Teka-Teki Terakhir
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786020302980
Tebal : 256 Halaman
Blurb :
Dia tidak pernah menyangka kenyataan tentang mereka lebih misterius daripada yang digosipkan. Di balik pintu rumah putih di Jalan Eddington, ada sekumpulan teka-teki logika, paradoks membingungkan tentang tukang cukur, dan obsesi terhadap pernyataan matematika yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga abad. Terlebih lagi, Laura tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari semua itu.
Tahun 1992, Laura berusia dua belas tahun, dan teka-teki terakhir mengubah hidupnya selamanya...
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Rekomendasi Sejak Zaman Edo
Kalian pasti pernah berperilaku brekele setidaknya sekali dalam sehari sepanjang hidup di dunia. Nah, untuk Impy pribadi perilaku brekele bisa terjadi setiap satu detik sekali tergantung seberapa cepat kinerja otak berukuran sedang ini. Salah satu hal brekele tersebut adalah mengaku cinca genre Middle Grade setengah mati, tapi setelah dikasih rekomendasi novel Middle Grade kece malah kagak dibaca-baca sampe bulan jadi dua!Nah, begitulah nasib buku Teka-teki Terakhir ini. Kalau tidak salah, Sodari Namina juga yang merekomendasikan novel ini kepadaku di Goodreads (Isn’t she the best?). Aku pun berterima kasih dan langsung menaruhnya di daftar ‘Ingin Baca’ di Gudrids. Percepat dua tahun kemudian barulah rencana itu kesampaian (bruuh).
Kalau dilihat dari segi sampul cukup menarik, gambar bertema kartun yang hampir serupa tipikal buku dongeng anak. Ilustrasi yang juga cocok dengan blurb, plus perpaduan warna yang enak dipandang, serta font minimalis tapi terkesan penuh karena ukurannya segede gaban! Aku juga bertinyi-tinyi apakah itu font jenis baru yang dibuat supaya cocok dengan tema yang diusung?
Teruama di kata ‘Teka-teki’, bisa kita lihat ada tanda panah juga angka-angka yang melambangkan matematika. Kalian tahu kenapa font-nya begitu? Karena buku ini mengangkat tema MATEMATIKA!!!
Neptune have mercy! Aku pikir sudah terbebas dari hal brekele itu semenjak lulus SMA, dan sekarang aku harus bertemu lagi dengan matematika di novel Middle Grade? Thanks A LOT, Annisa Ihsani!
Nah, daripada melanjutkan marah-marah, marilah kita tengok seberapa aduhainya novel Middle Grade bertema matematika ini. Hmm ... sebenarnya aku berpikir kata ‘matematika’ dan ‘Middle Grade’ tidak seharusnya ada dalam satu kalimat, tapi mari kesampingkan dulu segala praduga dan mulai membaca!
B. Plot
Kita berkenalan dengan seorang anak berusia 12 tahun bernama Laura, dan segala kesulitannya menghadapi masa SMP. Dia tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain, guru-guru memberi terlalu banyak PR, lebih parah lagi dia baru saja mendapatkan nilai NOL pada kuis matematika! Laura bingung setengah mati, kalau nilai matematikanya tak kunjung naik, guru akan memanggil sang ibu ke sekolah, dan itu ibarat dosa yang tak termaafkan!Laura memutuskan untuk tidak memberitahu nilai nol itu kepada sang ibu, dan membuangnya ke tong sampah. Sial bagi Laura, dia tanpa sadar malah membuang kertas itu ke tong sampah khusus pelastik milik Keluarga Maxwell. Sebelum itu, kita semua harus tahu bahwa keluarga Maxwell merupakan pasangan suami istri yang misterius. Mereka jarang terlihat dan jarang bersosialisasi sehingga banyak gosip-gosip negatif tentang mereka.
Tuan Maxwell pun menegur Laura suatu hari, anehnya dia tidak terlalu marah pada Laura, dia hanya memberi nasehat bahkan meminjamkan buku berjudul Nol : Asal-usul dan Perjalanannya. Buku yang juga membuat Laura mulai tertarik pada matematika, dan mengubah pandangan tentang keluarga Maxwell selamanya.
Jujur saja, awalnya aku bingung untuk siapa novel ini ditargetkan. Melihat dari usia tokoh utama berserta konflik kehidupannya, jelas novel ini ditujukan untuk anak-anak berusia 10-15 tahun (alias Middle Grade). Namun, tema utama novel ini adalah matematika murni yang mungkin hanya bisa dinikmati anak-anak kuliahan dengan jurusan matematika, atau orang-orang dewasa yang tertarik pada matematika.
Percayalah SANGAT JARANG SEKALI anak-anak berusia 10-15 tahun terang-terangan mengaku cinta matematika. Bahkan, aku tidak pernah menemukan satu orang pun selama 12 tahun sekolah yang cinta matematika, kalau yang bilang benci sih banyak. Ekhem ... barang kali itu sekolahku saja yang brekele. ANYWAYS!
Kemudian aku coba melihat dari sisi lain. Novel ini juga mengangkat tema persahabatan, dampak dari ambisi berlebihan, pengikhlasan, bahkan ada isu-isu serius seperti seksisme dan kesehatan mental. Semua tema itu dilihat dan dijabarkan lewat sudut pandang matematika serta logika. Jadi, rasanya semua orang bisa menikmati novel ini kalau bisa memilah-milah mana yang ingin dinikmati.
Untungnya, novel ini mengambil sudut pandang orang pertama lewat Laura sehingga segala hal yang terjadi dalam novel memang gambaran dari kaca mata Laura. Bisa kita lihat, Laura memang lemah dalam matematika, tapi dia tidak pernah bilang membenci matematika. Di sisi lain, rasa ingin tahunya begitu besar, ditambah dia mungkin memang ada bakat genius sehingga bisa cepat mengerti apa yang Tuan Maxwell ajarkan kepadanya.
Sumpeh, ya! Setiap kali Tuan Maxwell menjelaskan tentang matematika murni, laura bakal bilang. “Wow, seru sekali!” atau “Wow sederhana sekali.”
Sementara aku di depan HP plonga-plongo. Where, Laura? Where is the ‘sederhana’ and ‘seru’ part?
Aku sampai membaca penjelasan matematika murni itu berulang kali, berharap mendapat pencerahan. Setelah baca ulang untuk keempat kali aku pun menyerah, bertanya-tanya ini gue yang bodo, atau Laura yang Genius?
Jawabannya jelas yang kedua karena AKU TIDAK BODO, aku jelas sama geniusnya seperti Laura. Hanya saja di bidang julid (Digaplok duit).
Teka-teki Terakhir. Itu judul yang bisa dibilang tepat, sebab konflik utamanya memang tentang Tuan Maxwell yang berambisi membuktikan Teori Terakir Fermat (Makhluk apa itu?). Di sisi lain, aku rada kiciwa kenapa konfliknya seperti itu. Padahal, aku lebih mengharapkan cerita semodel rombongan detektif cilik tentang membuktikan siapa Keluarga Maxwell sebenarnya.
Di bayanganku, Laura dan teman-temannya akan menyelidiki keanehan itu bersama, di sisi lain Tuan dan Nyonya Maxwell sering meninggalkan teka-teki untuk mereka pecahkan. Sampai akhirnya teka-teki terakhir mengungkap siapa sebenarnya Keluarga Maxwell yang misterius. Well ... ternyata KAGAK!
Pembuktian bahwa Keluarga Maxwell tidak seaneh yang orang-orang bilang terjadi sangat cepat, dan hanya Laura yang memiliki peran dalam pembuktian itu. Mungkin itu juga yang menjadi masalahku dari novel ini. Minimnya adegan UwU antar anak-anak yang biasanya aku temukan di novel Middle Grade sehingga tidak ada tokoh-tokoh yang begitu menarik perhatianku selain Laura.
Kalau mau dibandingkan, novel ini memiliki secuil kemiripan dengan The Secret Garden. Tentang anak perempuan yang serba ingin tahu, dan melihat dunia lewat sudut pandangnya sendiri. Nah, pada novel The Secret Garden kemistri antar tokoh benar-benar terasa. Aku peduli saat mereka bertengkar, saat mereka menghadapi masalah, saat mereka mengalami hal-hal tak terduga, karena aku diajak mengenal mereka serta hubungan mereka dengan baik sejak awal.
Jangan salah ... novel ini juga memiliki momen UwU. Aku paling suka kalau Nyonya Maxwell sudah berinteraksi dengan Laura, atau saat Laura bertengkar dengan Katie sampai akhirnya berbaikan kembali. Namun, rasanya kurang nendank karena Laura selalu sibuk dengan pemikirannya sendiri tanpa benar-benar mengajak orang lain bersosialisasi.
Tapi di balik semua itu, kalau mengikuti kemauanku yang KAGAK BAKAL ADA HABISNYA, novel ini akan jadi mainstream. Memuaskan, tapi mainstream. Sedangkan harus aku akui novel ini sangat unik.
Mengangkat tema matematika murni dan teori-teori yang memainkan logika? Itu sangat menarik. Meskipun aku yakin banyak orang yang melewatkan segala penjelasan tentang matematika itu, kerana udah puyeng duluan!
Begitulah ... novel ini jelas menarik, unik, lain dari yang lain. Namun, aku tidak melihat apa gunanya menjelaskan secara detail tentang matematika murni. Ya, memang itu bagus untuk penokohan, serta filosofi-filosofi yang diusung. Tapi sekali lagi ... rasanya tidak ada yang akan menikmati informasi tersebut selain orang-orang yang memang tertarik pada matematika.
Sayang beribu sayang, jumlah orang yang menyukai matematika di dunia ini adalah minoritas. Jelas aku tidak termasuk, h3h3 ....
Teka-teki Terakhir. Itu judul yang bisa dibilang tepat, sebab konflik utamanya memang tentang Tuan Maxwell yang berambisi membuktikan Teori Terakir Fermat (Makhluk apa itu?). Di sisi lain, aku rada kiciwa kenapa konfliknya seperti itu. Padahal, aku lebih mengharapkan cerita semodel rombongan detektif cilik tentang membuktikan siapa Keluarga Maxwell sebenarnya.
Di bayanganku, Laura dan teman-temannya akan menyelidiki keanehan itu bersama, di sisi lain Tuan dan Nyonya Maxwell sering meninggalkan teka-teki untuk mereka pecahkan. Sampai akhirnya teka-teki terakhir mengungkap siapa sebenarnya Keluarga Maxwell yang misterius. Well ... ternyata KAGAK!
Pembuktian bahwa Keluarga Maxwell tidak seaneh yang orang-orang bilang terjadi sangat cepat, dan hanya Laura yang memiliki peran dalam pembuktian itu. Mungkin itu juga yang menjadi masalahku dari novel ini. Minimnya adegan UwU antar anak-anak yang biasanya aku temukan di novel Middle Grade sehingga tidak ada tokoh-tokoh yang begitu menarik perhatianku selain Laura.
Kalau mau dibandingkan, novel ini memiliki secuil kemiripan dengan The Secret Garden. Tentang anak perempuan yang serba ingin tahu, dan melihat dunia lewat sudut pandangnya sendiri. Nah, pada novel The Secret Garden kemistri antar tokoh benar-benar terasa. Aku peduli saat mereka bertengkar, saat mereka menghadapi masalah, saat mereka mengalami hal-hal tak terduga, karena aku diajak mengenal mereka serta hubungan mereka dengan baik sejak awal.
Jangan salah ... novel ini juga memiliki momen UwU. Aku paling suka kalau Nyonya Maxwell sudah berinteraksi dengan Laura, atau saat Laura bertengkar dengan Katie sampai akhirnya berbaikan kembali. Namun, rasanya kurang nendank karena Laura selalu sibuk dengan pemikirannya sendiri tanpa benar-benar mengajak orang lain bersosialisasi.
Tapi di balik semua itu, kalau mengikuti kemauanku yang KAGAK BAKAL ADA HABISNYA, novel ini akan jadi mainstream. Memuaskan, tapi mainstream. Sedangkan harus aku akui novel ini sangat unik.
Mengangkat tema matematika murni dan teori-teori yang memainkan logika? Itu sangat menarik. Meskipun aku yakin banyak orang yang melewatkan segala penjelasan tentang matematika itu, kerana udah puyeng duluan!
Begitulah ... novel ini jelas menarik, unik, lain dari yang lain. Namun, aku tidak melihat apa gunanya menjelaskan secara detail tentang matematika murni. Ya, memang itu bagus untuk penokohan, serta filosofi-filosofi yang diusung. Tapi sekali lagi ... rasanya tidak ada yang akan menikmati informasi tersebut selain orang-orang yang memang tertarik pada matematika.
Sayang beribu sayang, jumlah orang yang menyukai matematika di dunia ini adalah minoritas. Jelas aku tidak termasuk, h3h3 ....
C. Penokohan
Laura. Anak perempuan berusia 12 tahun yang selalu ingin belajar, hobi membaca, tapi tidak pandai bersosialisasi. Aku suka dia, karena aku bisa relate dengannya, di bagian tidak pandai bersosialisasi doang sih, h3h3 ....Meskipun mengambil sudut pandang orang pertama, Laura tidak pernah menjabarkan bagaimana sifatnya, tapi kita tahu bagaimana sifatnya dari perilakunya sepanjang cerita. Itu cara menulis penokohan yang sempurna.
Terkadang dia memiliki sifat jelek juga, misalnya secuil sindrom Not Like Other Gorl di satu adegan. Namun, itu bisa dijustifikasi karena dia baru berusia 13. Ayolah! Di usia segitu memang fase di mana semua orang memiliki internelize misogony, dan untungnya itu bukan sifatnya yang ditonjolkan sepanjang novel.
Tuan Maxwell. Tipikal kakek-kakek penggerutu yang ternyata cukup baik di hadapan anak-anak. Meskipun, tergantung bagaimana sifat dan sikap anak-anaknya juga. Tuan Maxwell jelas menyukai Laura karena anak itu juga punya minat terhadap matematika. Coba kalian bayangkan kalau aku yang bertamu ke rumahnya. Barang kali aku sudah diusir gegara plonga-plongo doang saat dijelaskan tentang aljabar.
Tuan Maxwell juga mencerminkan dampak dari ambisi berlebihan, dan pesan itu tersampaikan dengan sangat baik. Tidak terang-terangan, tapi kita sebagai pembaca bisa memahaminya dengan jelas. Bahwa ambisi bisa jadi hal yang hebat, tapi juga bisa menjadi sumber dari berbagai masalah.
Nyonya Maxwell. Kebalikan dari sang suami, Nyonya Maxwell tidak begitu menekuni matematika padahal dia juga seorang ahli. Alih-alih, Nyonya Maxwell lebih senang memasak dan berkebun seperti nenek idaman seharusnya. Namun, ada misteri kecil yang disembunyikan Nyonya Maxwell dari semua orang, dan itu menyangkut masa lalunya.
Ada satu pengembangan karakter Nyonya Maxwell yang menurutku kurang digali. Padahal kalau digali lebih dalam bisa menjadi sub-konflik yang UwU, yaitu tentang ambisi Tuan Maxwell dan pernikahan mereka. Sayangnya, lagi-lagi novel ini tidak berjalan sesuai kemauanku, tapi tetap menarik karena membuat novel ini berbeda dari yang lain.
Julius. Pembantu keluarga Maxwell. Kehadirannya cukup mengejutkan, sebab dia baru hadir di pertengahan novel dan memaksa jadi tokoh penting. Biasanya aku kurang suka tipe penokohan seperti itu, tapi di novel ini kehadiran Julius tidak terlalu mengganggu dan bisa dibilang penyegaran.
Jack. Kakak Laura yang sifatnya acuh tak acuh. Laura sering bilang kalau kakaknya sangat pintar, juga tertarik pada segala hal berbau luar angkasa. Ya ... Jack tidak terlalu berperan banyak, sekali lagi itu membuatku kiciwa karena aku sangat suka kekompakan kakak-beradik dalam novel Middle Grade!
Katie. Sahabat Laura yang cinta melukis. Aku membuat satu catatan yang mengatakan kalau sifat Katie menyebalkan dan tidak layak dijadikan sahabat. Namun, pikiranku berubah setelah melihat bagaimana dia membela Laura saat dijadikan bahan gosip. Setelah dilihat-lihat lagi, persahabatan mereka relate untuk anak-anak usia 12-13 tahun.
Masing-masing memiliki hobi yang berbeda, dan selalu ingin didengar tapi tidak mau mendengar. Tipikal anak-anak yang masih egois. Mereka pun bertengkar dan tidak bicara untuk waktu lama, tapi mereka juga cepat melupakan masalah dan akhirnya berbaikan lagi seolah tidak terjadi apa-apa.
Teorinya adalah, akibat sudah pernah membaca novel lain yang dialognya superior, maka dialog novel ini terkesan biasa-biasa saja, padahal dialog novel ini juga bagus. Kalian paham kagak teori genius di atas, haaa?
Tapi serius, dialog novel ini dieksekusi dengan baik dalam artian tidak kaku padahal menggunakan bahasa baku. Juga natural, dengan begitu saja dialog sebuah novel sudah aduhai di mataku. Ditambah lagi cara Tuan dan Nyonya Maxwell menjelaskan tetek-bengek matematika dan teori logika tersampaikan dengan baik. Tidak Wikipediah Vibe.
Aku bahkan bisa membacanya sampai empat atau lima kali meskipun tetap tidak mengerti apa pun, karena rangkaian kalimatnya memang tidak rumit. Mungkin benar kata Laura, Tuan dan Nyonya Maxwell bisa membuat penjelasan rumit menjadi sederhana dan seru. Hanya saja, pembahasan itu memang bukan bidangku sehingga sesederhana apa pun bagiku akan tetap sulit!
Namun, kembali lagi ke teoriku. Dialog-dialog dalam novel ini jadi terkesan biasa-biasa saja, tidak memorable, tidak berkesam, karena aku sudah membaca novel-novel lain yang dialognya lebih aduhai. Contohlah novel Resign kemarin, novel Teenlit era Golden Decade, dan tentu saja novel-novel Pacc Backman Mbla’em-mbla’em.
Bisakah untuk sekali saja aku TIDAK menyebut nama Pacc Backman?
Tidak bisa ....
Serius ... kalau kalian berencana membuat novel dengan POV1 dan suka gaya bahasa terjemahan, kalian harus membaca novel ini sebagai referensi. Tidak ada narasi yang membosankan, tidak ada self-insert yang memang menjadi kelemahan dari POV1, dan jelas tidak ada kebocoran POV alias ketidak-konsistenan.
Narasi di novel ini bisa membuat kita mengetahui sifat para tokoh lewat sudut pandang Laura, kita bahkan bisa tahu sifat Laura tanpa dia sendiri menjabarkannya secara terang-terangan. Berkat gaya bahasa yang barokah itu, segala sifat buruk Laura bisa dijustifikasi. Seperti tadi aku bilang dia bertingkah Not Like Other Gorl, tapi tidak apa-apa karena dia memang masih muda. Dia tidak tahu perilakunya berpengaruh buruk.
Atau saat Laura mengatakan kalau penjelasan matematika Tuan Maxwell sederhana dan asik. Kalau para pembaca tidak setuju dengan itu, ya tentu saja itu bukan salah Laura. LAURA yang bilang kalau penjelasan itu sederhana, sebab dia pintar dan cepat tanggap. Bayangkan kalau sudut pandang diganti POV3 atau tetap POV1 tapi narasinya brekele. Steatmen Laura jadi terkesan sok tahu, sebab tidak semua orang beranggapan begitu.
Sayangnya ... (yeee, katanya mau memuja-muji doang!) Aku rada terganggu dengan perpindahan adegan yang tidak mulus, alias banyak sekali menggunakan Loading Bintang Tiga (***). Sejujurnya, hal ini tidak terlalu menggangguku sebelumnya, tapi semua berubah ketika seorang RT dari sebuah kampung memberi petuah bahwa Loading Bintang Tiga adalah transisi yang brekele.
Setelah diperhatikan lagi, belio ada benarnya! Loading Bintang Tiga membuat transisi adegan terkesan malas dan tidak profesional. Itu juga menandakan bahwa penulis tidak mampu merangkai kalimat haqiqi untuk transisi yang padu. Dengan adanya sistem transisi seperti ini juga membuat novel terkesan buru-buru, terutama menjelang akhir.
Plot : 3
Penokohan : 3
Dialog : 3
Gaya Bahasa : 4
Total : 3,5 Bintang
Novel ini mengaku bisa mengubah sudut pandang orang terhadap matematika. Bahwa matematika itu sebenarnya seru dan asik, tapi jujur saja ... ITU TIDAK BERPENGARUH PADAKU! Matematika tetap dan akan selalu menjadi musuh bebuyutanku selamanya!
Di sisi lain, novel ini juga menjadi tanda bahwa aku tidak boleh mengabaikan rekomendasi dari Sodari Namina, sebab semua novel yang direkomendasikannya selalu bagus. Bahkan ketika Sodari Namina berpikir aku akan menjulid novel yang disarankan, pada akhirnya aku malah mencintai novel tersebut. (Baca : Labirin Sang Penyihir).
Kalau begitu novel ini akhirnya selesai, itu berarti satu hutangku juga berkurang pada Gudrids dan Sodari Namina, Tapi aku belum bisa bernapas lega karena MASIH BANYAK antrian novel yang harus kuselesaikan, jadi sebaiknya kalian para pembaca bersiap-siap. Awal Februari ini mungkin aku akan mengeluarkan review legendaris yang pastinya kalian tunggu-tunggu.
Apakah itu? Spoiler saja ... ada Minor-minornya gitu, xixixi ....
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Terkadang dia memiliki sifat jelek juga, misalnya secuil sindrom Not Like Other Gorl di satu adegan. Namun, itu bisa dijustifikasi karena dia baru berusia 13. Ayolah! Di usia segitu memang fase di mana semua orang memiliki internelize misogony, dan untungnya itu bukan sifatnya yang ditonjolkan sepanjang novel.
Tuan Maxwell. Tipikal kakek-kakek penggerutu yang ternyata cukup baik di hadapan anak-anak. Meskipun, tergantung bagaimana sifat dan sikap anak-anaknya juga. Tuan Maxwell jelas menyukai Laura karena anak itu juga punya minat terhadap matematika. Coba kalian bayangkan kalau aku yang bertamu ke rumahnya. Barang kali aku sudah diusir gegara plonga-plongo doang saat dijelaskan tentang aljabar.
Tuan Maxwell juga mencerminkan dampak dari ambisi berlebihan, dan pesan itu tersampaikan dengan sangat baik. Tidak terang-terangan, tapi kita sebagai pembaca bisa memahaminya dengan jelas. Bahwa ambisi bisa jadi hal yang hebat, tapi juga bisa menjadi sumber dari berbagai masalah.
Nyonya Maxwell. Kebalikan dari sang suami, Nyonya Maxwell tidak begitu menekuni matematika padahal dia juga seorang ahli. Alih-alih, Nyonya Maxwell lebih senang memasak dan berkebun seperti nenek idaman seharusnya. Namun, ada misteri kecil yang disembunyikan Nyonya Maxwell dari semua orang, dan itu menyangkut masa lalunya.
Ada satu pengembangan karakter Nyonya Maxwell yang menurutku kurang digali. Padahal kalau digali lebih dalam bisa menjadi sub-konflik yang UwU, yaitu tentang ambisi Tuan Maxwell dan pernikahan mereka. Sayangnya, lagi-lagi novel ini tidak berjalan sesuai kemauanku, tapi tetap menarik karena membuat novel ini berbeda dari yang lain.
Julius. Pembantu keluarga Maxwell. Kehadirannya cukup mengejutkan, sebab dia baru hadir di pertengahan novel dan memaksa jadi tokoh penting. Biasanya aku kurang suka tipe penokohan seperti itu, tapi di novel ini kehadiran Julius tidak terlalu mengganggu dan bisa dibilang penyegaran.
Jack. Kakak Laura yang sifatnya acuh tak acuh. Laura sering bilang kalau kakaknya sangat pintar, juga tertarik pada segala hal berbau luar angkasa. Ya ... Jack tidak terlalu berperan banyak, sekali lagi itu membuatku kiciwa karena aku sangat suka kekompakan kakak-beradik dalam novel Middle Grade!
Katie. Sahabat Laura yang cinta melukis. Aku membuat satu catatan yang mengatakan kalau sifat Katie menyebalkan dan tidak layak dijadikan sahabat. Namun, pikiranku berubah setelah melihat bagaimana dia membela Laura saat dijadikan bahan gosip. Setelah dilihat-lihat lagi, persahabatan mereka relate untuk anak-anak usia 12-13 tahun.
Masing-masing memiliki hobi yang berbeda, dan selalu ingin didengar tapi tidak mau mendengar. Tipikal anak-anak yang masih egois. Mereka pun bertengkar dan tidak bicara untuk waktu lama, tapi mereka juga cepat melupakan masalah dan akhirnya berbaikan lagi seolah tidak terjadi apa-apa.
D. Dialog.
Aku punya teori untuk menggambarkan dialog-dialog novel ini. Gegara abis baca novel dengan tema genius, review novelnya juga harus ada geniusnya dikit yekan, h3h3 ....Teorinya adalah, akibat sudah pernah membaca novel lain yang dialognya superior, maka dialog novel ini terkesan biasa-biasa saja, padahal dialog novel ini juga bagus. Kalian paham kagak teori genius di atas, haaa?
Tapi serius, dialog novel ini dieksekusi dengan baik dalam artian tidak kaku padahal menggunakan bahasa baku. Juga natural, dengan begitu saja dialog sebuah novel sudah aduhai di mataku. Ditambah lagi cara Tuan dan Nyonya Maxwell menjelaskan tetek-bengek matematika dan teori logika tersampaikan dengan baik. Tidak Wikipediah Vibe.
Aku bahkan bisa membacanya sampai empat atau lima kali meskipun tetap tidak mengerti apa pun, karena rangkaian kalimatnya memang tidak rumit. Mungkin benar kata Laura, Tuan dan Nyonya Maxwell bisa membuat penjelasan rumit menjadi sederhana dan seru. Hanya saja, pembahasan itu memang bukan bidangku sehingga sesederhana apa pun bagiku akan tetap sulit!
Namun, kembali lagi ke teoriku. Dialog-dialog dalam novel ini jadi terkesan biasa-biasa saja, tidak memorable, tidak berkesam, karena aku sudah membaca novel-novel lain yang dialognya lebih aduhai. Contohlah novel Resign kemarin, novel Teenlit era Golden Decade, dan tentu saja novel-novel Pacc Backman Mbla’em-mbla’em.
Bisakah untuk sekali saja aku TIDAK menyebut nama Pacc Backman?
Tidak bisa ....
E. Gaya Bahasa
Rasanya dari tadi reaksiku natural-natural saja, dalam artian tidak terlalu julid maupun terlalu memuja-muji. Nah, untuk segmen ini aku akan melakukan salah satu diantaranya. Memuja-muji betapa bagusnya gaya bahasa novel ini!Serius ... kalau kalian berencana membuat novel dengan POV1 dan suka gaya bahasa terjemahan, kalian harus membaca novel ini sebagai referensi. Tidak ada narasi yang membosankan, tidak ada self-insert yang memang menjadi kelemahan dari POV1, dan jelas tidak ada kebocoran POV alias ketidak-konsistenan.
