang kutangkap dari dia ini semacam cuek, tapi juga rada sinis. Dia juga beberapa kali digambarkan memiliki badan besar, mungkin maksudnya atletis. Aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dibicarakan dari si Rio ini!

Bayu. Mungkin niat awalnya dia akan menjadi comic relief, karena dia gemuk. Tapi aku juga mendapat vibe itu dari si Wawan, jadi karakter Bayu serasa tenggelam.

Ratih dan Sari. Kadang aku tidak bisa membedakan sifat keduanya. Mereka sama-sama tipikal perempuan yang penakut, mungkin bedanya cuma si Sari pakai kaca mata dan lebih pemalu. tokoh cewek di sini juga kesannya kayak buat romance sahaja. Dan si Sari pulak malah jadi Damsel in Distress.

Pak Joyo. The Angel of the story.

Tiyem. The Evil of the Story.

Pak Kardi, Ayah Wawan yang menjadi Medium hantu Pak Joyo. Dia baru berperan di menit-menit akhir, jadi aku tidak begitu mengenal dan tidak begitu peduli dengannya. Maaf pacc.

D. Dialog

Dialog para tokoh di sini bisa dibilang oke. Sederhana dan terkesan natural. Meskipun terlalu standar untuk memiliki ciri khas. Awalnya kupikir Rio akan menjadi yang paling berciri khas dengan bahasa jawanya, tapi itu cuma ada di awal cerita. Nah, karena Wawan merupakan tokoh utama, dialog dia tentunya paling disorot. Wawan ini aneh bin ajaib sekali jadi manusia. Kadang pakai aksen jawa, kadang aksen indonesia baku, kadang gaul, kadang inggris, kadang jepang. I can't with you, Wawan! Dari mana kau berasal? Katakan!

E. Gaya Bahasa

Lumayan banyak hal yang ingin aku bicarakan dari gaya bahasa novel ini. Pertama dari kelebihannya yang menggambarkan segala penampakan dengan baik, dalam artian kesan horor yang dapet banget. Ketegangan para tokoh yang 'kelabakan' pas melihat hantu juga related. Sampai mampu mendobrak pintu saking takutnya. Hey! Aku juga pernah tiba-tiba jadi hulk saking takutnya, h3h3 ... Ditambah kesederhanaan diksi yang membuat baca menjadi lancar. (Kenapa jadi macam iklan pelancar BAB)

Kalau dari sisi kekurangan barang kali sudut pandang yang kadang 'bocor' dari Pov3 terbatas, jadi Pov3 serba tahu. Misalnya di satu paragraf sudut pandang terfokus dari mata Wawan, tapi paragraf berikutnya kita pindah ke sudut pandang author yang serba tahu. Jadi kesannya tidak konsisten. Terus, beberapa kali ada kata tidak baku pada narasi, juga typo yang lumayan banyak. Well ... mungkin bukan banyak juga, lebih tepatnya noticeable. Akan tetapi, aku membaca buku ini langsung dari penulisnya. Masih sangat 'RAW' (ala Gordon Ramsay). Alias belum tersentuh tangan editor. Tentu saja ada beberapa typo yang belum terlihat, versi bukunya mungkin lebih baik dari ini.

Terus lagi, beberapa kali kalimat deskripsi mengulangi apa yang sudah disebutkan dalam dialog. Misalnya, "Huft!" Menghembuskan napas. Yes, Darling ... kita tahu kalau 'huft' adalah mengembuskan napas, tidak perlu diperjelas lagi. Belum lagi pasal penempatan footnote yang menurutku brekele. Hal-hal yang sudah harfiah malah diberikan footnote seperti 'Diary', 'Sheet', 'MVP', 'Urban Legend'. Itu semua kata-kata yang masih sangat lumrah!!! Sebagian besar orang tahu maknanya! Giliran yang aku enggak paham maknanya seperti 'Piker Keri' malah enggak ada footnote ToT

F. Penilaian

Cover : 3

Plot : 3

Penokohan : 2,5

Dialog : 2

Gaya Bahasa : 3

Total : 3 Bintang

G. Penutup

Hmmm ... buku ini sebenarnya tidak terlalu buruk bagiku pribadi. Apa lagi untuk sekelas terbitan Watpat, ini jelas lebih baik daripada dua buku Watpat lain yang pernah kureview di sini (kalian tahulah yang mana aja h3h3). Namun, buku ini juga mudah dilupakan, selain formula yang bisa dibilang klise. Sifat tokoh, konflik, dan latar belakang yang kurang digali membuat novel ini tidak mempunyai hal spesial yang bisa diusung.

Barang kali kalau semua faktor diperdalam lagi. Sama ratakan peran masing-masing tokoh sehingga semuanya tidak dibebankan kepada satu tokoh saja. Perdalam lagi latar belakang desa Sidojaya berserta para penghuninya karena itu sepertinya sangat menarik. Gali lagi latar belakang hantu yang muncul di sini, karena kesannya hantu-hantu di sini cuma dijadikan tempelan seram-seraman doang tanpa tujuan jelas. Ya ... para hantu memang suka muncul gak jelas, tapi ini kan beda urusan. Akan lebih menarik kalau semua hantu yang muncul memiliki kaitan khusus masing-masing.

Mungkin segitu saja ... Buku ini jelas worth it untuk bacaan senggang, atau selingan ringan di sela-sela buku yang lebih berat. Aku juga berterima kasih kepada Bapacc Penulis, alias Suwoko Saiyan yang sudah mengizinkan bukunya direview. Btw, kita masih berteman 'kan? (Awas kalau enggak!)

Sekian dulu review dariku. Sampai jumpa di lain kesempatan ^o^/

Comments

Post a Comment

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan