Labirin Sang Penyihir


Judul : Labirin Sang Penyihir

Penulis : Maya Lestari Gf

Penerbit : Kakilangit Kencana

ISBN : 9786028556545

Tebal : 239 Halaman

Blurb :

Mereka kira itu hanyalah labirin biasaTernyata perangkap sang penyihir untuk menjebak semua anak-anak di dalamnya, dan kini mereka harus memecahkan teka-teki untuk bisa ke luar. Namun, itu tak mudah, karena sang penyihir selalu mengintai dan lorong buntu labirin siap memenjarakan mereka selamanya.
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Buka Lapak Rekomendasi

Once upon a time in Pesbukk. Aku membuka lapak request novel untuk di-review kepada teman-teman yang nyaris 5rebu jumlahnya itu. Hasilnya, yang memberi request cuma satu orang (bruuh). Namun, satu lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan? Nyatanya ... yang satu inilah justru yang sangat aku syukuri karena akhirnya aku membaca novel ini.

Komentar Berfaedah ....

Komen Sodari Namina di atas menunjukkan bahwa dia kecewa dengan novel ini, karena tidak sesuai ekspektasinya. Aku pun bersemangat, mungkin review kali ini bisa dipenuhi julid dan misuh-misuh lagi seperti tiap kali aku mereview buku-buku terbitan Watpat (memang buku-buku terbitan Watpat paling enak buat julid). Mengingat aku dan Sodari Namina sering satu pendapat dalam banyak hal, mungkin aku juga akan kecewa dengan novel ini. But sadly ... i have to break it down to her that ....

I FREAGIN LOVE THIS BOOK!!!

Maksudku, ayolah!!! Ini fantasi dan Middle grade, dua hal itu saja sudah menjadi faktor utamaku untuk bias pada buku ini. Walaupun, ini fantasi lokal dan seringnya aku dibuat kecewa dengan fantasi lokal, tapi aku berekspektasi tinggi pada novel ini. Aku juga pernah memasukkannya ke dalam daftar pinjam, tapi entah kenapa tidak langsung kubaca. Rasanya saat itu aku juga meminjam novel A Man Called Ove, novel tercinta yang membuatku menganggap novel-novel lain jelek (BTW, aku membaca ini di Ipusnas).

Sampulnya pun oke, cukup untuk membuatku excited, meskipun blurbnya tidak terlalu menarik perhatian karena tidak membuat penasaran juga tidak menjanjikan apa pun selain 'anak-anak terjebak di labirin'. Nah, komen sodari juga menunjukkan bahwa ia paling kecewa dengan dialog-dialog dalam novel ini. Well-well-well ... itu sih keahlianku banget (dislepet karet sayur).

Baiklah kalau begitu (mretekkin tulang jari), sekarang giliranku mengeluarkan pendapat yang sangat berharga dan tidak ada satu pun orang bisa membantahnya.

B. Plot

Bermula dari seorang anak bernama Attar yang melanggar perintah sang ibu untuk jauh-jauh dari Taman Labirin di sebuah Pasar Malam. Sebagaimana anak berusia sebelas yang berjiwa petualang dan ingin tahu, alih-alih menjauh Attar malah masuk diam-diam ke dalam labirin tersebut yang ternyata bukan sembarang labirin. Labirin itu adalah jebakan dari penyihir yang suka menculik anak-anak. Maka dimulailah petualangan Attar yang menegangkan dalam labirin tersebut. Berusaha keluar dan menyelamatkan anak-anak lain yang juga menjadi korban.

Jujur saja, mulanya aku teringat novel Triangular Labyrinth yang juga mengangkat tema labirin, dan sebagai novel Jumanji/Zathura wannabe. Akan tetapi, semakin jauh aku membaca, semakin jelas perbedaan keduanya. Dan aku langsung menyesal bahkan memikirkan bahwa dua novel ini memiliki tema serupa, karena Labirin Sang Penyihir jelas lebih padat, jelas, dan menyenangkan.

Di dalam Labirin Sang Penyihir, Attar bertemu seorang anak perempuan bernama Mandira, tak berselang lama dia juga bertemu anak laki-laki bernama Philip. ANOTHER BIAS MOMENT!!! Aku selalu punya soft spot untuk tokoh bernama Philip. Tidak peduli bagaimana wujud dan sifatnya, jika seseorang (baik asli maupun fiksi) bernama Philip, aku akan memusatkan perhatian lebih dulu kepadanya lebih dari siapa pun!

