Anak Rembulan
Judul : Anak Rembulan (Gerombolan Semut Hitam)
Penulis : Djokolelono
Penerbit : Mizan Fantasi
Tahun terbit : Edisi 2020
ISBN : 9786024411657
Tebal : 352 Halaman
Blurb :
Itu belum seberapa. Masih banyak hal-hal aneh lain. Misalnya, gadis bermata biru cantik yang bisa berubah menjadi burung kenari. Gerombolan Semut Hitam. Anak Rembulan. Dunia macam apa ini? Nono ingin sekali kembali ke rumah kakek buyutnya yang nyaman di Wlingi. Tapi mungkinkah dia bisa kembali, kalau ternyata dia harus memimpin sebuah perang mencekam di dunia misteri itu?
Dua genre yang membuat penikmat buku meragukan kecanggihannya sewaktu tahu penulisnya asli Indonesia adalah: konspirasi dan fantasi. Namun, membaca Anak Rembulan, siapa pun akan mendebat pendapat itu dan meyakini: waktunya anak negeri unjuk gigi. Sangat lokal, fantastik, dan tak terlupakan.

MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Sub-judulnye Ape?
HELLOW PEMBACA BUDIMAN DI MANA PUN KALIAN BERADA! Bagaimana kabar kalian semua? Sekolah lancar? Kuliah lancar? Kerjaan lancar? Gak ngapa-ngapain lancar? Tidak perlu kalian jawab semua itu, kerana sebenarnya aku tidak peduli, HA-HA-HA (digampar)
It's been soooo looong since i want to read this novel. Anak Rembulan tenar saat aku SMP, tapi saat SMP bacaan utamaku adalah Teenlit era Golden Decade, lantaran jenis novel tersebut memang paling banyak tersedia di perpustakaan sekolah. Sedangkan di rumah bacaanku cerpen-cerpen gretongan dari buku paket Bahasa Indonesia serta IPS. Mentok-mentok Majalah Misteri dan Hidayah dari rumah Pakde-Bude.
Bahan bacaan sedikit dan orang dewasa dalam keluargaku menganggap membeli buku adalah tergolong 'buang-buang duit' sehingga hasil menabung harus aku belanjakan ke hal-hal yang 'lebih berguna'. Namun, sekarang aku mempunyai ADULT MONEY! Akulah orag dewasa untuk diriku sendiri, dan aku akan bilang pada diriku kecil untuk BELI SEMUA BUKU DI DUNIA!
Maka dari itu aku membeli Anak Rembulan.
KENAPA ANAK REMBULAN TUH, IMPY???
Ayolah ... Novel lokal, Middle Grade, Fantasi, Dongeng, Sejarah, bagaimana mungkin aku tidak menginginkan Anak Rembulan? Walaupun aku dibuat kebingungan setengah metot saat hendak membelinya, sebab novel ini punya tiga edisi yang masing-masing sub judulnya berbeda.
Edisi pertama terbit tahun 2007 judulnya Kenari Misteri tanpa embel-embel Anak Rembulan. Edisi Kedua tahun 2011 berjudul Anak Rembulan (Negeri Misteri di balik Pohon Kenari). Sedangkan Edisi Ketiga dan terbaru terbit tahun 2020 judulnya Anak Rembulan (Gerombolan Semut Hitam).
.jpg)
Um, kenapa bisa begitu? Apakah ini novel bersambung? Apakah setiap edisi punya cerita berbeda? Ternyata eh ternyata perbedaan sampul tidak berpengaruh sama sekali. Mungkin fenomena ini terjadi sebab penerbit dan penulis hendak mengikuti minat pembaca sesuai zaman.
Bisa kita lihat edisi pertama style yang dipakai ilustrasi realistik model sampul-sampul novel Lima Sekawan, yang memang tren di zaman itu. Edisi kedua sampulnya sangat realistik tipikal Fiksi Fantasi Era Golden Decade. Sedangkan yang terakhir dan terbaru menggunakan ilustrasi simple-modern khas novel-novel fantasi zaman now.
Aku memutuskan untuk membeli edisi terbaru, lebih karena memang itu satu-satunya yang tersedia. Kalau mau jujur aku suka-suka-suka banget edisi pertama, terkesan klasik dan misterius. Edisi yang aku punya juga tidak buruk, aku jelas akan tertarik kalau tidak sengaja melihatnya di toko buku.
Edisi kedua however ....Mohon maaf untuk edisi kedua, aku harus mengatakan ini, but it's not it, Boo. Style super-realistik tidak natural seperti itu sama sekali bukan seleraku. Mungkin itu sebabnya aku kureng suka novel Fiksi Fantasi era Golden Decade. Sebagian besar sampul novelnya semodel itu, kalau tidak style anime dan/atau manga. It's really not my type.
NAH, berhenti cuap-cuap dan mari langsung kita tengok Anak Rembulan!!!
B.Plot
Kita berkenalan dengan anak laki-laki bernama Nono yang tengah berlibur ke Malang. Dia pergi sendirian mengendarai kereta, sebab Mama masih harus menunggu Papa dapat cuti dari kantor supaya bisa menyusul. Um ... major Red Flag untuk Papa-Mama, membiarkan anak kelas 5 SD berpergian sendiri tanpa pengawasan. Ujungnya di perjalanan si Nono nyaris kena typu menukar kaus mahal miliknya dengan kaus abal-abal. Untung dia tidak diculik!
Kenapa Mama harus menunggu Papa cuti alih-alih ikut Nono ke kampung? Kenapa menemani Papa lebih penting daripada menemani Nono? Maksudku, bukankah lebih masuk akal kalau si Papa yang secara harfiah BAPAK-BAPAK menunggu cutinya tanpa ditemani Mama, lantas berpergian sendiri. Daripada membebankan semua itu kepada Nono yang ANAK KECIL?
Anyways ... Berlibur ke Malang merupakan hari terbaik bagi Nono, sebab ia bisa menjelajahi kampung, bermain di sungai, mengarungi lembah, dan hal-hal healing seperti itu. Sayang beribu sayang, Mbah-mbahnya di kampung gemar memberi pekerjaan sebelum Nono boleh bermain. Terutama Mbah Mas, istri Mbah Sastro yang punya warung.
Nono anak yang berbakti, y'know ... tapi dia kesal juga disuruh-suruh terus sehingga pada suatu hari ketika Mbah Mas menyuruh membeli tahu, Nono mengendarai sepedanya malah melipir ke tempat lain, tepatnya ke pohon kenari di pinggir sungai Njari. Katakanlah azab akibat tidak mematuhi perintah orang tua, selanjutnya Nono TERHISAP lubang di tengah pohon kenari hingga tibalah dia di dunia lain, tepatnya masa lalu.
Mulai dari sini novel Anak Rembulan mengingatkanku pada banyak kisah, khususnya film Spirited Away. Nono yang kebingungan dan ketakutan di tempat asing, bertemu teman pertama sekaligus penyelamat bernama Trimo, bertemu sosok emak-emak abusive yang menyuruhnya bekerja tanpa henti (Mok Rimbi), namanya diganti sehingga dia hampir melupakan namanya sendiri.
Harus kukatakan, peran Nono di sini cuma sebagai pengamat. Maksudku ... Nono tidak berusaha kabur, dia tidak mencari tahu apa pun tentang dunia baru ini, dia tidak sering melakukan inisiatif kecuali ada yang mneyarankan kepadanya. Biasanya aku tidak suka tipe Tokoh Utama yang seperti itu, tapi entah kenapa eksekusinya pada Nono terasa masuk akal.
Maksudku, dia kelas 5 SD yang tersesat di dunia asing, dikelilingi orang-orang kejam, bar-bar, tidak bertata-krama. Tentu dia ketakutan, tentu dia membutuhkan saran orang dewasa, jadi aku malah sangat bersimtapi pada Nono. Di warung Mbok Rimbi, Nono bertemu Lima Sekawan bernama Kangka si Pemimpin, Jagal si Tinggi-Besar, Jlamprong si Tamvan dan Berani, serta si Kembar Kocak Pinten dan Tangsen.
