Boneka Sandya
Penulis : Eve Shi
Penerbit : Elex Media Komputindo
ISBN : 9786230007828
Tebal : 218 Halaman
Blurb :
Maukah kamu mendengar kisah tentang boneka-boneka hidup? Aku tinggal bersama mereka sejak kecil. Ada yang senang berbuat iseng, dan ada yang menolongku. Ada pula yang pernah membunuh manusia. Aku menjalani hidupku dengan wajar, bersekolah dan bekerja. Sampai akhirnya aku harus mengurus boneka-boneka itu seorang diri. Lalu, jika mereka tak suka padaku dan menyerangku, sanggupkah aku melawan?
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Boneka Jahat dari Indonesia! (Baca sambil nyanyi!)
Kalau membicarakan boneka jahat, apa yang pertama terbersit di pikiran kalian? Chucky, Annabelle, Robert, Jigsaw barang kali? Nah, sekarang coba bayangkan boneka jahat tapi dari negara kita tercinta Indonesia. Benar ... pasti kalian akan terbayang Jenglot, jelangkung, dan Si Gale-gale.
Tunggu dulu ... Mereka termasuk boneka bukan, sih!?
Nah, sekarang daftar boneka jahat Indonesia bertambah dengan kehadiran Boneka Sandya. Dibaca Sand-ya atau Sandi-ya suka-suka kita aja kali, ye ... Aku membaca novel ini di Ipusnas, tapi bukan itu yang penting, melainkan BETAPA LAMANYA novel ini nongkrong di daftar pinjaman.
Terhitung 20 kali aku meminjam novel ini tanpa membacanya, sampai waktu pinjam habis dan aku harus meminjamnya lagi. Begitu terus sejak dua atau tiga tahun lalu!
Namun, marilah kita jangan membicarakan masa lalu dan fokus pada masa kini. Misalnya sampul novel Boneka Sandya. Jujur saja, sampul novel ini tidak menarik. Tipikal sampul bikinan orang awam di aplikasi semacam Pixellab atau PicsArt. Terlalu sederhana, terlalu malas(?)
Padahal ini novel terbitan mayor, tahun terbitnya pun bukan di era dulu. Kenapa tidak dibuat ilustrasi boneka dalam novel? Kiyan atau Koru barang kali, jujur saja aku kesulitan membayangkan sosok mereka. (Boneka kertas Washi teh begimana wujudnya!!!)
Yah, ini pastilah keputusan penulis dan penerbit, kalau tidak mana mungkin bisa terbit dan diperjual-belikan. Lagi pula kita tidak bisa menilai buku dari sampulnya. Toh yang terpenting adalah cerita di dalamnya.
Membicarakan cerita di dalamnya. Mari kita tengok Boneka Snadya. Novel yang menempati daftar pinjam Ipusnas Terlama!
B. Plot
Menceritakan seorang bocah delapan tahun bernama Sandya yang dengan atau tanpa sengaja telah membvnvh seorang preman. Kenapa dengan atau tanpa sengaja? Karena sebelumnya Sandya hanya ingin membela diri dengan memukul kepala si preman agar pingsan. Tapi kemudian Sandya teringat bahwa preman itu juga telah membvnvh sang ayah, maka dia kalap mencolok manja si preman menggunakan pisau hingga tewas.
Kejadian itu disaksikan oleh seorang wanita sebut saja Mama. Dialah yang nantinya mengadopsi Sandya, melindungi, bahkan menyekolahkannya sampai kuliah. Namun, Mama bukanlah orang tua adopsi biasa, dia punya segudang rahasia menyangkut boneka.
Mama punya toko boneka, memperjual-belikan boneka, memelihara boneka, menjaga boneka, bahkan memburu boneka. Mama bilang, dia akan mewariskan kekuatan serta boneka-boneka itu kepada Sandya nantinya. Tapi eh tetapi ... apakah Sandya siap mengemban tugas seberat itu? Apa lagi kalau boneka-boneka yang diwariskan kepadanya adalah boneka-boneka jahat.
Mari kita bahas dulu keunggulan novel ini, sebab boy oh, boy! Aku punya banyak sekali keluhan untuk novel Boneka Sandya.
Konsep keseluruhan novel ini sangat menarik, kengerian dari boneka-boneka jahat milik Sandya tergambarkan sangat jelas padahal mereka tidak memiliki dialog. Penulis tahu kapan saat tepat menunjukkan teror boneka sehingga perasaan Sandya saat itu juga bisa dirasakan pembaca. Penokohan dalam novel ini juga bisa dibilang oke, menerapkan unsur Show don't Tell sebagaimana mestinya.
Cotohlah penokohan Mama. Mama itu tipikal tokoh misterius yang kalau tidak diceritakan latar belakangnya secara full pun tidak masalah, sebab kemisteriusan memanglah ciri khasnya. Dari dialog dan cara menghadapi orang sangat menggambarkan pribadi misterius. Begitu juga Sandya yang di satu sisi digambarkan baik, tapi ada saat-saat kepribadiannya dingin dan sikopet vibe.
Ekhem ... marilah kita bahas semua itu di segmen Penokohan, karena penokohan dan dialog novel ini juga mempunyai sisi positif dan negatif.
Belum lagi adegan Sandya bersama dua preman di pabrik kosong. THAT IS SO EXCITING! Aku membaca ulang bagian itu demi merasakan kembali sensasi seru dan tegangnya. Intinya sih, aku bisa membayangkan novel ini menjadi film. Kalau eksekusinya bagus, maka film ini akan menjadi salah satu film favoritku.
Itulah beberapa keunggulan novel Boneka Sandya. Maka saatnya kita beralih ke keluhan-keluhanku sepanjang membaca. Keluhan paling pertama yang aku catat lagi-lagi berhubungan dengan Summary and Scene.
Alur novel ini terasa datar dalam artian tidak ada adegan-adegan yang menunjang plot di kemudian hari. Terutama dari bab awal Sandya diadopsi Mama sampai bekerja. Jarak waktu selama itu diceritakan dalam bentuk rangkuman. Di satu paragraf Sandya masih SD, paragraf selanjutnya dia masuk SMP, terus halaman berikutnya dia sudah kuliah dan dapat pekerjaan.
Memang ada beberapa adegan spesifik di setiap masa. Misalnya pas SD Sandya melukai temannya, lalu di SMP Sandya ditolak cewek, saat SMA ... gak tau dah apaan! Kayaknya nggak ada. Lalu pas kuliah Sandya ternyata pintar dan mendapat pekerjaan enak sampai langsung naik jabatan. Adegan-adegan itu cuma numpang lewat dan semuanya dirangkum.
Jadi saat Sandya membicarakan masa SD sampai kuliahnya lalu menghubungkan kejadian di masa itu dengan masa kini, aku sebagai pembaca tidak peduli karena memang tidak pernah diceritakan secara detail. Aku pikir gaya bercerita rangkuman cuma berlangsung di bab satu alias prolog. Nyatanya lanjut sampai tamat, seolah aku sedang membaca cerpen panjang alih-alih novel.
Keluhan kedua, banyak sekali Plot Hole kecil yang tidak mengganggu untuk cerita secara keseluruhan, tapi tetap mengesalkan. Misalnya, saat SMP Sandya menceritakan kehidupan sekolah yang kebanyakan dihuni orang kaya, sementara dia cuma anak pemilik toko boneka sehingga hanya bisa membayar iuran pokok.
Um, My Darling Boy ... Mamakmu menjual BONEKA VOODOO!
Jangan bicara seolah kau anak miskin-papa dan menderita, karena sebelumnya pun ada adegan pelanggan memberi segepok tebal uang untuk satu boneka kepada Mama. Diceritakan juga pelanggan toko Mama lumayan banyak di masa itu. Jika setiap orang memberi segepok tebal uang, maka kalian bukan orang pas-pasan sama sekali.
Aku tahu penulis berusaha menunjukkan bahwa Sandya dan Mama terlihat normal dan reletable, padahal punya banyak rahasia. It's not add up! Tidak usah buat mereka reletable dan malah menghilangkan esensi penokohan mereka.
Ada lagi adegan Mama mengatakan Sandya harus melanjutkan SMP di kota Surabaya, karena di sana Sandya bisa menyalurkan hobi sepak bola. WHAT HOBBY SEPAK BOLA? Dari awal tidak pernah ada adegan atau bahkan rangkuman yang menyerempet kalau hobi Sandya adalah bermain bola, begitupun di kemudian hari tidak ada menyinggung sepak bola sama sekali.
Inilah risiko dari merangkum keseluruhan cerita tanpa memberi adegan berisi petunjuk atau emosi dari para tokohnya. Pembaca jadi tidak mengenal mereka sama sekali. Lalu informasi-informasi yang seharusnya penting malah jadi sampah. Risiko lain dari metode rangkuman ini adalah hubungan Sandya dengan para boneka.
Jadi ada satu boneka bernama Tara yang diberikan Mama kepada Sandya untuk melindunginya. Kemudian ada satu adegan di mana toko mama digrebek preman, lalu preman itu menghancurkan Tara hingga reaksi Sandya benar-benar marah sebab ia sudah menganggap Tara sebagai saudara sendiri.
BUT!!! Tidak pernah ada bonding spesifik antar Sandya dengan Tara sebagai 'saudara', bahkan tidak di dalam rangkuman pun. Jadi saat penulis berusaha membuat pembaca ikut marah dan sedih seperti Sandya saat Tara dihancurkan, tentu saja pembaca tidak merasakan apa-apa. Pembaca BELUM PEDULI. Apa lagi setelah itu Tara tidak pernah muncul lagi.
And then ... Mama ingin mewarisi boneka-boneka kepada Sandya, memintanya untuk mengurus dan menjaga mereka TANPA MENGAJARI APA PUN KEPADANYA! Duh, Gusti! Ini ibarat Mama mewarisi ladang sawah kepada Sandya tapi tidak pernah mengajari cara bercocok tanam!
"Diemin aja, nanti juga bisa sendiri. Santai dulu gak, sih!" kata Mama sambil rebahan.
Kenapa rangkuman Unfaedah di bab-bab awal tidak diisi dengan adegan Mama mengajari Sandya ilmu pasal boneka, atau Mama diam-diam membuka kekuatan dari dalam diri Sandya, atau lakukan apa pun supaya Sandya siap mengemban tugasnya sebagai penjaga boneka.
Ya, sebenarnya aku bisa saja memaklumi bahwa Mama melakukan itu karena memang mencari tumbal. Menyeleksi kandidat dengan mengadopsi anak-anak lalu membiarkan mereka berjuang sendiri melawan boneka-boneka jahat. Kalau menang mereka bisa menjadi 'adik' Mama, kalau kalah mereka bisa menjadi boneka pelindung seperti Kiyan.
Itu terdengar seperti konsep yang menarik, tapi juga membawa kita ke masalah lain. Kenapa anak-anak ini (Sandya, Kiyan, Tara) begitu mengabdi kepada Mama, padahal jelas-jelas Mama sudah menelantarkan mereka, bahkan memanfaatkan mereka sebagai tumbal. Apakah di antara mereka tidak ada yang merasa sakit hati? Ingin balas dendam? Ingin mencari keadilan?
Toh, Mama bukan tipe manipulatif, Mama bukan seperti Mother Gothel yang meskipun jahat tapi berhasil membuat Rapunzel menyayangi dan menghormatinya. Ya, Mama mengadopsi mereka. Ya, Mama membiayai sekolah gono-gini. Tapi hey ... mari berpikir realistis, itu bukan alasan kuat untuk anak-anak ini legowo diperlakukan semena-mena.
Apa mungkin Mama melakukan itu dengan bantuan sihir? Ah, tapi tidak pernah ada adegan yang menjurus ke sana, jadi aku tidak akan menyimpulkan. INTINYA! Hal-hal mengganjal seperti itu seharusnya bisa dijustifikasi kalau saja keseluruhan novel bukan berbentuk RANGKUMAN!
Plot Hole lain yang mengganjal adalah saat Sandya melihat rekan kerjanya membagikan status seorang nenek yang mencari anaknya bernama Aris tapi kemudian berganti nama menjadi Sandya. Status teman Sandya itu bertuliskan "Tolong dibantu, Guys. Bayangkan kalau ini ibu kalian."
Kalian sudah melihat masalahnya di sini? Kalau belum, biar aku jabarkan ....
Seorang nenek mencari anak bernama Aris yang mengganti nama menjadi Sandya. Anak ini diadopsi dan pindah ke Surabaya. KEBETULAN kalian tinggal di Surabaya dan KEBETULAN mengenal orang bernama Sandya di kantor kalian. Orangnya aneh dan rada misterius pula.
ARE THEY NOT PUT TWO AND TWO TOGETHER!!!!
Harusnya 'rekan kerja' Sandya ini menanyakan langsung, dong! Atau setidaknya curiga daripada cuma share di sosial media. Mari berpikir realistis (dari tadi ngomong gitu mulu, dah!). Nama Sandya tidak begitu familiar. Bukan seperti Adit atau Rizky atau Joko yang jumlahnya tak terhitung. TENTU akan ada kecurigaan, TENTU akan ada prasangka di lingkungan kantor.
Apa cuma aku yang berpikir begitu? (Tarik napas)
Kemudian ada sejarah Koru (boneka jahat) yang terkesan maksa banget. Orang bangsa mana yang suatu hari menemukan boneka misterius di dalam lemari, lalu memutuskan untuk memberikan boneka misterius itu kepada adiknya yang akan menikah dua hari kemudian di saat dia tahu boneka itu mungkin 'tidak beres'? ORANG BANGSA MANA?
Ending novel ini pun gak masuk akal sama sekali. Spoiler Alert Sandya memutuskan untuk pasrah menjadi boneka dan melindungi crush-nya (Renata) dari incaran Koru.
WHAT!!!
Dari sekian banyak konflik yang bisa membimbing cerita menuju sekuel berfaedah (balas dendam ke Mama, petualangan para boneka, asal-usul Urban Legend kampung), penulis malah memaksa menonjolkan Romance menye-menye untuk mengakhiri novelnya?
Ya, aku menyebut ini Bull-poop! Jangan salah, aku suka Romance UwU untuk selingan dan bumbu pemanis, tapi ini kelewatan maksa. Dari awal kisah UwU Sandya dan Renata BUKAN pokok utama cerita dan seharusnya TIDAK menjadi pokok utama sampai akhir.
C. Penokohan
Sandya. Ada saat di mana aku menyukai penokohannya. Dia ini seperti Anti-Hero, berkali-kali bilang dirinya baik, tapi ada saat-saat dia tidak sadar kalau baru saja berbuat jahat. Hati Sandya kotor dan rada sikopet, mungkin itu yang membuat Mama mengadopsinya sejak awal. Tapi dia percaya segala perbuatannya benar, dan novel ini mengambil POV1, jadi kepedeannya memang masuk akal.
Tapi oh tetapi. Anak ini kayak orang-orangan sawah SECARA HARFIAH! Aku menolak penjabaran MC dan Protagonis menurut para penggemar anime, tapi di sini akhirnya aku paham! Sandya protagonis tapi dia jelas bukan MC sebab dia TIDAK PERNAH membuat konflik berjalan maju sekali pun.
Dia pasrah, legowo, ngikut ke mana penulis membawanya seperti kerbau dicocok hidung. Secara garis besar Sandya cuma disuguhi kejadian-kejadian seram oleh penulis, dan dia menanggapi kejadian itu tanpa benar-benar bereaksi. Sebagai contoh caranya menghadapi kemisteriusan Mama. Berkali-kali dia bilang "Mama begitu misterius." atau "Apakah rahasia Mama sebenarnya?"
Tapi ya udah ... dia cuma bertanyea-tanyea tanpa benar-benar melakukan sesuatu untuk mengetahui apa rahasia Mama, apa kemisteriusan Mama. DAN AKU BENCI HAL ITU! Dia juga lebih banyak kabur daripada menghadapi masalah, COWARD!
Mama. Sosok Misterius yang terlampau misterius sampai penulis pun bingung bagaimana menceritakan latar belakangnya. Entah penulis akan meng-spill informasi itu di buku lain, tapi aku tidak melihat ada kelanjutan novel ini.
Seperti yang kukatakan di segmen Plot, penokohan Mama akan lebih masuk akal kalau dia digambarkan sperti Mother Gothel. Manipulatif, penyayang, dan memang bisa membuat orang lain menghormati dan menurutinya lewat kata-kata. Sebab sekadar mengadopsi rasanya alasan kurang nendank untuk membuat setiap orang (atau boneka) begitu membelanya, sedangkan perilakunya kepada anak-anak itu tidak terpuji.
Bu Dewi. Tokoh ini adalah Tritagonis. Namun, aku juga akan menyebutnya MC sebab dialah alasan Sandya berinteraksi pada sesuatu, juga yang membuat novel ini punya adegan-adegan menarik. Tanpa Bu Dewi Novel Boneka Sandya mungkin akan seperti ini ....
"Pada suatu hari aku membunuh orang, terus aku diadopsi Mama, ternyata Mama punya boneka lhoooo. Bonekanya ada yang jahat, ada yang baik, ada yang unyu. Suatu hari Mama harus pergi meninggalkanku Ihiks-ihiks. Mama mewariskan boneka jahat kepadaku (woooww) tapi kekuatanku gak cukup untuk melawan boneka (sad emoji momen). Akhirnya aku berubah jadi boneka dan melindungi Renata Mbla'em-mbla'em. TAMAT."
Renata. Aku rasa dia ada di sini cuma untuk Love Interest. Renata tidak berpengaruh apa pun untuk plot selain kenyataan bahwa Sandya berakhir melindunginya. Bahkan bukan Renata yang diganggu Koru dan harus dilindungi Sandya, melainkan Fia (rekan kantor lain). Jadi sebenarnya aku heran kenapa Sandya harus melindunginya sejak jadi boneka in the first place.
Tapi aku suka penjabaran Renata di sini, dia dijabarkan jangkung sepertiku! (akhirnya ada representasi cewek jangkung, Coy!) Lagi pula Renata bukan tipikal cewek bucin, bahkan dia cuek, sarkas, dan blak-blakan. Slay Queen!!!
Kiyan. Boneka Bodyguard.
Koru dan temannya. Boneka Devil 😈👿
Tara. Boneka Bodyguard tapi meninggoy.
D. Dialog
Untungnya, segala hal brekele dalam novel ini tertolong dengan dialog para tokoh yang natural. Dialog novel ini tidak baku, tapi juga tidak dipaksakan gaul. Perbedaan gaya bahasa Sandya saat tinggal di kampung dan di kota pun melalui transisi yang masuk akal. Bicaranya lebih sopan dari teman-teman sekantor.
Walaupun di beberapa momen dialog Sandya dewasa tidak berbeda jauh dari saat dia kecil sehingga kadang aku menganggap Sandya masih bocah SD aja. Oh, ada satu momen yang menurutku termasuk Plot Hole tapi juga Nit-Pick di saat bersamaan.
Jadi, saat SD, teman Sandya bernama Moris, loh kok Moris! Tauk, ah! lupa namanya! Intinya teman SD Sandya mengejek Mama, menyebutnya wanita nakal secara garis besar. Namun, bahasa yang Moris gunakan agak kurang masuk akal diucapkan anak delapan tahun. Maybe it's just me.
(Setelah aku cek ulang, ternyata nama temannya Moko, h3h3 ... ITU MORIS MUNCUL DARI MANA!)
E. Gaya Bahasa
Yah, di segmen ini sayangnya aku harus mengulangi kalimat "Too much Summary, not enough Scene" karena novel ini mengambil POV1, dan sangat terasa kalau ini adalah Sandya di masa depan sedang menceritakan masa lalunya kepada pembaca.
Semuanya rangkuman, alurnya lompat-lompat, tidak ada adegan-adegan detail yang memberi kesimpulan. Pokoknya, novel ini seharusnya seru kalau saja eksekusinya tidak seperti ini. Mungkin dengan POV3 konflik dan alurnya lebih bisa diperdalam dan diperluas.
Kalau begini, sama saja mendengarkan kisah atau gosip dari mulut orang. Seru, tapi minim ditail dan emosi. Kalian paham maksudku?
F. Penilaian
Sampul : 2
Plot : 2,5
Penokohan : 2
Dialog : 2,5
Gaya Bahasa : 2,5
Total : 2,5 Bintang
G. Penutup
Satu hutang lagi terpenuhi! Itu berarti tinggal 34.783.920 buku lagi dalam daftar bacaku (bercanda, deng!)
Kesimpulan tentang Boneka Sandya. Novel ini menurutku sangat anti-klimaks, belum matang alias bantet. Banyak sekali konflik yang masih bisa digali, banyak fokus cerita yang salah sasaran, dan sekali lagi TERLALU DIRANGKUM. Rasanya seperti membaca cerpen yang sangat panjang alih-alih novel konkret.
Novel ini enjoyable, hanya saja saat halaman nyaris berakhir dan masih belum mendapatkan apa-apa, aku pun kebingungan. Loh, udah abia aja, perasaan masih banyak yang harus diceritain. Barang kali ada novel kedua, ketiga, keempat, keseratus? Aku dengan senang hati mengikutinya.
Petualangan boneka-boneka yang menuntut keadilan dari Mamanya terdengar menarik. Seperti serial Chucky dan Tiffany yang akhirnya punya legacy dan universe sendiri.
Nah, mungkin segitu dulu review kali ini. Entah novel mana lagi yang akan kubaca. Kok, kelihatannya tidak ada yang menarik, h3h3 ....
Sampai jumpa di review berikutnya ^o^/
Comments
Post a Comment