Sampai di mana kita tadi ... Oh, iya. Buku ini memiliki teka-teki, tapi teka-teki yang diberikan tergolong sangat mudah, kecuali mungkin bagi orang-orang berotak brekele sepertiku yang males mikir. Terlihat betul penulis konsisten pada rating middle grade yang diusungnya. Suasana tegang yang digambarkan sangat terasa sampai-sampai aku ikut deg-degan tiap kali si penyihir menampakkan diri. Sebenarnya ada satu hal yang masih kupertanyakan, berapa jumlah sebenarnya dalam teka-teki si penyihir?

Apakah teka-teki itu memang memiliki jumlah tetap, ataukah tergantung seberapa cepat si pemegang buku mengumpulkan keberanian hingga membuat si penyihir lemah. Hanya itu faktor yang masih rancu, jadi aku menyimpulkan opsi kedualah yang benar. Buku ini juga sempat membuatku bertanya-tanya tentang kelogisannya, dan kupikir aku menemukan plot hole sampai ternyata semuanya dijelaskan secara tidak langsung.

Bagaimana para tokoh mengatasi masalah sebagai anak-anak juga masuk akal. Sifat mereka beragam, dan semuanya berusaha menjadi 'dewasa'. Mereka saling menguatkan dengan cara masing-masing. Kadang, anak yang digambarkan kuat dan dewasa seperti Attar, Geo, dan Mandira menangis atau bertingkah egois atau jadi sangat ketakutan. Tapi toh mereka memang masih anak-anak, jelas mereka takut, jelas mereka egois, itu alami. Aku juga suka cara penulis membiarkan para pembaca ikut menebak-nebak apa yang terjadi selanjutnya, karena beberapa teka-teki bisa begitu menjebak, dan Attar maupun yang lain tidak memiliki sifat Mary Sue sehingga mereka selalu berhasil.

Tidak seperti Triangular Labyrinth yang latar belakangnya rancu, dan seolah tak memiliki tujuan. Di Labirin Sang Penyihir, semua terjawab, semua punya penjelasan, dan cara mainnya juga jelas sehingga pembaca tidak dibawa luntang-lantung tanpa tujuan. Meskipun beberapa latar belakang diceritakan lewat Flashback yang biasanya membuatku terganggu. Di sini, aku menikmatinya karena semua itu penting, dan semuanya menarik untuk diketahui.

Satu hal lagi yang ingin kubicarakan. THE ENDING!!! Yes ... tipe-tipe ending seperti inilah yang membuatku gagal move-on dari sefruit novel. Sedih tapi manis, selesai tapi membekas, dan tidak ada niat lain dari penulisnya selain 'Ingin membuat novel yang bagus'. (lirik penulis sebelah). Aku mulai mempertanyakan statusku sebagai Reviewer Objektif belakangan ini!!!

Ya Gusti! Aku bisa memberikan kalian daftar panjang tentang segala hal yang kusukai dari novel ini, tapi ... aku putuskan untuk mengakhirinya sampai sini. Hmmm, rasanya aku tidak memberikan terlalu banyak spoiler. Yah ... memang petualangan Attar dan kawan-kawan di sini tidak muluk-muluk, tidak harus memeras otak. Itulah yang kusukai dari Middle Grade. Keseruan sederhana yang tidak ada habisnya.

C. Penokohan

Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa aku menyayangi anak-anak di sini. Penulis pasti expert dalam sifat dan sikap anak-anak, atau dia memang seorang psikolog sampai tahu betul bagaimana menggambarkan tokoh anak-anak. Meskipun tokoh-tokoh di sini lumayan banyak, bahkan ada banyak tokoh yang tidak memiliki nama, tapi semuanya memiliki peran. Setidaknya semua yang memiliki nama, tidak hanya sekadar tempelan.

