Fantasteen : Gallery of Dolls


Judul : Fantasteen : Gallery of Dolls

Penulis : Marsella Azuela

Penerbit : DAR! Mizan

Tahun Terbit : 2015

ISBN : 9786022426530

Tebal : 180 Halaman

Blurb :

Dengan keadaan yang merumitkan setelah Ayah mereka masuk penjara, Keika, ibunya, kakaknya Emily, serta kedua adiknya, Sandra dan Charlotte harus pindah untuk tinggal di rumah baru. Dibilang sangat baru sebenarnya tidak, bahkan rumah baru itu adalah vila peninggalan nenek Keika untuk tantenya yang sudah lama tidak dirawat.

Mungkin dengan sedikit bersih-bersih dan penataan ulang, vila tua nenek Keika ini akan lebih layak untuk mereka tinggali. Suasana bangunan tua memang berbeda, meskipun dibenahi sebagus apapun. Aura gelap mencekam mengelilingi villa tua peninggalan nenek Keika. Suatu saat Sandra menghilang!

Hilangnya sang adik yang pendiam, misterius, dan dianggap aneh ini membuat saudaranya yang lain panik mencarinya. Namun tidak dengan ibu mereka, sang ibu malah berkata bahwa ia tidak pernah memiliki anak bernama Sandra. Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kebingungan dan rasa takut menyelimuti hari-hari Keika, Emily, dan Charlotte semenjak hilangnya Sandra. Ditambah dengan kedatangan sosok perempuan berbaju hitam penuh pita dengan rambut coklat ikal panjang yang dikelilingi dengan ribuan boneka menyeramkan.

Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa Sandra sebenarnya? Dan apa yang boneka-boneka seram ini lakukan di rumah mereka? Ikuti kisah mencekam dan penuh misteri kediaman baru keluarga Keika dalam novel Fantasteen: Gallery of Dolls.
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Aduhai Plot Twist-nya!!!

Jangan panik, jangan gusar, jangan gundah wahai Pembaca Budiman. Aku tahu apa yang kalian pikirkan saat melihat gambar di atas. “IMPY MEMBERI BINTANG EMPAT PADA SERI FANTASTEEN???”

Ya ...aku tahu kedengaran mustahil bin mustahal, tapi itu benar adanya. Impy tidak sedang ditawan, tidak juga ditawari semilyar dollar. Supaya jelas, biar aku ceritakan sedikit (banyak) bagaimana aku berakhir membaca seri fantasteen lagi.

Remedial Season sudah berakhir di sekolah tempatku bekerja, dan kalian tahu hasilnya? Buanyak sekali siswa yang menyumbang seri Fantasteen, entah kerasukan apa murid-murid itu, tetiba mereka buang koleksi Fantasteen ke perpustakaan. Bayangkan, total ada 10 buku Fantasteen, bersama 5 buku Tere ‘Tell’ Liye, serta 15 buku campuran.

Maka, aku memutuskan untuk mengakhiri semua ini, akan kubaca semua seri Fantasteen yang ada di perpustakaan dan membuat review keroyokan! Toh, sudah pasti tidak akan ada seri Fantasteen yang benar-benar aku cintai. Paling-paling semua DNF, langsung saja kuceritakan alasan DNF novel-novel tersebut.

Dengan begitu aku bahagia, pembaca bahagia, semua bahagia. Namun oh nenamun, Neptunus punya rencana lain.

Tiga novel Fantasteen pertama selesai kubaca, dan terbukti brekele, berujung DNF seperti dugaanku. Terlalu kekanakkan, terlalu harfiah, tidak ada hal nendank yang membuatku tertarik. Di novel keempat berjudul Gallery of Dolls, however ....

Wait, why is it good?

Paragraf pertama kubaca, benar-benar terasa seperti Middle Grade. Satu bab kubaca tanpa komen, dua bab selesai membuatku tercengang, bab ketiga membuat tambah pinisirin. Di bab lima aku pun mengalah. Okhay, okhay, aku akan membuat review full dari novel Gallery of Dolls, sebab seri Fantasteen yang satu ini pantas dipuja-puji.

Jangan salah, aku benci saat pendapatku tidak sepenuhnya benar, tapi aku lebih benci kalau tidak jujur tentang apa pendapatku dari buku yang kubaca, terutama seri Fantasteen, yang selalu menjadi bulan-bulanan di Review Impy.