Kalian tahu bahwa Lima Sekawan ini gambaran dari apa? Pandawa ....
PANDAWA? Demi Nemptunus, aku sama sekali tidak memikirkan Pandawa sepanjang cerita, padahal kalau dilihat-lihat petunjuknya sudah sangat kentara! Aku baru sadar ketika di akhir Mbah Sastro menjabarkan hal itu lewat teori-teori kenapa Nono bisa mengalami apa yang dia alami ... Am I stoopid? (Yes).
Obrol-obrol, Lima Sekawan ini terasa SUS sepanjang cerita, dan ternyata memang benar ... mereka adalah Gerombolan Semut Hitam alias pencuri profesional yang sudah lama jadi buronan Sri ratu dan Pangeran Mahesasuro. Nah, siapa pula Sri Ratu dan Mahesasuro ini? Mereka adalah pemimpin dari Kerajaan nun jauh dari tempat Mbok Rimbi.
Dari sini aku mulai bingung bagaimana cara menjelaskan segmen plot, lantaran novel ini berusaha menyatukan unusr dongeng, mitologi, serta sejarah supaya berkesinambungan. Bukan berarti ceritanya jadi tidak jelas, hanya saja porsi masing-masing elemen harus dipangkas sedemikian rupa supaya bisa nyambung.
Pertama, Nono terjebak di Indonesia zaman penjajahan Belanda, kemudian ada Mbok Rimbi yang ternyata semacam Pemuja dan/atau titisan Dewi Kematian, kemudian kita diperkenalkan dengan Pandawa versi Jawa, ada juga Dongeng letusan gunung. Belum lagi, eksekusi cerita yang mirip Spirited Away, tema 'Semua itu hanya mimpi' dan/atau musibah yang menimpa tokoh utama sangat mengingatkanku pada Alice in Wonderland atau Dorothy Wizard of Oz.
Kalau dibayangkan, plot campur-aduk seperti itu akan terasa semrawut. Namun, anehnya susunan kisah Anak Rembulan cukup solid dan menyenangkan. Penulis tahu cara menyambungkan benang merah antara tokoh-tokoh serta segala permasalahan dalam cerita menggunakan Nono sebagai perantara.
Dari mulai Mbok Rimbi yang pemuja Dewi, berteman dengan Lima Pandawa KW yang juga sindikat pencuri Semut Hitam, yang menjadi buronan kerajaan Sri Ratu, sementara dalam kerajaan Sri Ratu sendiri sedang ada kudeta antara Sang Paman dan Pihak Belanda. Di sisi lain Nono cuma kepengin mencari sepedanya dan pulang ke rumah. My Poor Buoy.
Buanyak hal terjadi, dan jujrully aku sangat menimatinya! Tapi ... kalian tahu apa yang tidak aku nikmati? NONO BANGUN DARI KOMA SAAT CERITA LAGI SERU-SERUNYA, ANJOY! Mohon maaf nih, No. Elu kagak bisa gitu molor beberapa jam lagi supaya kita bisa mendapat jawaban dari building-building yang sudah dibangun sejak awal?
Betul, ketika Mbok Rimbi, Mahesasuro dan Lembusuro, Pandawa KW, serta pasukan belanda bertarung sengit. Saat akhirnya Trimo dan Nono bersatu kembali setelah sekian lama berpisah, ketika Sri Ratu dan Non Saarce si Anak Perempuan Belanda hendak berdamai, ceritanya berakhir. Nono terbangun di rumah sakit. (Bruhh ....)
Anehnya, cerita belum selesai sampai situ. Masih ada sekitar 4 sampai 5 bab lagi sampai novel tamat. Ternyata eh ternyata, act terakhir dari Anak Rembulan adalah teori-teori dari Nono seta Mbah Sastro tentang kenapa Nono bisa mendapatkan mimpi sedemikian nyata. Bahwa semua yang terjadi pada Nono adalah alam bawah sadarnya di dunia nyata.
Nono kesal selalu disuruh-suruh, makanya dia bermimpi ketemu Mbok Rimbi dan bekerja non-stop di warungnya. Ketika terdampar di Sungai Njari, Nono diselamatkan oleh anak tetangga keturunan belanda, itu sebabnya dia bertemu Non Saarce dalam mimpi. Nono selalu mendengar kisah dongeng dan legenda dari Mbah Sastro, dan dongeng-dongeng itu akhirnya menjadi mimpi yang dia alami sendiri.
Novel ini diberi label Fantasi Anak, alias Middle Grade sehingga penyelesaian seperti itu bisa sangat aku maklumi. Maksudku ... aku di usia 12-15 tahun mungkin akan sangat bersyukur Nono terbangun dari mimpi buruk yang sedemikian rupa. Hanya saja, aku di usia seperempat abad tentu punya banyak pertanyaan, terutama dalam penyelesaian.
Bagaimana akhir dari pertempuran Mahesasuro dan Mbok Rimbi? Bagaimana nasib Kerajaan Sri Ratu setelah kekacauan kudeta? Bagaimana kelanjutan kisah cinta problematik antara Non Saarce dan Tangsen? Apa hubungannya Nono yang disebut "Anak Rembulan" dengan segala hal yang terjadi dalam cerita ini? Apa yang terjadi pada Trimo selama absensinya dari cerita? Apa yang terjadi pada Si Gundul?
Sebenarnya bagian akhir cerita sedikit-banyak menjelaskan semua pertanyaan itu. Makanya ending cerita menjurus ke Open Ending, bahkan paragraf terakhir novel menyiratkan adanya novel lanjutan, yang sepertinya gagal dibuat, karena sampai sekarang tidak pernah ada kabar sekuel.
Intinya ... novel ini berhasil menjadi Middle Grade dengan target baca yang juga Middle Grade. Mari bicara jujur, cuma orang-orang uzur yang memusingkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dari se-fruit novel. Kita (orang-orang uzur) mungkin akan menganggapnya Plot Hole, Inkonsistensi, atau hal-hal intelektual lain. Tapi eh tetapi, bagi anak-anak unyu nan belia, cerita seperti ini adalah Masterpiece.
C. Penokohan
Nono. Tipikal anak kelas 5 SD, alias sekitar 10 atau 11 tahun yang dihadapi hal-hal awikwok yang seharusnya tidak dihadapi oleh anak usia segitu. Perbudakan, pengorbanan manusia, pembunuhan, penculikan, pelecehan, SEMUA! Lantas apa yang bisa dilakukan Nono dalam menghadapi semua itu? TIDAK ADA sebab dia memang masih terlalu kecil.
Seperti yang kukatakan, Nono hanya berperan seperti pengamat dari segala hal yang terjadi di sekitar. Dia ketakutan, dia sangat ingin pulang, tapi tidak bisa melakukan apa pun selain beradaptasi, menurut pada orang-orang dewasa. Sayangnya, tidak satu pun orang-orang dewasa dalam cerita ini punya akal sehat! Semua wadidaw dengan cara masing-masing.
Memang ada saat di mana Nono punya peran. Mengajari Pinten dan Tangsen karate, mengirim surat SOS pada Non Saarce dengan bahasa inggris, dan memberi saran kepada Sri Ratu membuat rencana perlawanan kudeta. Namun, semua itu tidak terlalu berperan untuk keuntungannya.
Sri Ratu dan Non Saarce. I'm sorry ... mereka dua orang yang sama. Kalian tidak bisa mengatakan sebaliknya! Bocil yang punya kuasa dan gemar menghukum tanpa tedeng aling-aling. Keduanya girl boss, keduanya seterong, dan aku sangat suka gambaran mereka di sini. Hanya saja rada brekele ketika Non Saarce berkata. "Apaahh? Sri Ratu suka menghukum orang begitu saja? Sungguh pribumi kejam!"
Tapi detik berikutnya dia membunuh orang dengan tangannya sendiri tanpa ampun, tanpa tedeng aling-aling. What is this, Darling? Setidaknya Sri Ratu tidak munafik begitu. Tokoh paralel mereka di dunia nyata pun rada membingungkan. Non Saarce penokohannya sama seperti dalam mimpi, tapi Sri Ratu adalah dokter dewasa yang menangani Nono di rumah sakit? I'm confuse.
Trimo. Ini membuatku rada kesal ... misteri tentang anak hilang bernama Trimo sudah degaungkan dari awal cerita. Aku sangat mengharapakan big reveal kemunculan Trimo ala kemunculan Dickon dalam novel Secret Garden. Nama dan sifat sudah disebut sejak awal cerita, tapi baru muncul di pertengahan. Tapi kemunculannya sangat worth it ditunggu, sebab dia memang tokoh yang super-duper menarik.
Trimo di sisi lain ... Setelah namanya disebut-sebut di awal, kemunculannya malah sangat sedikit, harapanku sudah tinggi saat itu. Ingin mengetahui rahasianya, kemistrinya dengan Nono, kisah versi dirinya kenapa ia bisa hilang. Nyatanya Trimo tidak ikut 'main' sepanjang cerita. Dan begitu dia muncul lagi di akhir, tidak ada hal yang terjadi karena NONO KEBURU BANGUN DARI KOMA!
Gerombolan Semut Hitam. Fakta bahwa aku tidak menyadari mereka adalah Pandawa KW masih sangat menyebalkan! Entah ini akunya yang bodo, atau deskripsi serta penokohan mereka kurang nendank. (Elu yang bodo!)
Keluarga Nono (Mbah Sastro, Mama, Mbah Mas, dll). Mereka sangat UwU, selain fakta bahwa Mama lebih memilih nongkrongin Papa sampe cuti daripada nemenin anaknya keluar kota. Toh, Mama pada akhirnya yang paling menjaga Nono ketika dia kena musibah. Sedangkan Papa ... masih aje nongkrongin bos ampe dapet cuti. Kagak ngerti dah guweh. Nono bisa mental ke Mamarica akibat letusan gunung, dan Papa masih nungguin cuti supaya bisa menjenguk anaknya.
D. Dialog
Okay, ada hal aneh pada dialog novel Anak Rembulan (kagak aneh-aneh banget, seh), jadi tokoh-tokoh di sini sebagian besar bercakap-cakap menggunakan bahasa jawa. Tapi bahasa jawa itu dijabarkan dalam narasi alih-alih menggunakan cetak miring atau secara harfiah bahasa jawa. Namun, nanti ada pergantian bahasa lagi di dialognya, dan dijelaskan dari narasi lagi.
Misalnya, ada dialog antar dua atau tiga orang, dialog bergulir sebagaimana mestinya menggunakan bahasa indonesia yang padu, tapi di akhir akan ada keterangan, "Mereka berdialog dalam bahasa jawa halus." atau "mereka bicara dengan bahasa belanda.", tergantung siapa yang bicara. Masuk akal dibuat begitu karena tema dan latar memang di jawa, dan menerjemahkan semua dialog ke bahasa jawa akan sangat brekele.
Namun oh nenamun, kenapa juga ada dialog yang ditulis dalam bahasa jawa secara harfiah dan dicetak miring, tapi tanpa terjemahan? Selain aku tidak mengerti mereka ngomong apa, tapi juga sangat tidak konsisten, 'kan? Selain masalah itu sebenarnya aku tidak punya masalah pada dialog-dialog tokoh di sini. Malahan aku sangat suka.
Mangesampingkan semua itu, banyak sekali dialog lucu dalam novel ini. Bahkan yang nggak sengaja lucu juga banyak. Aku sering ngukuk di tempat dan situasi yang tidak seharusnya. Misalnya, ketika Tangsen hendak meminta tolong Nono untuk menulis surat ke anak belanda yang ditakasirnya (Non Saarce) dan ada dialog begini ....
"Kamu mau menulis ke siapa?" tanya Nono.
"Ke ... Aku tidak tahu namanya."
"Lah!"
Me too, Nono ... Me too.
Kemudian ada lagi saat Nono baru bagun dari koma, banyak pertanyaan serta kebingungan di kepalanya. Tiba-tiba saja Mbah Pur nongol sambil bilang. "Nono mau tahu?" Tentu saja yang ada di pikiranku si Mbah menawarkan jawaban serta penjelasan bagi semua pertanyaan serta kebingungan Nono. Ternyata belio nawarin tahu secara harfiah TAHU! Mbah Pur pliss 😭☝🏻
Intinya, dialog novel Anak Rembulan asik, saat serius mereka serius, saat bercanda mereka bercanda. Dialog para tokoh sesuai dengan penokohannya. Aku tidak punya keluhan sama sekali.
E. Gaya Bahasa
Kita diajak berpetualang menggunakan POV3 terbatas dari sudut pandang Nono. Jadi segala hal yang terjadi di sini termasuk narasi dan pendapat yang dikeluarkan adalah dari kacamata Nono. Sebagaimana anak 11 tahun seringkali keputusan Nono terlalu naif, gegabah. Dia juga pasif, tidak banyak memberi kontribusi pada alur, jadi Gaya Bahasanya sangat sesuai.
Secara teknis, narasi novel Anak Rembulan di beberapa bagian rasanya tidak disusun dengan baik. Kadang penulis terlalu sering menggunakan elipsis dalam satu paragraf, ada juga paragraf yang di setiap satu-dua kata selau disisipkan titik. Itu bukan susunan kalimat yang efektif. Mengingatkanku pada gaya penulisan You-Know-Who.
Nah, untuk World Building ... menurutku cukup jelas. Cara penulis menjabarkan nuansa Jawa di zaman dahulu, seta para penduduknya yang bar-bar, segala hal tabu nan problematik yang wadidaw, rasanya aku mengalami juga apa yang Nono alami. Merasakan ketakutan yang sama.
Walaupun, aku pikir ada sedikit kerancuan dari latar tahun. Terutama ketika semua tokoh di dunia ini tidak tahu apa itu SEPEDA! I'm sorry ... (mencari tahun berapa sepeda diciptakan) Ternyata eh ternyata sepeda baru ditemukan tahun 1800an.
Ekhem, fakta itu membuat mataku menganga dan mulutku melotot. Aku pikir sepeda sudah ada sejak zaman Paleojavanicus. Lantas bagaimana kalian menjelaskan Sepeda Nabi Adam kepadaku, hah? JK JK! Tadinya aku sudah siap misuh-misuh tentang betapa anehnya konsep para tokoh zaman dahulu tidak tahu sepeda.
Nyatanya, mereka memang belum tahu ... sebab latar tahun dalam novel ini sekitar 1600 sampai 1700an. Zaman di mana sepeda belum ditemukan. Okhay ... okhay! Silakan lempar tomat itu ke arahku! Karena mamaku akan membuat sambal tomat.
F. Penilaian
Sampul : 3 (edisi ini)
Plot : 3,5
Penokohan : 3
Dialog : 3,5
Gaya Bahasa : 3
Total : 3,5 Bintang
G. Penutup
Aku harus membuat pengakuan wahai, Pembaca budiman ... seharusnya aku memberi kalian konten julid Magical Seira 2 sebelum hal-hal lain. Bahkan sebelum itu, harusnya aku menyelesaikan dulu review novel terakhir dari seri The School For Good and Evil. But here we are ... lagi-lagi tidak konsisten, lagi-lagi melakukan kebalikan dari hal semestinya.
Sudah biasa lah, ya? Malahan, jika seorang Impy tiba-tiba berubah konsisten, itu berarti kalian harus mulai membangun bunker bawah tanah, sebab dunia sudah mencapai akhir masa. ANYWAYS! Silakan nikmati dulu Middle Grade karya lokal ini. Aku merekomendasikannya pada kalian. Untuk review selanjutnya, mari berharap itu Magical Seira 2.
Sampai jumpa di bulan dua ^o^/
Catatan Tambahan
SUS Moment with Children
Katakan padaku kenapa semua tokoh laki-laki dewasa dalam novel ini ingin memperistri tokoh perempuan yang usianya di bawah umur? Tangsen "mencintai" Non Saarce. Grown azz men by the way. Terus ... Pangeran Mahesasuro ingin memperistri keponakannya, alias Sri Ratu yang usianya sepantaran Nono. FAKKIN CHILD! Dan seorang Paman pula? Lempar aku ke rawa-rawa sekarang juga!
Maksudku ... Mahesasuro ingin memperistri Sri Ratu memang cuma untuk kudeta, untuk mengambil alih kekuasaan. Namun, cara pria-pria dewasa itu melihat anak-anak perempuan ini dan memikirkan hal-hal seperti sangat cantik, bertubuh indah, cocok menjadi istri. Aku ... tidak suka sama sekali. Leave the children alone, y'know what I mean?
Aku juga sangat tidak nyaman melihat adegan Nono saat hendak dijadikan pengorbanan manusia pada Dewi Kematian. Penjabaran narasi saat Mbok Rimbi mengikat Nono, memaksa melepas pakaiannya, mengoles minyak ke seluruh tubuhnya? I'm sorry, are you P.Diddy? Adegannya sendiri sebenarnya bagus, karena disturbing dan terasa nyata. Masalahnya, melihat anak-anak diperlakukan seperti itu adalah Trigger terbesarku.
Racing Moment(?)
Mungkin aku yang berlebihan memikirkannya, tapi kenapa narasi untuk orang pribumi, dan/atau orang Jawa selalu "Hitam Legam" dan "Sehitam Arang" di saat penjabaran Non Saarce selalu "Seputih Susu" "Bermata sebiru langit". Intinya ... intonasi dalam konteks terasa beda gitu. Metafora yang bagus-bagus untuk Orang Bule tapi intonasi jelek untuk Orang Jawa.
Aku yakin ada banyak hal yang sama indahnya, atau bahkan bermakna netral dalam menjabarkan warna kulit. Yang tidak perlu menunjukkan bahwa satu lebih baik daripada yang lain gitu lho. Entahlah, aku mungkin akan terlihat seperti SJW, but did I lie, tho?
Logic is not Logicing Moment
Ini sangat spesifik ... jadi ada adegan di mana Nono bersembunyi di atap sebuah bangunan, lantas mencuri dengar informasi rahasia dari kedua kubu. Pertama kubu Pangeran Mahesasuro dan Non Saarce yang hendak berkudeta pada Sri Ratu. Kemudian kubu Sri Ratu yang menaruh curiga pada semua orang. Saat mendengar kubu Mahesasuro aman sentosa, tidak ada yang menyadari keberadaan Nono.
Nah, saat kubu Sri Ratu, persembunyian Nono ketahuan dengan dalih .....
"Aku kesatria hebat, tentu saja aku bisa tahu kamu bersembunyi di atas sana," kata Sri Ratu. "Bahkan pengawalku yang brekele ini juga sudah tahu keberadaanmu sejak tadi. Kami cuma pura-pura tidak tahu."
Nah ... logikanya bukankah seharusnya Mahesasuro juga mengetahui persembunyian Nono? Secara Mahesasuro lebih tua, dan tentunya lebih hebat dari Sri Ratu. Mahesasuro bahkan prnah menyamar demi menangkap Gerombolan Semut Hitam alias Pandawa KW. Jelas Mahesasuro harusnya bisa menebak. Tapi ternyata tidak.
Aku akan sangat berharap kalau Mahesasuro ternyata mengetahui keberadaan Nono, tapi tidak seperti Sri Ratu, dia diam saja dan membuat rencana sendiri. Kemudian barulah di pertarungan terakhir Mahesasuro punya rencana lain yang menggagalkan rencana buatan Nono serta Sri Ratu.
Itu akan sangat barokah!
Namun, semua itu tidak terjadi. Mahesasuro memang tidak menyadari keberadaan Nono, dan rencana Nono dan Sri Ratu berjalan lancar. Well ... memang plot yang terlalu rumit bisa jadi tidak akan nempel di kepala anak-anak. Jadi mau tidak mau aku harus memaklumi missoportunity itu.
Comments
Post a Comment