Cara anak-anak ini bicara, membangun ikatan, cara mereka melihat sesuatu yang begitu harfiah sangat seru untuk diikuti. Memang beberapa anak di sini kadang bisa terlalu pintar, bahkan tahu kata-kata yang menurutku tidak lumrah diketahui anak-anak. Tapi itu hanya secuil kecil keresahan dari sekian banyak faktor bagus. Jadi ....

We are going to pretend ... we didn't see that!

Attar. Pemberani dan penuh simpati, mungkin itu yang membuat Attar lebih istimewa dari anak-anak lain. Dia memahami perasaan orang, bahkan menenangkan dengan cara yang unik. Attar penuh dengan harapan bisa keluar dari labirin. Aku sempat berpikir, masa iya cuma Attar yang memiliki harpan dari sekian banyak anak, tapi kemudian aku diingatkan kalau anak-anak lain mungkin sudah puluhan tahun terjebak dalam labirin. Tentu saja harapan mereka sudah terkikis, dan Attar hadir untuk membangunnya kembali.

Bisa dilihat juga Attar adalah tipe anak yang ingin melakukan segalanya bersama. Dia meminta pendapat semua orang sebelum memutuskan sesuatu, meskipun tidak berjiwa pemimpin, dia pendengar yang baik. Oh, how i love this boy. Aku paling suka adegan saat Attar menenangkan hati si penyihir, dia mengingatkan tanpa menggurui. Sulit dipercaya kalau dia sebelas, dan aku tidak keberatan dia umur sebelas tapi sangat bijak!!!

Mandira. Anak perempuan yang judes dan irit bicara, itu adalah gambaran awalku pada Mandira. Namun, selayaknya teman, sifatnya berubah saat kita sudah mengenalnya. Mandira ini pintar, tapi rada sombong, dan agak kasar juga. Dia anak pramuka dan sangat bangga dengan hal tersebut. Meskipun aku menemukan satu kejanggalan dari penokohannya.

Halaman 173 tepatnya, saat Gio menggigit daun sebelum menghanyutkannya di sungai sebagai pertanda kalau daun itu memang kode dari manusia. Mandira malah menyebutnya aneh, padahal seharusnya sebagai anak pramuka dia bisa memaklumi kode-kode tersebut. Entah seberapa anehnya, itu tetap sebuah kode, bukan?

Philip. He is a sweetheart. Dia berani dan paling berpikir panjang di antara ketiganya. Sebelum melakukan sesuatu, Philip pasti mempertanyakan kemungkinan begini-begitu. Sangat berguna, tapi juga menyebabkan keraguan yang bikin kesal!

Gio. Umurnya 13 dan dia tahu banyak hal yang terjadi di labirin karena dia sudah cukup lama berada di situ. Selain berani, Gio juga berjiwa pemimpin. Dia mengomando anak-anak lain untuk melakukan ini-itu guna menyelamatkan diri. Dia bahkan menjadi kepala dari rencana menjebak si penyihir. Dia seperti Peter Pan di antara The Lost Boy. And i love him because of it.

Leo. Kalau mau jujur, ku tidak terlalu peduli padanya. Gio menyebut Leo-lah yang paling lama ada di Labirin, tapi kita tidak banyak mendengar informasi berfaedah darinya. Malahan, dia terkesan cuma ikut-ikutan.

D. Dialog

Sebagai hal yang paling dikecewakan oleh Sodari Namina dalam komentarnya. Jujur saja, aku bingung kenapa dia tidak menyukai dialog-dialog dalam novel ini. Maksudku ... dialog-dialog mereka lucu! Menggambarkan kepolosan anak-anak, bahkan bisa dibilang alami. Misalnya di halaman 25-26, di mana aku membuat catatan kalau percakapan mereka sangat 'UwU'.

If this is not the definition of UwU i don't know what else!

Tanpa konteks, dialog di atas memang terkesan biasa saja. Tapi saat kita tahu kalau anak-anak ini terjebak di dalam labirin penyihir, penuh bahaya, sendirian, jauh dari keluarga, dan entah sampai berapa lama. Belum lagi mereka masuk kebanyakan karena melanggar perintah orang tua, mereka terkurung dengan perasaan menyesal dan bersalah. Tentu saja aku berkaca-kaca disuguhkan dialog begini dari anak berusia 11 dan 13 tahun.

