The Secret Garden
Penulis : Frances Hodgson Burnett
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9789792254907
Tebal : 320 Halaman
Blurb :
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9789792254907
Tebal : 320 Halaman
Blurb :
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Nemu Harta Karun
Kalau kalian perhatikan, beberapa minggu belakangan ini aku membaca novel-novel yang boleh dikatakan brekele sehingga review yang dihasilkan pun ikut julid. Aku tahu kalian para pembaca lebih menyukai review seperti itu, tapi aku tidak bisa terus menyiksa diri nonstop seumur hidup! Untuk itu, marilah berpaling sejenak dari jalan ke-brekele-an, dan membaca novel Klasik-Middle Grade-Terjemahan, berjudul The Secret Garden.Aku menemukan novel ini ketika berjalan-jalan di Gudrid. Pihak Gudrid sepertinya tahu betul novel seperti apa yang menjadi favoritku. Makanya, tanpa basa-basi aku langsung membacanya di Gugel Book. Aku dapat edisi tahun 2010 yang sampulnya sudah diperbarui seperti ini, padahal kalau boleh memilih aku lebih suka sampul terbitan pertamanya. Tapi apa boleh baut, yang terpenting pastilah isi dari novel itu sendiri.
Baiklah, mari kita bersenang-senang di The Secret Garden bersama Mary, Dickon, dan Colin
B. Plot
Kita berkenalan dengan seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun bernama Mary. Anak yang digambarkan ‘tidak menarik’ oleh semua orang. Gemar memerintah, sombong, dan bertingkah semaunya. Mary berperangai seperti itu akibat selalu dituruti dan dimanja, bahkan sarung tangan pun harus dipakaikan oleh pelayan. Suatu hari, wabah kolera menyerang India—tempat Mary dibesarkan. Banyak orang meninggal, dan yang masih hidup buru-buru keluar dari negara itu. Sayangnya ... tidak ada yang mengingat Mary sama sekali.THIS IS SO SAD! Bayangkan anak sekecil Mary bangun suatu hari dan menyadari rumahnya sepi. Semua orang sudah minggat, tapi mereka melupakan Mary. My little heart cannot take this!
Akhirnya Mary ditemukan oleh dua orang pria yang membawanya ke penampungan. Karena Mary tergolong orang kaya, hidup di penampungan tidak terlalu sulit, kecuali perilaku buruk anak-anak seusianya yang menyebut anak itu ‘Mistress Mary yang Galak’. Untungnya, Mary tidak terlalu terpengaruh, dia memilih untuk menyendiri daripada bergaul dengan anak-anak jahat itu. Mary sudah biasa sendirian.
Akhirnya, Mary dipindahkan ke rumah Pamannya. Archibald Craven si Pemilik manor besar menyeramkan, disertai hamparan tanah sangat luas yang awalnya membuat Mary sedikit ketakutan, padahal dia bukan anak penakut. Saking besarnya manor itu, para penghuninya hampir tidak pernah berpapasan satu sama lain, tapi Mary mempunyai satu pelayan yang dekat dengannya bernama Martha.
Dari situlah Mary mulai melihat dunia dengan cara berbeda. Martha menceritakan kehidupannya yang sederhana, tapi bahagia. Dia memiliki sebelas saudara, semuanya sehat. Dia memiliki ibu yang sempurna. Rumahnya selalu ramai oleh canda-tawa. Pokoknya, segala hal yang tidak dimiliki Mary. Anak itu paling tertarik dengan ibu Martha, serta adik laki-lakinya yang bernama Dickon. Mary tentunya penasaran dengan orang yang bisa ‘bicara’ dengan hewan, dan bisa menumbuhkan tanaman apa pun di tanah.
Di sisi lain, rasa bosan dan kesepian membuat Mary jadi gemar berkeliling taman. Dia bertemu tukang kebun berwajah masam bernama Ben Weatherstaff juga si burung Robin. Dengan bantuan burung Robin-lah Mary menemukan taman rahasia. Taman yang sangat indah, tapi nyaris mati, dan Mary bertekad ingin merawatnya kembali.
Oh, novel ini memiliki semua yang aku sukai dalam genre Middle Grade. Kepolosan anak-anak, dialog dan interaksi UwU, narasi-narasi puitis yang tidak bikin bosan. SEMUANYA!
Melihat perkembangan Mary dari anak ngeselin bin tampolable, jadi anak manis penuh sopan santun juga menyenangkan. Perubahan yang dialami Mary pun tidak tiba-tiba, tapi memang dipengaruhi oleh berbagai hal yang masuk akal. Kisah-kisah Martha mungkin yang paling berpengaruh.
Ketika akhirnya Mary bertemu Dickon ... O-Em-Ji! SO FREAKIN UwU!
Martha selalu bilang kalau Dickon disukai semua orang, hewan, bahkan tumbuhan, karena dia anak yang menyenangkan. Itu adalah fakta! Dari tingkah, cara bicara, narasi yang menggambrakan dirinya benar-benar layak untuk disukai. I love that boi so much! Kehadirannya memang pantas untuk kita nantikan.
Kalau tadinya Mary hanya berubah sedikit, setelah bertemu Dickon dia berubah 180 derajat menjadi anak yang menyenangkan. Ke-UwU-an tidak hanya sampai di situ. Cerita semakin baik lagi ketika Mary tanpa sengaja bertemu sepupunya, Colin. Anak misterius, memiliki tubuh seperti lilin yang bisa mati kapan saja. Semua orang berkata Colin tidak akan bertahan sampai dewasa, dan dia mempercayai itu sepenuh hati. Padahal, Colin sebenarnya sangat sehat, dia cuma ‘tidak hidup’.
Colin sering mengamuk tanpa sebab, dan tidak ada yang berani menenangkannya. Semua orang di manor itu membiarkan Colin mengamuk sampai berhenti sendiri. Nah, semua berubah ketika dia bertemu Mary. Saat anak keras kepala dan galak berhadapan dengan anak keras kepala dan galak yang lain, keduanya malah saling mengerti.
Pokoknya Bab 17 aku tandai sebagai Bab terbaik di seluruh buku, karena aku membacanya sampai tiga kali.
This book is perfect! Kenapa juga aku baru membacanya sekarang!
Buku ini juga mengandung petuah-petuah yang tersirat. Kebanyakan sih tentang ‘sihir’ dan ‘kepercayaan’ yang pasti berhubungan dengan agama. Ada juga kesetaraan ras, juga betapa pentingnya saling menghormati, berkata ‘tolong’ dan ‘terima kasih’, serta jangan menganggap siapa pun lebih rendah bahkan hewan dan tumbuhan.
I will say it again. This book is perfect! Go read it!
C. Penokohan
Pertama, izinkan aku untuk bilang kalau perkembangan SELURUH tokoh pada buku ini sangat perfekto, dan tidak terburu-buru sehingga aku menyayangi mereka semua, bahkan aku menyayangi tokoh figuran yang sekadar numpang lewat. Baiklah, sekian ....Mary. Aku hampir menyerah baca novel ini pada bab awal, karena si Mary benar-benar anak kurang ajar, tukang merendahkan orang. Dia menganggap orang pribumi di India sebagai budak, dan menjelek-jelekkan mereka. Aku tahu dia masih anak-anak, dan dia jadi begitu pasti akibat ajaran orang tuanya yang juga brekele (dan penjajah negara orang). Tapi, hey! Dia sangat unlikeable, bikin aku pengen tinju mukanya saat itu juga!
Namun, semua berubah ketika Mary mulai tinggal di Manor besar itu. Bertemu Martha dengan aksen Yorkshire-nya, juga kisah kehidupan, serta adik-adiknya yang membuat Mary untuk pertama kalinya merasa kesepian, dan ingin sekali punya teman. Bermain di kebun-kebun luas pun membuat kepribadian Mary ikut berubah perlahan.
Dickon. He is a sweetheart. Kita hanya akan mendengar Dickon dari cerita Martha selama bab awal, lantas bukan hanya Mary yang dibuat penasaran, tapi kita sebagai pembaca juga. Begitu akhirnya Dickon muncul, kita pun ikut merasa senang seperti Mary. Apa lagi sifat dan sikap Dickon benar-benar menyenangkan seperti cerita Martha selama ini.
Selain penjabaran narasi tindak-tanduk Dickon yang asyik, dialog-dialog bocah satu ini juga memiliki ciri khas. Selalu berapi-api, cerdas, dan bersemangat. Seperti Mary, perasaan kita juga ikut sedih saat harus berpisah dengan Dickon. Apa lagi, anak itu tidak muncul sampai beberapa bab ke depan.
Tapi tenang, novel ini tidak pernah terang-terangan mengatakan “Kalian pasti sudah merindukan nama Dickon disebut dalam novel ini ....” (Memang bermaksud menyindir novel lain).
Colin. Sifatnya hampir mirip dengan Mary, suka memandang rendah orang, tukang perintah, dan keras kepala. Mungkin karena dia juga selalu dituruti segala kemauannya. Namun, tidak seperti Mary yang selalu mencari tahu segala hal, Colin justru membenci segala hal. Dia benci orang-orang, benci udara luar, benci bunga-bunga. Sebab dia selalu percaya semua itu membuatnya sakit dan mati, sementara dia tidak mau mati.
Terlalu banyak rumor yang mengatakan bahwa Colin akan mati muda, sampai akhirnya Colin sendiri mempercayai hal itu. Namun, sikap itu berubah setelah Mary menceritakan taman rahasia, serta Dickon dan teman-teman hewanya. Segala hal yang tadinya Colin benci ternyata yang mampu membuatnya tetap hidup sehat seperti anak laki-laki lain.
Martha. Martha itu ibarat ahli konseling. Dia periang, sabar, dan menghormati semua orang seperti ibunya. Secara tidak langsung Martha yang membuat Mary menemukan taman rahasia dengan menyuruhnya menjelajahi taman. Dia juga yang memperkenalkan Mary dengan Dickon. Intinya sih, menurutku semua perubahan Mary dasarnya ada pada Martha. Meskipun setelahnya novel ini bilang kalau perubahan Mary disebabkan oleh taman rahasia.
Ben Weatherstaff. Teman kedua Mary setelah si burung Robin. Meskipun galak dan masam, Ben selalu meladeni ocehan-ocehan Mary semampunya. Kalau dia rasa pertanyaan Mary sudah terlampau banyak dan menyebalkan, dia langsung pergi meninggalkan anak itu sendirian sambil menggerutu. Tipikal kakek-kakek penggerutu yang Wholesome seperti Ove.
Mrs. Medlock. Tadinya aku pikir dia akan menjadi antagonis ... sebenarnya dia termasuk antagonis karena melarang Mary melakukan ini dan itu. Namun, sebenarnya dia hanya sedang mengabdi kepada Mr. Craven, dan berusaha sebaik mungkin mengurus seluruh manor itu sendirian. Tentu saja dia jadi stres kadang-kadang, tapi selain itu dia tidak pernah benar-benar kasar pada Mary. Bahkan dia terlihat menyayanginya.
Mr. Craven. Pemilik manor, ayah Colin, dan Paman Mary. Semenjak kepergian istrinya, dia menjadi pemurung, dingin, dan misterius. Jarang orang bisa bertemu dengannya, dia pun selalu berpergian ke seluruh dunia untuk mencari ‘sesuatu’. Mr. Craven sering disangka membenci anaknya sendiri, padahal bukan. Dia hanya tidak sanggup melihat mata sang anak yang begitu mirip mendiang istrinya.
D. Dialog.
Ayolah, haruskah kita membahas cara novel klasik menuliskan dialog? MEREKA AHLINYA!Aku membuat banyak sekali catatan yang bertulis “UwU!!!”, “This is so UwU!!”, “How UwU!!!” di setiap interaksi antara Mary dengan Dickon, atau Mary dengan Colin. Bahkan dialog antara Mary dengan Mr. Craven hanya terjadi satu kali, dan sangat membekas di hatiku, karena memang didasari oleh ekspektasi yang akhirnya sesuai dengan realita!
Contoh dialog UwU Mary dan Dickon ada di halaman 118 saat Mary bertanya, “Apa yang bisa aku lakukan untukmu, karena sudah mau datang ke sini?”
dan Dickon menjawab dengan riang. “Akan kuberitahu apa yang bisa kau lakukan. Kau akan bertambah gemuk, dan kau akan mempelajari bahasa burung robin seperti aku. Eh, kita akan bersenang-senang!”
Oh, ma heart! ma soul!
Betapa tulusnya pertemanan mereka tanpa harus terang-terangan ditulis “Mary dan Dickon pun akhirnya menjadi sahabat sejati selamanya banget!” (memang bermaksud menyindir novel lain ... lagi)
Belum lagi seluruh dialog di bab 17, saat untuk pertama kalinya Colin dihadapkan oleh orang yang memiliki sifat serupa dengannya, alias Mary. Reaksinya benar-benar lucu juga alami, membuat kita juga merasakan setiap emosi yang Colin dan Mary lontarkan satu sama lain, sampai akhirnya mataku pun ikut berkaca-kaca.
Lalu setiap kali Martha membicarakan hal-hal baik kepada Mary, dan membuat kita sebagai pembaca juga bersemangat. Ah, rasanya bisa sampai besok-lusa kalau aku terus membicarakan hal bagus dari novel ini. Kita sudahi saja!
E. Gaya Bahasa
Kalau kalian bertanya-tanya bagaimana cara menggunakan teknik Show dan Tell secara seimbang, maka novel inilah jawabannya. Penjabaran latar tempat dan suasana yang benar-benar sempurna, menerapkan kelima panca indera sampai membuatku ikut merasakan segala situasi dan kondisi yang coba disampaikan penulis. Sekaligus iri karena semua itu hanya ada di dalam kepalaku!Terutama cara si penulis menggambarkan padang moor, taman-taman, musim semi, suasana hujam, suasana badai. Hewan-hewan, tumbuhan, bunga-bunga, aroma bunga. Langit biru, rerumputan, angin dan tanah. Wah! Penjabaran yang terlampau detail seperti ini membuatku berpikir satu hal ....
Aku mau pindah ke Enggres dan merasakan semua itu!!!
Narasi serta deskripsi setiap tokoh juga dijabarkan secara lugas, sekaligus absurd. Kita benar-benar disuruh menetukan sendiri bagaimana rupa para tokohnya dari penjabaran yang disajikan penulis. Apakah mereka cantik atau jelek, menarik atau tidak menarik, aneh atau biasa. Kita sendiri yang menentukan, karena penjabarannya tidak pernah secara gamlang, dan benar-benar deskriptif.
Plot : 4,5
Penokohan : 4,5
Dialog : 4,5
Gaya Bahasa : 4,5
Total : 4,3 Bintang
Bukannya aku tidak bisa membaca versi basa Enggres, aku bisa baca novel basa Enggres dengan bimbingan kamus inggris-indonesia 800 triliun di rumah. Namun, rasanya aku lebih bisa menghayati sebuah bacaan kalau menggunakan bahasa ibu pertiwi (Aseg)
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Narasi serta deskripsi setiap tokoh juga dijabarkan secara lugas, sekaligus absurd. Kita benar-benar disuruh menetukan sendiri bagaimana rupa para tokohnya dari penjabaran yang disajikan penulis. Apakah mereka cantik atau jelek, menarik atau tidak menarik, aneh atau biasa. Kita sendiri yang menentukan, karena penjabarannya tidak pernah secara gamlang, dan benar-benar deskriptif.
F. Penilaian
Cover : 3,5Plot : 4,5
Penokohan : 4,5
Dialog : 4,5
Gaya Bahasa : 4,5
Total : 4,3 Bintang
G. Penutup
Bagai menemukan oase di tengah gurun pasir. Novel ini begitu menyegarkan setelah sekian minggu diterpa badai novel brekele. Aku semakin mencintai Gudrid, karena sudah berbaik hati merekomendasikan novel ini. Tapi di sisi lain juga kesal, sebab terkadang beberapa novel yang direkomendasikan tidak ada versi terjemahannya.Bukannya aku tidak bisa membaca versi basa Enggres, aku bisa baca novel basa Enggres dengan bimbingan kamus inggris-indonesia 800 triliun di rumah. Namun, rasanya aku lebih bisa menghayati sebuah bacaan kalau menggunakan bahasa ibu pertiwi (Aseg)
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Comments
Post a Comment