Walaupun ada beberapa masalah juga, yang sebenarnya bukan berasal dari cerita itu sendiri. Lalu dari mana? Mari kita langsung saja menuju review. This is exciting!

Omong-omong, haruskah kita membahas Cover novel ini? Maksudku LIHAT ITU!!! Itulah seni yang sesungguhnya! Kalau ada satu hal yang pasti aku sukai dari seri Fantasteen, sudah jelas itu dari segi sampul. Nah, moving on!

B. Plot

Sebuah keluarga beranggotakan ibu serta empat anak perempuan (Emily, Keika, Sandra, dan Charllote) harus pindah dari hunian nyaman mereka ke vila seram nenek di dekat hutan, akibat sang ayah terjerat kasus korupsi. Surprise, surprise ... vila itu berhantu dan bahkan mencelakai seluruh anggota keluarga satu per satu.

Okay, klise horor, ratusan kali kita melihat pembuka plot seperti ini dalam genre horor.

Namun, ingat satu hal. Klise bukan berarti buruk. Hal yang membuat novel ini enak dibaca sejak awal adalah gaya bahasa yang Middle Grade-ish. Sesuatu yang memang aku harapkan dari seri Fantasteen selama ini. Sudut pandang dibawa oleh seorang anak perempuan berusia 16 tahun bernama Keika, harus kukatakan Keika adalah sosok yang likeable.

Sekali lagi ... apa pakem kita tentang POV 1? Tokoh utama adalah Koentji! Keika berhasil membuatku menaruh perhatian padanya, dari caranya mengayomi adik-adiknya sebagai paling tua kedua, serta betapa akurnya dia pada kakak pertamanya. Kalian tahu betapa aku suka persaudaraan yang UwU. Novel ini menyuapiku dengan hal-hal yang paling kucintai!

So ... salah satu dari keempat bersaudara ini (Sandra) sering bertingkah aneh, dan seluruh keluarga setuju kalau dia gila. Untuk beberapa alasan mereka tidak membawanya ke pskiater. Sandra dingin, tidak punya emosi, selalu pucat, dan sering bicara sendiri, membuat dunia sendiri.

Kedua saudaranya (Emily dan Charllote) membenci Sandra, Ibu dan Ayahnya tidak terlalu menganggapnya, hanya Keika yang tulus menyayangi Sandra. Itu terlihat jelas dari tingkah laku Keika kepada Sandra, yang mana itu berarti penulis mengerti cara melakukan Show and Tell.

Nah, semenjak di Vila nenek ini, tingkah Sandra semakin parah. Bukan cuma bertingkah aneh, kini dia benar-benar mencelakai keluarganya, korban kali ini Charllote si paling kecil. Kalau tadinya Charllote cuma takut pada Sandra, kini dia membenci Sandra seutuhnya, bahkan Emily juga.

Keika di sisi lain, masih punya harapan pada Sandra. Berusaha bicara baik-baik padanya, meladeni keanehannya, serta menghormati obsesinya pada boneka. Tapi eh tetapi, suatu malam Sandra malah diculik oleh boneka-boneka seram di Vila Nenek, terkubur di tanah lapang belakang rumah, berhiaskan bunga wijayakusuma, di bawah pohon rimbun.

Charllote dan Keika yang melihat kejadian itu tentu saja panik. Anehnya, Emily dan Sang Ibu malah tidak tahu siapa Sandra, mereka lupa, seolah Sandra tidak pernah ada. Sampai di sini ada beberapa hal yang membuatku bingung. Misalnya, Emily berkata seolah dia melupakan Sandra, tapi kemudia ingat Sandra tanpa alasan yang jelas. Terus, apakah Ibu memang tidak melihat Sandra sejak awal, atau dia memang melihat Sandra tapi menganggapnya tidak ada? Bahkan penjelasan di epilog tidak terlalu menjawab pertanyaanku.

Untuk selanjutnya, ternyata kepergian Sandra tidak lagi berpengaruh pada keluarga kecil itu sehingga memicu si hantu untuk mencari mangsa baru. Mungkin untuk diingat kembali keberadaannya. Kali ini target si boneka adalah sepupu Emily, Keika, dan Charllote yang bernama Jayden. Anak dari adik Sang Ibu yang tinggal di Paris.

Jayden mulai mengalami mimpi yang berhubungan dengan boneka dan Sandra hingga akhirnya anak itu membuka kembali ingatan tentang Sandra, berserta segala keanehannya. Ternyata eh ternyata keanehan itu di mulai sejak seratus tahun lalu, saat Indonesia masih dijajah Belanda dan Jepang.

Nenek keluarga kecil itu (Callestia) mempunyai adik (Dollan) yang problematik, menyimpan perasaan iri pada kakaknya. Callestia dan Dollan sama-sama hobi membuat boneka, tapi Callestia jauh lebih mahir, Callestia juga lebih cantik, ceria, dermawan, dan disukai banyak orang. Sedangkan Dollan kebalikannya, kalian tahu lah konflik persaingan kakak-adik seperti itu.

Callestia dan Dollan dibuatkan masing-masing satu ruang bawah tanah untuk menyimpan boneka-boneka ciptaan mereka. Suatu hari, Dollan mengajak Callestia untuk bertanding membuat boneka seukuran manusia. Tentu saja milik Callestia lebih bagus, maka Dollan bertanya apa yang membuat bonekanya begitu bagus. Apa rahasianya?

Callestia pun menjawab, “Karena aku meletakkan separuh diriku dalam setiap boneka ciptaanku.”

Ekhem ... rasanya orang normal paham kalau itu adalah bentuk metafora bahwa Callestia memang secinta itu dalam membuat boneka. Namun, tentu saja Dollan mengartikan kalimat itu secara harfiah sehingga dia mulai belajar ilmu hitam untuk bisa menaruh dirinya dalam boneka.

Dollan menamai boneka ciptaannya Sandra, sementara sebagai penangkal Callestia menamai bonekanya Keika. Untuk seterusnya nama itu juga diberikan kepada cucunya. Sedangkan Dollan meninggal tertumbun dalam ruang bawah tanah saat gempa, dan mengirimkan Sandra untuk menjadi “anak ketiga” dari keluarga kecil itu yang sebenarnya tidak pernah ada.

Wow, wow, wow ... itu adalah plot klise yang dieksekusi dengan sangat menarik, tapi juga sederhana. Setiap tokohnya punya kepribadian, dan memang berperan penting dalam cerita. Konfliknya berkelanjutan, serta menerapkan sistem sebab-akibat. INILAH yang seharusnya ada di novel-novel Fantasteen lain. Inilah yang kuharapkan dari seluruh seri Fantasteen.

Tahookah kalian aku punya berbagai pertanyaan sepele selama membaca cerita, dan aku pikir pertanyaan sepele itu bisa menjadi kekurangan dari novel ini. Misalnya kenapa nama Keika bernuansa jepang, berbeda dengan saudara-saudaranya yang kebule-bulean. Atau tadi, apakah Sang Ibu tidak melihat Sandra atau dia melihat Sandra, tapi menganggapnya tidak ada.

Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab di Epilog. Pada akhirnya yang aku pikir akan menjadi kekurangan malah menjadi kelebihan novel ini lagi. Prolog dan Epilognya berfungsi dengan baik, penggunaannya tepat dan efektif. Aku sampai harus melihat sampul berkali-kali. Ini beneran Fantasteen, kah?

Pada akhir cerita, masalah sudah terselesaikan dengan baik, dalam artian tidak menggantung, tidak ada pertanyaan-pertanyaan lain. Tapi eh tetapi, kayaknya kalau penulis mau membuat sequel atau prekuel sangat memungkinkan. Jujurlly, aku juga pengin tahu kisah Callestia dan Dollan secara lengkap.

Mungkin akan seperti Alice Through the Looking Glass, sejarah Ratu Putih dan Ratu Hati. Oh, kisah yang sangat memilukan, tapi UwU pada akhirnya.

C. Penokohan

Keika. Sangat likeable dan cocok sebagai narator sudut pandang orang pertama. Sifatnya baik, bertanggung jawab. UwU pada adik-adiknya, hormat pada kakak dan Ibunya. Apa pun yang aku ingin tahu juga ingin diketahui oleh Keika sehingga aku bisa menikmati novel ini tanpa terlalu banyak gangguan.

Sandra. Penyusup, saudara yang tidak pernah ada. Penulis berhasil menggambarkan keseraman dan kemisteriusan Sandra. Beberapa kali tingkahnya membuatku merinding, dialog-dialog yang dia ucapkan juga seram tanpa dipaksa. Ada sesuatu yang salah dari Sandra, dan kita semua ingin tahu apa itu.