Atau setiap kali mereka berdoa sebelum mengisi teka-teki. That is the cutest thing ever! Atau bagaimana cara mereka menguatkan diri masing-masing, padahal mereka semua ketakutan, dan mereka hanya orang asing yang kebetulan memiliki nasib buruk serupa. Cara mereka membangun ikatan yang natural, tanpa membuat cringe sama sekali. Sodari Namina ... justru dialog-dialog novel inilah yang menjadi daya tariknya. Bagiku pribadi, loh.

Memang-memang ... beberapa dialog bisa terlalu singkat, dan terkesan malas(?) seperti dialog Mandira yang pendek-pendek, atau Geo yang beberapa kali cuma membalas "Tahu saja." Saat ditanya kenapa dia bisa tahu sebuah informasi. Namun, sebagai pembelaan dariku. Dialog itu melambangkan sifat mereka masing-masing, bukan? Tidak mungkin Mandira yang judes dan irit bicara, justru mengoceh panjang lebar tak tentu arah dan malah jadi dialog dump? Itu sih novel terbitan Watpat (mulai!!!)

Kesimpulannya, aku suka dialog dalam novel ini. Jadi mungkin ini kembali ke selera? Biar bagaimanapun Middle Grade adalah genre kesukaanku, jadi mungkin pendapatku ini rada bias.

E. Gaya Bahasa

Lucu sekali ... buku ini bergaya bahasa mirip-mirip novel terjemahan. Aku juga hampir lupa ini fantasi lokal kalau tidak ada nama wilayah Indonesia seperti Bogor, Yogya, dan Bandung di dalamnya. Menurutku pribadi buku ini lebih cocok kalau setting tempatnya ada di negara Eropa, atau bahkan negara fiksi yang tidak ada di dunia nyata. Kalau dilihat dari dialog serta nuansa yang digambarkan oleh penulis.

Bukan berarti aku menganggap Indonesia tidak mumpuni untuk dibuat sebagai latar tempat cerita fantasi. Hanya saja, latar belakang si penyihir pun ternyata bukan dari Indonesia, melainkan Eropa. Jadi aku berharap sebuah kekonsistenan di sini, itu saja. Antara mengubah latar tempat keseluruhan, atau mengubah latar belakang si penyihir. Keduanya tidak terdengar seperti ide buruk. Dan sama-sama akan menghasilkan buku Middle Grade yang barokah.

F. Penilaian

Cover : 3,5

Plot : 4,5

Penokohan : 4,5

Dialog : 4

Gaya Bahasa : 4

Total : 4,2 Bintang

G. Penutup

Wow, ini pertama kalinya aku tidak dikecewakan dengan novel fantasi lokal. Sebuah fantasi yang benar-benar fantasi, tanpa romance gajelas, tanpa info dump, tanpa filler, tanpa serangan dialog. Ditambah ini Middle grade, dan ke-UwU-an tokoh-tokoh di sini menunjukkannya dengan ikatan yang natural, juga penyelesaian masalah yang tidak muluk-muluk.

Novel ini memang tidak bisa dibilang 'baru' atau 'anti-mainstream' atau 'bikin otak mikir' seperti standar novel bagus menurut orang-orang belakangan ini. Novel ini bahkan sangat sederhana dan tema yang diangkat juga tergolong klise. Penyelesaian masalah yang juga klise, amanat-amanat yang juga tidak terlalu 'mendalam', tapi penyampaiannya sangat sempurna sampai-sampai semua itu tidak penting lagi.

Setelah ini, tentu saja aku akan melihat-lihat karya dari Maya Lestari Gf yang lainnya. Aku ingin merasakan ini lagi. Biasanya perasaan begini kudapatkan dari buku-buku fantasi terjemahan, tapi sekarang justru dari buku fantasi lokal. Dia penyelamat harapanku terhadap fantasi lokal. Sampai aku melihat tahun terbitan novel ini (bruuh). Kapan kira-kira si penulis bikin novel baru ToT

Tentu saja aku akan merekomendasikan novel ini kepada semua orang, dan untuk Sodari Namina. Maaf kalau review ini mengecewakan. Aku sangat menyukai buku ini, bahkan sudah dalam kadar mencintainya. Kalau begitu aku mau tidur sejenak supaya bisa move-on ke novel lain.

Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan