Good Wives (Istri-istri yang Baik)

Judul : Good Wives (Little Women Part 2)

Penulis : Louisa May Alcott

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 9786020310350

Tebal : 416 Halaman

Blurb :

Gadis-gadis March––Meg, Jo, Beth, dan Amy, kini telah dewasa. Ayah mereka, Mr. March, telah pulang dengan selamat dari medan perang. Begitu pula John Brooke, kekasih Meg. Jo yang tomboi sedang belajar untuk menjadi lebih anggun. Beth semakin ramping dan pendiam, dan matanya yang indah itu selalu menyorotkan kebaikan. Sedangkan Amy, pada usia enam belas tahun, memiliki pembawaan seperti wanita dewasa. Keempat gadis March, dengan didampingi ibu mereka yang bijak, akan menemukan cinta mereka masing-masing dan menyambut masa depan.
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Akhirnya bisa pinjem!

Hai semuanya! Kembali lagi di cerita non-faedah Impy.

Seperti yang kalian tahu, aku membaca Little Women di awal tahun ini, dan langsung merana karena buku keduanya harus antri di Ipusnas. Aku selalu pesimis kalau sudah disuruh mengantri di Ipusnas, sebab biasanya selalu keduluan orang. Akan tetapi, suatu malam, entah kenapa aku iseng mengecek Ipusnas dan melihat Good Wives yang ternyata SUDAH TERSEDIA SATU COPY!

Aku tidak pernah bergerak secepat itu selama meminjam buku di Ipusnas. Langusng set-set-set, sebelum orang lain menyadari satu copy yang berharga itu. Aku membaca Good Wives malam itu juga, bahkan tidak tidur sampai waktu sahur tiba, dan lanjut baca setelah sahur selesai. Resikonya, aku bangun tidur pukul satu siang, dan mendapat omelan mamake. Hey, itu sepadan!

Maka marilah kita lanjutkan kisah Anak-anak March di masa dewasa mereka. Yah, secara teknis aku sudah tahu akan jadi apa cerita ini nantinya dari film adaptasi 2019, tapi aku tetap ingin membacanya langsung demi menemukan detail-detail kecil yang berfaedah. Di buku ini usia Meg sudah 21 tahun, Jo 19, Beth 18, dan Amy 16. Dan aku pun melongo karena aku sudah lebih tua dari mereka semua.

B. Plot

Sejujurnya, aku tidak terlalu memikirkan bagaimana plot novel ini. Aku sudah tahu semuanya, setidaknya memiliki gambaran tentang keseluruhan kisah dari adaptasi film. Nah, yang sekarang aku kepingin tahu adalah bagian-bagian yang tidak dicantumkan ke dalam film, kisah-kisah yang lebih mendetail tentang anak-anak March serta kehidupan dewasa mereka.

Rasa kepingin tahu itu pun terpenuhi dengan mantap. Di novel ini, kita diceritakan kisah rumah tangga Meg yang lebih rinci. Bagaimana dia berperilaku sebagai istri serta ibu muda, juga bagaimana hubungannya dengan sang suami (John). Meg merupakan anak tertua di keluarga March, dia terkenal dewasa, sopan, dan berpikir paling rasional. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dia menjadi istri dan seorang ibu di usia yang sangat muda.

Emosinya kadang berubah-ubah, suka merajuk tentang masalah sepele, bahkan bisa jadi sangat egois. Parahnya, si John juga kadang brekele, bukannya menenangkan sang istri, malah ikut merajuk bak suami yang tersakity. Padahal dia harusnya mikir kalau Meg seharian mengurus rumah, anak kembar yang masih balita, belum lagi tamu-tamu yang sering datang. Eh, si John pulang liat rumah berantakan sekali aja bukannya maklum, malah ngeluh. (Jejelin balsem)

Akan tetapi, sebenarnya John itu suami yang baik. Dia tidak pernah menaikan nada suara, sekesal apa pun dia terhadap Meg. Dia juga sebenarnya ingin membantu, hanya saja dia tidak tahu harus melakukan apa dan takut malah semakin merepotkan. Jadi ... kita urungkan dulu niat menjejalkan balsem ke mulut John, karena dia memang pasangan yang sempurna untuk Meg.

Kita juga disuguhi kelanjutan kisah Jo dan Laurie yang sayangnya berakhir tragis. Aku juga setuju dengan pendapat semua orang kalau Jo dan Laurie memang tidak akan cocok hidup sebagai suami-istri, sebab sifat mereka terlalu mirip. Keduanya terlalu cinta kebebasan, egois, konyol, dan berjiwa petualang.

Jo benci kemewahan Laurie padahal pemuda itu sangat menyukai kemewahan. Di sisi lain, Lauri benci tulisan-tulisan Jo, padahal menulis memang kehidupan Jo. Pokoknya, meskipun hubungan mereka dari awal sangat lucu dan UwU, tapi aku yakin kalian sebagai pembaca juga tidak terlalu ngeship dua cecurut ini. Mereka memang lebih UwU sebagai sahabat, tapi sayang Laurie ingin lebih dari itu.

Bagaimana kalau TTM saja? Teman Tapi Mesra. (Hey, Impy! Umur tua-mu kelihatan, tuh!)

Mari kita berpindah sudut pandang ke Beth my sweetheart. Sayangnya, di sini dia tidak berperan sebanyak dulu. Dia sangat rapuh dan sering kali terlihat sedih. Kita semua sudah tahu apa yang terjadi pada Beth, jadi sebaiknya tidak usah diungkit lagi. Meskipun, aku ingin mengatakan kalau kepergian Beth sangat dramatis dan puitis sehingga kita tidak akan merasa kasihan dengannya.

Bagaimana dengan Amy? Oh, dia jadi kesayangan semua orang, terutama Bibi March, dan teman-temannya. Setelah kakak-kakaknya dinyatakan "gagal" membanggakan keluarga, Amy menjadi satu-satunya harapan untuk menaikkan derajat keluarga March, dan dia tidak keberatan dengan itu. Amy berusaha menjadi anggun, dia bertata-krama, mempunyai kharisma yang kuat sehingga semua orang pasti menyukainya.

Sayangnya, Amy sempat putus asa dengan mimpinya menjadi pelukis terkenal, dan memilih untuk langsung saja menikahi pria kaya. Akibat ambisi itu, Amy juga sering kali membelakangi keluarga. Sebenarnya dia merindukan rumah, tapi ambisi untuk menaikkan derajat keluarga terlalu besar sehingga ia mendahulukan hal itu. Namun, seperti kata Beth. Amy ibarat burung lark, setinggi apa pun terbang, dia akan selalu kembali ke sarang. Sejauh apa pun dia pergi, pada akhirnya dia akan pulang.

Novel ini menceritakan kehidupan sehari-hari sebuah keluarga sederhana. Kalau dijabarkan begitu, novel ini terkesan membosankan. Tapi percayalah novel ini kebalikan dari membosankan. Berbagai tokoh dengan sifat menarik, cara mereka mengatasi masalah sesuai kepribadian, serta konflik-konflik ringan yang reletable membuat novel ini bisa dinikmati segala zaman. Aku suka ini sebanyak aku suka buku pertamanya.

C. Penokohan

Meg. Menjadi istri dan ibu muda sering membuat Meg kelelahan sehingga suasana hatinya juga kacau. Akan tetapi, separah apa pun situasi rumah tangganya dengan John, Meg selalu memiliki Marmee untuk berkeluh-kesah. Ditambah akal sehatnya cepat pulih saat amarah mereda, jadi biasanya Meg yang lebih dulu meminta maaf kalau mereka berdua bersitegang. Entah kenapa aku merasa kasihan sama Meg di novel ini. Dia terlalu dituntut menjadi istri dan ibu yang sempurna.

Jo. Ambisi Jo semakin bertambah besar seiring usia. Dia jadi lebih nekat serta lebih galak. Namun, sebagai tertua kedua dan masih lajang, Jo sadar bahwa dia tidak bisa sebebas dulu. Banyak tanggung jawab yang diemban Jo dalam novel ini. Dia menganggap dirinya harus menjadi tulang punggung keluarga, serta menjaga adik-adiknya.

Banyak orang yang tidak setuju kalau Jo akhirnya menikah dengan profesor, tapi menurutku itu masuk akal. Jo yang "liar" butuh sosok yang kalem dan kebapakan untuk menjinakkannya. Dia juga mengagumi profesor itu, sama seperti profesor juga mengagumi Jo. Meskipun memang agak sedikit seram, tapi tingkah "pacaran" mereka sepanjang buku sangat wajar sehingga kita bisa paham hubungan mereka berdua.

Beth. Aku menyayangi Beth sama seperti semua orang di buku ini menyayangi Beth. Kalau aku belum menonton filmnya, mungkin aku akan menangis bombay 7 hari 7 malam. Saat menonton film pun aku menangis sampai seember. Rasanya, aku kurang puas dengan penokohan Beth di sini. Porsinya dalam buku kurang banyak sehingga kita tidak terlalu mengenalnya sedalam anak-anak March yang lain. Seolah kepribadian dia memang cuma rapuh dan sakit-sakitan, padahal dia pasti juga punya mimpi dan harapan sama besar dengan saudara-saudaranya.

Amy. Sejak kecil Amy sudah menjadi kesayangan semua orang, itu berlangsung hingga dia remaja. Sifatnya yang ceria dan periang membuat semua orang senang berteman dengannya. Ambisi Amy dalam buku ini memang rada aneh, dia rela meninggalkan bakatnya demi menikahi lelaki konglomerat. Namun, melihat segala tekanan yang diberikan Bibi March serta orang-orang lain, rasanya aku mengerti. Amy sangat ingin menaikkan derajat keluarganya, karena dia dianggap sebagai satu-satunya yang bisa melakukan hal itu.

Laurie. Argh! Aku tidak bisa menghilangkan wajah Timothee Chalamet setiap kali ada adegan Laurie di buku ini! Karakternya di buku dan film sangat mirip. Nakal, genit, angkuh, dan kekanakan. Dia memang tidak terlalu sering digambarkan super tampan, tapi dari cara penulis menggambarkan sikapnya, serta caranya menggoda anak-anak March, aku selalu terbayang orang tampan yang konyol (alias Timothee Chalamet). Sebenarnya aku rada kasihan karena Jo menolak Laurie. Ayolah! Dia sudah mencintai Jo sejak mereka pertama bertemu!

Marmee. Peran Marmee di sin lebih sedikit dari buku pertama. Mungkin karena Marmee adalah tipe ibu yang membebaskan anak-anaknya dalam segala hal. Melepas mereka ke mana pun, dan membiarkan mereka belajar sendiri dari pengalaman.

John. Kadang cara John memperlakukan Meg bikin aku sebal. Terlalu cuek, terlalu membiarkan istrinya memendam emosi sampai meminta maaf pada akhirnya. Helooww ... dirimu tidak mau minta maaf juga kah, John? Eh, tapi setiap kali dia memuji dan membanggakan Meg ke semua orang, rasa sebalku langsung hilang. Ditambah, dia tipe ayah yang tegas, dan akhirnya membantu Meg menangani salah satu dari si kembar yang sifatnya lebih nakal.

Mr. March, Hannah, Tuan Laurence, Fred, yang kehadirannya juga penting tapi tidak terlalu memberi  perubahan pada plot. Kehadiran mereka mempermanis keadaan, seperti Mr. March yang akhirnya pulang perang sehingga Marmee tidak lagi sekhawatir dulu. Atau Tuan Laurence yang tidak lagi terlalu menuntut cucunya. Juga Hannah yang masih suka menggerutu, tapi pekerja keras.

D. Dialog

Dialog dalam novel ini mungkin kaku bagi sebagian orang, tapi aku pribadi sangat menyukainya. Kesan klasik dan sopannya sesuai dengan latar saat itu. Setiap dialog juga menggambarkan kepribadian tokoh. Seperti Laurie yang sering nyablak, Amy yang lebih sering mengomel tentang sopan-santun dan cara berpakaian (persis Meg waktu remaja), juga dialog Jo yang masih berapi-api nan ambisius.

Aku pribadi paling suka saat dialog penolakan Jo pada Laurie, juga Jo dengan Beth saat mereka berlibur berdua. Oh, ya ampun! Emosinya benar-benar dapat, sampai aku membaca bagian itu tiga kali demi merasakan lagi emosi serupa. Sangat berkebalikan dari dialog novel Watpat yang seringnya diskip-skip-skip. MULAI!!!

E. Gaya Bahasa

Pendapatku masih sama seperti buku pertama. Mungkin di novel ini gaya bahasanya lebih tidak konsisten, karena terkadang kita dibawa mendayu ke sana-sini, tapi di adegan lain kita dibawa ngebut seperti ajang MotoGP. Beberapa bab juga sangat membuatku bosan, terutama segmen surat Amy dan surat Jo. Kisahnya memang menarik, tapi rasanya terlalu panjang dan bertele-tele.

F. Penilaian

Cover : 4

Plot : 4,5

Penokohan : 4,5

Dialog : 4,5

Gaya Bahasa : 4

Total : 4,5 Bintang

G. Penutup

Dengan ini aku nyatakan bahwa seri Little Women telah selesai (Ding-ding-ding-ding!!!)

Sebenarnya ada beberapa novel lagi dari Louisa May Alcott yang berjudul Little Men, juga Jo's Boys. Namun, buku-buku itu sudah tidak lagi berhubungan dengan Little Women, meskipun masih satu universe. Aku sangat ingin membacanya, tapi masih ada janji dengan buku-buku lain. Argh!!!

Nah, untuk sekarang kita kembali ke rencana awal untuk menamatkan novel-novel lainnya, sampai suatu hari nanti kita kembali ke universe Little Women.

Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Ily

Omen #1

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Laut Bercerita

Peter Pan