Charllote. Tipikal adik bungsu yang penakut dan manja. Hanya saja, Charllote juga yang seringnya melihat keadaan sekitar dan membuat teori-teori. Dia mengingatkanku pada Daphne di novel The Sisters Grimm, da kalian tahu betapa aku mencintai novel itu, kan? No explenation needed.

Emily. Sebagai kakak tertua, sikap Emily sedikit skeptis kepada adik-adiknya. Dia bahkan ikut melupakan keberadaan Sandra, dan tidak terlalu mengikuti penyelidikan yang dilakukan adik-adiknya kecuali di akhir, itu pun cuma jadi beban. Aku harap ada lebih banyak adegan Emily yang menjaga adik-adiknya. Ya, termasuk Sandra.

Ibu. Awalnya aku berpikir si ibu ini pilih kasih, dan jelas paling membenci Sandra, kemudian ada adegan yang membuatku malah berpikir Ibu menganak-emaskan Sandra. Ternyata, di mata Ibu Sandra malah tidak ada sama sekali. Namun, aku masih bingung apakah si Ibu ini juga punya masalah kejiwaan atau tidak, sebab yang satu ini tidak terlalu terjawab.

Jayden. Sepupu pindahan dari Paris. Keika mengatakan Jayden adalah pengganti sosok ayah, kalau menurutku itu tidak tepat sama sekali. Jayden jelas tidak lebih tua dari keempat bersaudara, tingkahnya konyol, dan jauh dari kata kebapakkan. Kemudian aku sadar kalau yang dimaksud Keika (dan penulis) sebagai pengganti ayah adalah mereka sama-sama laki-laki (bruhh).

Callista dan Dollan. Adik dan kakak yang memulai segalanya.

Ayah. Untuk adegan UwU di penjara.

D. Dialog.

Dialog dalam novel ini berisi, tidak buru-buru, tidak terkesan ping-pong, tidak maksa, dan boleh dibilang masuk akal. Bahasa yang digunakan tidak terlalu kaku untuk latar tempat di Indonesia, tapi tidak juga maksa jadi gaul sampai malah terkesan alay. Setiap dialog membawa kita terus maju pada plot. That is awesome!

Walaupun tetap ada beberapa protes dariku. Misalnya, dialog Ibu yang tidak konsisten dalam menyebut kata ganti untuk dirinya sendiri. Saat bicara dengan anak-anaknya dia menggunakan kata “Ibu”, tapi terkadang berubah jadi “Aku”. Misalnya gini ....

“Keika, aku tidak ingin kamu menjadi Sandra ... maafkan Ibu, ya?”

Kalau menurutku itu kesalahan lumrah bagi penulis, hanya saja aku jadi mempertanyakan kinerja editor serta proof reader yang menangani novel ini. Terkadang font dialog juga suka berubah pada hal-hal random. Aku pikir perubahan font itu terjadi saat tokoh kaget, atau saat tokoh mengatakan informasi penting. Nyatanya pada dialog yang tak bermakna pun font-nya berubah.

Aku ingat hal sama juga terjadi pada novel Fantasteen : Absolute Zero. Apa yang layouter novel pikirkan saat melakukan hal-hal seperti itu? Gabut? Sok keren? Si paling estetik? NO! STOP IT!

Ada juga sebutan yang kurang tepat. Aku sudah cerita kalau Charllote membenci Sandra, ‘kan? Karena dia aneh, menyeramkan, katakanlah jahat. Namun, Keika malah menasehati adiknya seperti ini. "Charllote, kamu tidak boleh rasis pada kakakmu sendiri." Di saat tidak ada perilaku Charllote yang merujuk pada Ras sama sekali.

That is kinda weird ....

E. Gaya Bahasa

Okay ... are you ready for the real salt? Aku akan memberikan julid pada kalian. Bukan untuk penulis atau isi novel Gallery of Dolls sendiri. Percayalah, aku berani bilang ini novel Fantasteen terbaik yang pernah kubaca, dan aku bersyukur Neptunus mempertemukanku dengan novel ini.

Hanya satu masalah .... SIAPA YANG EDIT NOVEL INI???

Kalian tahu? Akan kucari sendiri! Sekesal itu aku sama orang-orang yang urus novel ini. Bentar ....


Irawati Subrata dan Dian Hartati. Guweh tandain kalian! Sekalian Proof readernya, Hetty Dimayanti. Guweh tandain kalian bertiga. Bisa-bisanya tiga orang dari penerbit MAYOR tidak bisa menangani satu novel berjumlah kurang dari 200 halaman!