Narasi di novel ini bisa membuat kita mengetahui sifat para tokoh lewat sudut pandang Laura, kita bahkan bisa tahu sifat Laura tanpa dia sendiri menjabarkannya secara terang-terangan. Berkat gaya bahasa yang barokah itu, segala sifat buruk Laura bisa dijustifikasi. Seperti tadi aku bilang dia bertingkah Not Like Other Gorl, tapi tidak apa-apa karena dia memang masih muda. Dia tidak tahu perilakunya berpengaruh buruk.
Atau saat Laura mengatakan kalau penjelasan matematika Tuan Maxwell sederhana dan asik. Kalau para pembaca tidak setuju dengan itu, ya tentu saja itu bukan salah Laura. LAURA yang bilang kalau penjelasan itu sederhana, sebab dia pintar dan cepat tanggap. Bayangkan kalau sudut pandang diganti POV3 atau tetap POV1 tapi narasinya brekele. Steatmen Laura jadi terkesan sok tahu, sebab tidak semua orang beranggapan begitu.
Sayangnya ... (yeee, katanya mau memuja-muji doang!) Aku rada terganggu dengan perpindahan adegan yang tidak mulus, alias banyak sekali menggunakan Loading Bintang Tiga (***). Sejujurnya, hal ini tidak terlalu menggangguku sebelumnya, tapi semua berubah ketika seorang RT dari sebuah kampung memberi petuah bahwa Loading Bintang Tiga adalah transisi yang brekele.
Setelah diperhatikan lagi, belio ada benarnya! Loading Bintang Tiga membuat transisi adegan terkesan malas dan tidak profesional. Itu juga menandakan bahwa penulis tidak mampu merangkai kalimat haqiqi untuk transisi yang padu. Dengan adanya sistem transisi seperti ini juga membuat novel terkesan buru-buru, terutama menjelang akhir.
F. Penilaian
Cover : 3,5Plot : 3
Penokohan : 3
Dialog : 3
Gaya Bahasa : 4
Total : 3,5 Bintang
G. Penutup
Novel ini jelas unik, anti mainstream, lain daripada yang lain. Novel ini juga tergolong genius tanpa mencoba terlalu keras, dalam artian tidak dipaksakan menjadi genius. Kegeniusan novel ini bisa dilihat dari cara tokoh utama melihat serta memahami sekelilingnya. Ditambah gaya bahasa dan dialog ala terjemahan, aku sangat menikmati novel ini. Bahkan bisa membacanya dalam sekali duduk.Novel ini mengaku bisa mengubah sudut pandang orang terhadap matematika. Bahwa matematika itu sebenarnya seru dan asik, tapi jujur saja ... ITU TIDAK BERPENGARUH PADAKU! Matematika tetap dan akan selalu menjadi musuh bebuyutanku selamanya!
Di sisi lain, novel ini juga menjadi tanda bahwa aku tidak boleh mengabaikan rekomendasi dari Sodari Namina, sebab semua novel yang direkomendasikannya selalu bagus. Bahkan ketika Sodari Namina berpikir aku akan menjulid novel yang disarankan, pada akhirnya aku malah mencintai novel tersebut. (Baca : Labirin Sang Penyihir).
Kalau begitu novel ini akhirnya selesai, itu berarti satu hutangku juga berkurang pada Gudrids dan Sodari Namina, Tapi aku belum bisa bernapas lega karena MASIH BANYAK antrian novel yang harus kuselesaikan, jadi sebaiknya kalian para pembaca bersiap-siap. Awal Februari ini mungkin aku akan mengeluarkan review legendaris yang pastinya kalian tunggu-tunggu.
Apakah itu? Spoiler saja ... ada Minor-minornya gitu, xixixi ....
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Comments
Post a Comment