Novel Vs. Film


Hallow, Pembaca Budiman di mana pun kalian berada!

Seminggu belakangan ini aku menyibukkan diri dengan menonton ulang trilogi The Lord of The Ring yang melegenda, lantas langsung membaca trilogi novelnya untuk PERTAMA KALI, demi mempelajari bagaimana adegan epik di film dalam bentuk tulisan. Harus aku akui sepenuh hati bahwa LoTR memang adaptasi novel ke film paling epik dan memanawan dibandingkan adaptasi-adaptasi lainnya.

Belum pernah aku menemukan orang yang kecewa pada trilogi film LotR. Mulai dari pemilihan casting, jalan cerita, suasana film, kemiripannya dengan versi novel, semuanya sempurna. Trilogi film LotR memang sepantasnya melegenda, sebab memang seepik itu! Favoritku sejauh ini mungking The Two Tower, meskipun sangat sulit untuk tidak mencintai semuanya!

Nah, Ilham pun mendatangiku dengan sebuah bingkisan barokah. Aku jadi tertarik untuk membandingkan setiap film adaptasi novel yang selama ini kutonton dan kubaca. Meneliti apa saja perbedaan dari masing-masing media, apakah perbedaan itu adalah sebuah kekurangan atau kelebihan, dan tentu saja versi mana yang akhirnya lebih baik antara film atau novel.

Ingatlah, Beybeh ... perbandingan ini semata-mata hanya untuk hiburan, tentu saja ini masalah selera. Kalian bisa setuju atau tidak setuju, kembali lagi pada diri masing-masing. Lagi pula kita membicarakan novel-novel yang begitu terkenal sampai akhirnya dijadikan adaptasi film. Memangnya siapa aku ini, sampai berani-berani mengomentari hal ini benar, ‘kan?

Oh, bay de wey ... Untuk LotR versi novel dan film nilainya SERI, sebab keduanya sama-sama aduhai!
MENGANDUNG SPOILER!!!

1. Peter Pan Vs Peter Pan (2003)

A. Perbedaan

"Ya elah! Peter Pan lagi yang dibahas, bosen kalee!"

Ssshh, Darling, Ssshh ... ini lapak milikku, jadi aku bebas membahas Peter Pan sebanyak yang aku inginkan, OKHAY!!!

Sebelumnya kalian bisa baca review yang kubuat untuk novel Peter Pan.

Secara harfiah, Peter Pan merupakan anak yang menolak dewasa. Suatu hari, dia mengajak Wendy bersama dua adiknya pergi ke Neverland, negeri ajaib di mana waktu tidak ada maknanya selagi mereka terus memikirkan hal-hal bahagia. Secara filosofis, kisah Peter Pan menggambarkan Inner Child setiap manusia, bagaimana manusia mempunyai pandangan masing-masing dalam kedewasaan, serta bagaimana cara setiap orang menghadapi proses tersebut.

Aku kenal Peter Pan pertama kali dari film adaptasi 2003 yang diperankan oleh Jeremy Sumpter. Usiaku mungkin delapan atau sembilan saat itu, dan percayalah aku jatuh cinca pada Peter saat itu juga, padahal aku sendiri belum tahu apa arti jatuh cinca. Ayolah, semua orang mencintai Jeremy Sumpter sebagai Peter Pan! Dia imut, lucu, tapi konyol, bandel, dan rada sadis. Memang seperti itulah penggambaran Peter di kepalaku saat membaca bukunya.

Namun di versi novel, Peter ternyata bukan benar-benar orang. Dikisahkan Peter bayi memutuskan untuk tidak tumbuh besar sebagai manusia melainkan burung. Itu sebabnya dia seperti hybrid antara manusia dan burung. Dia bisa terbang, tapi tidak punya sayap, kulitnya berwarna kebiru-biruan, dia berkokok seperti ayam, dan dia sangat-sangat-sangat pelupa.

Intinya, sosok Peter Pan di film sangat jauh berbeda dari novel. Entah itu sebuah kekuarangan atau kelebihan, tapi aku ragu akan tetap menyukai Peter kalau wujudnya hybrid manusia-burung! Meskipun begitu, dalam segi penokohan boleh dibilang antara novel dan film sangat sempurna, meskipun Peter versi film tidak sesadis versi buku.

Secinta apa pun aku pada Peter, aku akui dia bukanlah orang paling baik di dunia! Bahkan dia terbilang a-hole! Di versi novel penggambarannya jelas, dia tidak pernah peduli pada orang lain, egois, bandel, jahil, bahkan sampai tega membvnvh The Lost Boy kalau mereka tumbuh dewasa. Bayangkan aja! Peter versi buku pernah melupakan Wendy serta dua adiknya selama berhari-hari di perjalanan ke Neverland, meninggalkan mereka terbang tak tentu arah di lautan luas. Di beberapa kesempatan adik Wendy bahkan nyaris modar! What a beach!

Di film, setidaknya Peter peduli pada Wendy, serta menjaganya dengan baik. Ya, dia tetap bodo amat sama dua adiknya, tapi berkat rasa pedulinya pada Wendy, sementara Wendy sangat protektif pada adik-adiknya. Mau tidak mau Peter juga terpaksa memedulikan mereka. Penokohannya sedikit diubah, tapi itu jelas menjadi lebih baik. Aku yakin tidak akan ada yang menyukai Peter kalau penokohannya persis menjiplak dari novel.

Sekarang kita bahas ending dari kedua versi. Oh, I love both of them. Di versi film, ending mengisahkan Peter yang berjanji tidak akan melupakan Wendy, dan akan kembali untuk mendengar kisah-kisahnya yang lain. Namun, Peter malah tidak pernah kembali setelahnya. Aku yang saat itu berusia delapan-sembilan tahun pun mewek dibuatnya. Ending yang menyedihkan, tapi membekas, y'know?

Di versi novel, ending tidak berhenti sampai di situ, melainkan lanjut terus sampai Wendy dewasa, bahkan punya anak-cucu. Ternyata eh ternyata, ending versi novel menjelaskan kenapa Peter tidak kembali pada Wendy untuk menepati janjinya. Kalian tahu apa alasannya? Karena dia lupa (bruuh!).

Peter versi novel memang pernah kembali beberapa kali di musim panas untuk meminta bantuan Wendy membersihkan kamar. Itu sebabnya Wendy berusaha untuk tidak tumbuh dewasa selama beberapa waktu demi bisa kembali ke Neverland bersama Peter di setiap musim panas. Namun, di satu musim panas Peter tidak lagi datang, begitu juga musim panas selanjutnya, dan selanjutnya lagi.

Merasa putus asa, Wendy bertanya pada dua adiknya tentang anak lelaki bernama Peter. Ternyata, mereka pun sudah tidak mengingat apa pun tentang anak bernama Peter, serta petualangan hebat mereka di Neverland. Pada saat itulah Wendy memutuskan untuk tumbuh dewasa, tapi tidak melupakannya. Sebaliknya, dia menceritakan terus kisah Peter Pan kepada anak-cucunya.

Kasian deh lo di-ghosting, wkwkwk. Tapi serius, baik ending versi novel maupun film keduanya membekas di hatiku, keduanya perfek, dan keduanya membuatku nangis bombay 3 hari 3 malam.

B. Kelebihan dan Kekurangan Film

(+) Peter Pan di Film dibuat lebih good looking dan likeable

(+) Selain fisik Peter, pemilihan casting yang benar-benar merujuk pada novel.

(+) Menurut fans garis keras Peter Pan (bukan aku) penggambaran Neverland di film adaptasi ini adalah yang paling akurat.

(+) Adegan bertarung yang epik, padahal ini film genre Middle Grade.

(+) Jeremy Sumpter (Sangat objektif sekali)

(-) Terlalu vulgar menyisipkan konflik romantis. Padahal di novel kisah Peter Pan benar-benar tentang perjalanan seseorang menghadapi kedewasaan.

(-) Membuat para bajak laut terlihat bodoh, demi menonjolkan kehebatan Peter. Di novel, aura Kapten Hook begitu mengintimidasi.

(-) Tidak menunjukkan siklus kehidupan Neverland dengan benar. Di novel, seluruh kelompok penghuni Neverland saling mengejar, tapi kalau di film semuanya berteman dan seolah cuma Bajak Laut yang jahat.

C. Pemenang

Aku menyukai kedua versinya. Jadi untuk versi novel dan Film hasilnya SERI!

2. A Man Called Ove Vs. En man som heter Ove (2015)

A. Perbedaan

Ah, Ove kakek kesayanganku! Novel yang bisa dibilang gelap, tapi juga menyentuh. Mengisahkan seorang kakek penggerutu yang sudah tidak tahan menghadapi hidup ketika sang istri meninggal. Tema yang bisa dibilang klise, tapi dengan eksekusi seperti ini, Novel karya Pacc Fredrik Backman yang satu ini jelas menjadi masterpice-ku pribadi.

Kalian bisa baca lebih lanjut tentang Ove di review A Man Called Ove.

Saat mengetahui novel ini memiliki adaptasi, aku tidak pakai basa-basi langsung mencari film tersebut yang alhamdulilah tidak begitu sulit dicari, padahal ini bukan produksi Holiwut. Ada sedikit rasa takut dan ragu, apakah versi film akan brekele, dan malah membuatku tidak bisa tidur saking kecewanya. Namun, rasa takut dan ragu itu tidak terbukti, lantara film ini ternyata sangat sempurna.

Pertama, Rolf Lasgard sebagai Ove benar-benar perwujudan Ove versi novel, aku tidak bisa memikirkan yang lain! Dia penggerutu, kelabu, membenci segala hal, tapi di satu sisi dia memiliki hati yang besar. Oh, belio memang aktor yang sempurna untuk peran ini. Bukan hanya dia, semua pemain memerankan tokoh mereka dengan sempurna. Parvaneh dan Patrik, Rune dan Anita, tapi yang terbaik tentu saja pemeran Sonja. Ya, ampun kok ada manusia se-likeable dia!

Walaupun ada beberapa adegan dalam novel yang menurutku sangat menyentuh, bahkan membuat segala hal menjadi masuk akal tapi tidak tercantum dalam film. Misalnya kisah keluarga Ove dan keluarga Rune menyelamatkan seorang anak korban kekerasan rumah tangga, dan anak itu ternyata sangat berpengaruh pada cerita, juga menjadi alasan kenapa anak itu bisa memahami sikap kelabu Ove.

Atau adegan di rumah sakit di mana Ove bergelut sama badut hingga ditangkap polisi. Versi film ketegangannya agak diturunkan, adegannya tidak seganas itu. Terus di akhir (SPOILER ALERT!!!) ketika Ove meninggal, di dalam novel dia menulis surat warisan seluruh hartanya untuk tetangga-tetangga yang dia sayangi, tapi versi film Ove hanya mengucapkan perpisahan, disertai tugas-tugas yang harus dilakukan para tetangga setelah kepergiannya.

Di samping itu semua, hal-hal lain dalam film ini sama bagusnya dengan versi novel. Kemistri antar pemain sangat mengena di hate, tidak canggung, tidak cringe, dan tidak kelihatan trying too hard gitu loh. Bahkan si Kucing aktingnya mantep banget, natural dan persis versi novel. Masalahnya kalau anjing yang berakting sih udah biasa, ini kucing lhooo. Hewan yang gengsinya setara dewa!

Film ini buatan Swedia, tapi vibe-nya lebih bagus dari Holiwut. Tapi eh tetapi, kabarnya Holiwut juga akan membuat adaptasinya sendiri yang berjudul A Man Called Otto. (Tarik napas) Aku tetap akan nonton, tapi tidak berekspektasi apa pun. Versi Swedia sudah sempurna, melihat produksi Holiwut yang brekele belakangan ini kok aku malah ragu sama adaptasi bikinan mereka!

B. Kelebihan dan Kekurangan Film

(+) Akting pemain yang sangat cocok dengan tokoh dalam novel

(+) Latar tempat, waktu, dan suasana yang juga menggambarkan isi novel. Rasanya benar-benar visual dari novel ditumpahin langsung ke film.

(+) Isi cerita keseluruhan. Transisi masa lalu ke masa kini sangat halus, persis versi novel.

(-) Beberapa adegan penting dan bisa dibilang paling mengharukan justru tidak tercantum.

(-) Penyelesaian konflik antar Rune dan Orang-orang pemerintahan yang kurang nendank seperti di novel.

C. Pemenang

Aku sangat-sangat-sangat menyukai kisah ini baik versi novel maupun film, dan aku juga dibuat menangis oleh kedua media, jadi hasilnya lagi-lagi .... SERI!

3. Miss Peregrine's Home for Peculiar Children Vs. Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016)

A. Perbedaan

It's julid time!!! Kalau kalian ingin melihatku menjulid novel ini lebih jelas, silakan cek Miss Peregrine's Home For Peculiar Children.

Normalnya di setiap film adaptasi novel, pemirsa lebih sering dikecewakan oleh film, sebab terkadang apa yang disajikan film tidak sesuai dengan ekspektasi versi novel. Entah dari sisi cerita, pemilihan pemeran, atau hal-hal tertentu pada versi novel yang dihilangkan dalam film. Namun, kasus Miss Peregrine berbeda. Ada perubahan sangat besar dari sisi daleman cerita, anehnya itu bukan sesuatu yang buruk sama sekali.

Percayalah, versi novel Miss Peregrine sangat unik. Penulis berusaha membuat sebuah cerita atau latar belakang dari foto-foto era doeloe yang memang terlihat aneh dan misterius. Namun, eskekusinya SAMPAH! Oke, mungkin itu terlalu jahat, tapi eksekusinya sangat-sangat brekele. Bayangkan, potensi untuk membuat kisah fantasi-misteri-thriller disia-siakan dengan romance cinta-cintaan ala anak SD!

Masalah utama dari versi novel adalah tokoh utama (Jacob) yang Gary Stu, tapi beban dan gak guna sama sekali, udah gitu bucin, klemar-klemer, tapi dipuji-puji mulu sama anak asrama lain. I hate that boi so much! Tujuan cerita ini sendiri semu banget. Di novel pertama aja cuma romansa antara Abe (kakek Jacob) dan Emma yang dilanjutkan oleh Jacob. Pacar kok lungsuran eaaa.

Sebenarnya itu bisa jadi konflik yang UwU, berpotensi bikin mewek malahan. Tapi karena penulis juga menjanjikan misteri dan fantasi, dengan segala kemampuan khusus para penghuni asrama, serta monster semacam Slenderman, rasanya sayang kalau unsur sebagus itu disia-siakan dengan romance brekele. 

How evah, versi film dirombak drastis dari plot, konflik, penyelesaian, penokohan dan usia para tokoh, bahkan kemampuan khusus mereka. Terutama kemampuan Emma dan Olive ditukar yang tadinya Emma-Api sementara Olive-angin, jadi kebalikannya. Secara teknis versi film cuma mengambil unsur-unsur paling luar dari novel. Jujur saja, itu keputusan yang SANGAT BAGUS!

Thank you Tim Burton! Untuk pertama kali aku menghargai perubahan drastis dari film adaptasi novel, sebab kalau benar-benar menurut pada novel, film ini akan sama ancurnya. Jacob versi film sangat menyayangi kakeknya (Abe) sehingga ketika sang kakek meninggal misterius, dia pergi ke asrama tempat belio pernah tinggal dulu. Dari sini kelihatan kalau hubungan antar Jacob dan Abe memang sedekat itu, hal yang tidak kita temukan di versi novel.

Latar belakang anak-anak di asrama dijabarkan dengan jelas. Mereka berkemampuan khusus, tetapi mereka bukan jagoan, lantaran selama ini mereka selalu dilindungi oleh Miss Paregrine. Dari situ kita pun tahu, peran Jacob di asrama itu adalah mendorong keberenian dari masing-masing anak, agar mereka bisa membela diri, hal yang tidak dijelaskan dalam novel!

Sebenarnya Jacob versi film, yang diperankan Asa Butterfield (love him btw) juga bukan anak yang benar-benar jagoan. Dia sendiri mengaku bahwa dia tidak seperti Abe yang seorang tentara. Namun, dia juga pembuat strategi yang baik, itu berkat ajaran sang kakek semasa hidup. Jacob versi film tidak useless! Begitupun dengan anak-anak asrama yang lain, meski tokoh dalam kisah ini sangat banyak, semuanya memiliki porsi peran yang pas. Bukan sekadar tempelan.

Semua anak berkesempatan menunjukkan personality, kemampuan khusus, juga kemistri satu sama lain. Yang paling aku sukai dari versi film adalah ending-nya. Jacob versi novel tanpa ba-bi-bu langsong meninggalkan keluarganya demi bisa tinggal bersama Emma. Padahal tidak pernah disebutkan kalau keluarga Jacob toxic atau semacamnya. Keluarga besar Jacob bahkan membuat pesta kejutan di hari ulang tahunnya, tapi anak brekele ini mencampakkan mereka semua demi ciwi?

Heel, nah!

Nah, di versi film, meskipun jelas Jacob mencintai Emma, dia terang-terangan menolak untuk tinggal karena dia masih punya keluarga dan kehidupan. Memang, pada akhirnya dia tetap menyusul Emma ke masa lalu, tapi setidaknya dia kembali dulu pada keluarganya untuk mengucapkan perpisahan, juga meminta restu. Bukannya mencampakkan tiba-tiba, gak ada ujan-gak ada angin demi ciwi!

Novel Miss Peregrine memiliki total 6 seri, tapi aku hanya membaca dua akibat tidak sanggup. Film adaptasinya pun cuma dibuat satu, dan rasanya memang tidak membutuhkan sequel, karena ending seperti itulah yang paling baik. Intinya, baru kali ini aku menemukan film adaptasi yang jauh-jauh-jauh lebih aduhai daripada versi original novelnya.

Dan aku rekomendasikan pada kalian untuk langusng saja nonton filmnya, daripada kesel sama kelakuan Jacob yang brekele di versi novel.

B. Kelebihan dan Kekurangan Film

(+) Lebih menggali isi cerita, mulai dari konflik, plot, serta penokohan.

(+) Setiap tokoh memiliki peran yang jelas dan dengan porsi sama rata.

(+) Penokohan lebih masuk akal dan likeable.

(+) Suasana film khas Tim Burton yang enak dipandang.

(-) Durasi kurang lama (wow, objektif sekali!)

C. Pemenang

Kalau dilihat dari komentarku sepanjang segmen, kalian bisa menebak siapa pemenangnya, 'kan? versi FILM lah pemenangnya!!!


Nah, mungkin segitu dulu perbandingan antara novel dan film ini. Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin aku bandingkan, tapi takut postingan ini jadi sepanjang jalan kenangan. Mungkin akan ada part dua jadi jangan sampai ketinggalan!

Oh, aku merekomendasikan setiap karya yang tercantum dalam postingan ini, baik novel ataupun film. Barang kali bisa menambah referensi kalian dalam berkarya!

Nah, sampai jumpa di pertemuan berikutnya ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Ily

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Omen #1

Peter Pan

Laut Bercerita