Kalian harus percaya saat kubilang SANGAT BUANYAK typo, salah tulis nama, inkonsistensi, kalimat tidak lengkap yang ada pada novel ini. Sekali-kalinya ada novel Fantasteen bagus, tapi penanganannya macam e,e nan asal-asalan begini. How dare they!

Belum lagi beberapa cacat logika atau informasi keliru yang seharusnya sangat bisa diperbaiki oleh editor, tapi mereka tampaknya tidak peduli, atau tidak mau mencoba peduli untuk memperbaiki. Misalnya kesalahan antara Paris dan Prancis.

Penulis beberapa kali menyebut Paris sebagai negara, dan Prancis adalah ibu kotanya. Yang mana itu TERBALIK! Kok, kagak ada yang sadar! Aku pikir itu cuma kesalahan teknis, tapi kemudian terulang lagi pada konteks berikutnya. Aku akan melampirkan segala salah kepenulisan dalam novel ini di akhir, sebab kalian juga harus mengetahuinya!

Memang manusia adalah makhluk yang tak luput dari kesalahan. Tapi eh tetapi, kalau tiga manusia tidak becus membenahi novel yang bahkan tidak sampai 200 halaman, itu namanya bukan kesalahan lagi, tapi ogah-ogahan! Icylandar yang 800+++ halaman saja tidak ada typo barang sebiji!

Jangan cari-cari alasan di depanku!!!

Aku ingin mengakhiri ini dengan catatan baik, jadi aku akan menyebutkan bahwa NOVEL INI PUNYA ILUSTRASI!!!

F. Penilaian

Cover : 4

Plot : 3,5

Penokohan : 3,5

Dialog : 3

Gaya Bahasa : 2,5

Total : 3,7 Bintang

G. Penutup

Dari sekian banyak seri Fantasteen di luar sana, cepat atau lambat pasti akan ketemu satu yang aku sukai, minimal sesuai dengan selera. Namun, aku pikir itu seperti mencari jarum di rumpukan jerami! Aku tidak menyangka bahwa masa itu akan datang secepat ini!

Baru saja aku memberi bintang satu pada dua novel Fantasteen lain di Gudrids, tapi Neptunus malah berpendapat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk memutar balik keadaan. Hal itu jelas membuatku gagal membuktikan teori bahwa semua Fantasteen pasti brekele, duooongg!!!

Walaupun sekali lagi, aku tetap sentimen sama pihak penerbit yang mengurus novel ini. Menurutku, penulis tidak perlu membuat segmen ‘Ucapan Terima Kasih’ untuk pihak penerbit, karena mereka TIDAK MELAKUKAN TUGAS DENGAN BAIK!

Yah, tapi begitulah dunia ... tidak ada yang semuanya bagus, tidak ada yang semuanya jelek. Untuk kalian yang ingin menyoraki aku, melempar wajan, sendal swalalow, sebab sudah negatif thinking pada Fantasteen, waktu dan tempatnya dipersilahkan.

Asal lakukan dengan manis manja ya (UwU)

Nah, segitu dulu review hari ini. Untuk berikutnya, aku akan tetap melakukan marathon Fantasteen, kita lihat apa yang akan terjadi. Apakah akan ada lagi yang sebagus Gallery of Dolls? Atau malah yang begitu aduhai seperti .... Marilah tidak usah menyebut judul secara eksplisit.

Sampai jumpa di lain hari ^o^/

Kompilasi Editor dan Proofreader being PEMALAS!

Harusnya Callestia, apakah editor dan proofreader yang TIGA ORANG ITU keder sama nama mereka gara-gara ada double L?

Bisa-bisanya Typo begini kagak sadar!

"Luka dalam "PADA" Callestia" baru kalimatnya padu. Gimane, si!

Dia, dia, dia

Bahkan gak bisa bedakan "menghiraukan" dan "tidak menghiraukan"

CEK LAGI DOOONGGG!!!

Keterangan waktu yang rancu, 11.40 identik dengan siang hari. Harusnya pakai metode 24 jam!

DUA KESALAHAN DALAM WAKTU DEKAT???

Memenangkan? Editor dan Proofreader novel ini mungkin memenangkan juara editor dan proofreader paling PEMALAS!!!

Kekeliruan pada Paris dan Prancis. Bagaimana menurut kalian?

Memeleh tuh apaan, bjirr!!!

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan