Tanggapanku Pada A Man Called Otto

Sudah disangka, Sudah diduga!

Membicarakan A Man Called Ove karya Fredrik Backman memang tidak ada habisnya. Tentu saja ... cerita sebagus dan semenarik itu mungkin akan menjadi klasik semodel karya-karya Shakespeare seratus tahun ke depan.

Maka suatu saat nanti aku akan berkta kepada cucu-cucuku, “Di jaman Nenek dulu ....” lalu mulai mengoceh panjang lebar tentang Fredrik Backman serta kisah-kisah ciptaannya sampai cucu-cucuku berpura-pura sakit perut supaya bisa kabur dari penderitaan.

Ekhem ... aku sering melakukan itu saat Almarhum Eyang mulai bercerita tentang masa lalunya di zaman penjajahan. Sekarang aku malah merindukan cerita-cerita beliau, berharap bisa mendengarnya lagi bersama sepupu-sepupu brekele yang berjejer rebahan di lantai dingin.

Sebaiknya kita sudahi kisah ihiks-ihiks ini!

Ternyata eh ternyata, Holiwut tidak mau kalah kalau soal mengadaptasi cerita bagus. Padahal sudah ada film versi Swedia yang nyaris sempurna, tapi Holiwut masih saja membusungkan dada sambil berkata, “No, no, no ... bikinan kita pasti lebih mantap dan barokah!”

Maka mereka buatlah “A Man Called Otto” menggaet Tom Hanks sebagai Otto alias Ove. Bukan hanya nama Ove yang diubah, beberapa nama juga disesuaikan untuk latar tempat Mamarica. Keputusan bagus menurutku, sebab nama-nama di novel Ove memang Swedia banget, terkesan aneh kalau nama-nama itu ada di Mamarica.

Beberapa adegan dan plot minor diubah, juga supaya sesuai dengan konflik lumrah di Mamarica. Perbedaan seperti itu tidak mengganggu tapi juga tidak menambah kesan spesial. Meskipun, aku wanti-wanti kalian dari awal kalau sudah menyangkut Ove, aku PASTI menyukainya, jadi tentu saja aku juga menyukai film ini. Meskipun ada beberapa catatan yang mengganjal, dan catatan-catatan itulah yang ingin kutuang dalam postingan ini.

Otto Muda dan Otto Tua Kurang Singkron

Helooow ... judul film ini A Man Called Otto, tentu saja kisah ini seharusnya menceritakan Otto si kakek tua penggerutu. Kepribadiannya, masa lalunya, kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain.

Kita pun akan penasaran kenapa dia menjadi penggerutu? Kenapa dia bosan tinggal di dunia? Kenapa dia bisa begitu membenci semua orang dan sekitarnya? Semua itu seharusnya terjawab di flashback masa muda Otto (yang eksekusi di novel sangat aduhai). Sayangnya film ini kurang menunjukkan hal tersebut.

Masa lalu Otto hanya berputar pada Sonya, meskipun di novel memang ada kalimat “Ove tidak hidup sebelum ada Sonja, dan tidak lagi hidup saat dia pergi.” Namun, sebelum sampai pada quotes itu, seharusnya kita dibuat paham kenapa Ove/Otto tidak hidup sebelum ada Sonya. Tentu saja masa kecil serta hubungan bersama ayah dan ibunya sangat-sangat-sangat berperan besar.

Di film ini, Otto tua dan Otto muda seolah dua orang yang berbeda. Bukan refleksi dari pertambahan usia berserta pengalaman-pengalaman yang membuat sifatnya berubah secara alami.

Otto tua penggerutu, bar-bar, ngeselin, secara garis besar akurat dengan Ove di novel. Namun, Otto muda lebih terkesan klemar-klemer (kalian tahu makna kata itu gak sih, h3h3 ....) Kesannya kayak mustahil aja Otto muda bisa memiliki perangai seperti Otto tua, kalau melihat konfliknya sepanjang film.

Barang kali film ini mau lebih fokus menggali kisah Otto dan Sonya, tapi aku malah mendapatkan porsi yang lebih sedikit baik dari Sonya maupun Otto. Lebih parah ... masa lalu Otto tidak diceritakan secara keseluruhan. Tidak ada bonding ayah-anak, pembulian di tempat kerja, ditipu asuransi. Wah, pokoknya mengecewakan.

Meskipun pemeran Otto cute juga, dan ternyata dia anak kandung Tom Hanks sendiri. Namanya Truman Theodore Hanks. I love Truman Theodore Hanks (plak!)

Sonya Kurang Sonja

“Ove melihat dunia sebagai hitam dan putih. Namun, Sonja berwarna-warni. Seluruh warna yang dimiliki Ove.”

Quotes di atas merangkum hubungan antara Ove dan Sonja di novel. Sonja suka bicara, Ove suka mendengar. Sonya menggebu-gebu, Ove tenang dan serius. Sonja hidup sambil menari, sementara Ove menginjak tanah kuat-kuat. Dua tokoh ini adalah contoh sempurna dari perbedaan yang saling melengkapi.

Film versi Swedia berhasil mewujudkan Sonja yang sempurna. Dari caranya memperkenalkan diri, mengoceh gak habis-habis, tatapan mata nakal dan energik. Sonja versi Swedia benar-benar Sonja yang aku bayangkan saat membaca novelnya. Nah, mungkin itu sebabnya aku dibuat agak kecewa sama Sonya versi Otto.

Sonja Versi film buatan Swedia

Bagaimana aku menjelaskannya ... dia terlalu basic. Dia baik dan ramah, tapi udah begitu aja. Dia tidak terlihat ‘berwarna-warni’ seperti seharusnya seorang Sonja! Jadi ketika aku disuguhkan flashback Otto muda bersama Sonya, aku merasa mereka pasangan biasa dengan cerita biasa di lingkungan biasa. Tidak ada yang istimewa dari pasangan ini, tidak ada yang membuatku peduli kisah-kisah mereka..

Show don’t Tell, Holiwuut! Pliss!

Who am I telling Holiwut to Show don’t Tell!!!

Tapi serius ... ada beberapa konflik yang alih-alih dijadikan adegan sendiri supaya emosinya lebih nendank, malah diceritakan langsung sama si Otto. Misalnya saat Otto dan Rauben mulai berteman sampai akhirnya bermusuhan, atau saat Otto mencari keadilan untuk Sonya setelah kecelakaan.

Padahal kalau hal-hal itu dibuat adegannya, emosi para penonton pasti akan lebih ter-tendank. Ya, karena di versi Swedia juga begitu.

Ada satu momen yang aku harap banget masuk ke adaptasi film, karena menurutku ini adegan paling manis tapi memilukan dari Ove dan Sona. Yaitu adegan ini ....


Ah! Sayangnya baik versi Swedia maupun Holiwut tidak mencantumkan adegan di atas secara detail. Kedua film memang menyiratkan sedikit adegan itu, tapi tidak benar-benar memuaskn hasratku sebgai pembaca (tidak) budiman!!!

Jokes Lebih Aduhai

Kelebihan paling kentara dari versi Otto adalah lelucon-lelucon yang bisa aku mengerti, lantaran lebih lumrah. Tahu sendiri, Enggres merupakan bahasa internasional sehingga siapa pun sedikit-banyak bisa memahami humor berbahasa Enggres. Kalau di versi Swedia, humornya berasa, tapi tidak se-nendank bahasa Enggres, sebab film itu berbahasa Swedia, sementara aku tidak berbahasa Swedia (bruuh).

Terutama Marisol alias Parvaneh kalau versi novel dan versi Swedia. Alih-alih Iran, Marisol berkebangsaat Mexico, tapi keduanya sama-sama menghibur dengan ocehan merepet bak petasan. Kalau suatu saat Indonesia ikut mengadaptasi Ove, aku berharap peran Parvaneh diberikan pada artis yang bisa berbahasa Sunda berlogat Cibinong.

ITU BAKAL COCOK BANGET!

Percayalah, aku SMA di daerah Cibinong. Aku punya satu teman (sebut saja Mawar) yang suka nyerocos pakai bahasa Sunda berlogat Cibinong kalau sedang kesal atau marah. Tidak ada titik ataupun koma setiap kali Mawar sudah mulai mengoceh, dan dia seolah tidak pernah kehabisan suku-kata. Bahkan aku sebagai penulis tidak bisa mengeluarkan kalimat sepanjang dan secepat itu dalam sekali napas!

ANYWAYS!!!

Ada satu momen paling kocak di film ini. Yaitu saat Otto gelud dengan badut rumah sakit yang mengambil koin keberuntungannya. Otto pun menggeledah paksa badut itu, lalu saat menemukan koinnya dia berteriak “AHA 1964!!!”

Sebenarnya yang bikin lucu adalah cara Tom Hanks mengatakannya. I love him ....

Plot Tambahan Barokah(?)

Seperti yang kukatakan di atas. Di sini Otto mempunyai koin keberuntungan yang sangat berharga. Pemberian Sonya tentunya ... Plot itu tidak ada sama sekali di novel, dan boleh dibilang tambahan yang cukup bagus meskipun sedikit menghilangkan esensi kepribadian Ove original.

Aku bisa menebak plot itu dibuat supaya Otto punya semacam simbol cinta untuk Sonya, sekaligus alasan tambahan untuk marah berlebihan ke si Badut karena menukar koin keberuntungannya. Namun, alasan versi original Ove marah besar ke si badut karena menukar koinnya semata-mata demi prinsip. Dia ingin koinnya kembali, bukan koin lain yang mirip.

Itulah kepribadian utama Ove dari muda sampai tua. Dia berpegang teguh pada prinsip sampai terkadang bikin orang (bahkan Sonja) jengkel. Terkadang dia bisa langsung memusuhi orang tergantung mobil apa yang mereka kendarai. Dia juga mampu berdebat berjam-jam kalau ada sesuatu yang tidak sesuai meurut pandangannya.

Wait a minute ... APAKAH OVE MALE KAREN???

Penutup

In the end of the day ... ini film adaptasi dari novel karya Sang Fredrik Backman, dan kalian harus teramat sangat brekele kalau sampai mengacaukan cerita yang pada dasarnya sudah masterpiece. Itu mustahil!

Meskipun tadinya aku memang rada skeptis sama film A Man Called Otto ini. Maksudku ... kalau versi terdahulunya sudah nyris sempurna, apa lagi yang bisa diharapkan, benar?

Pada akhirnya film ini tetap oke, dan film ini memberi kredit untuk versi Swedia dan kepada Pak Backman juga tentunya. Aku menghargai karya-karya yang menghrgai pendulunya atau inspirasinya. Hey, tidak ada yang salah dari terinspirasi, apa lagi kalau inspirasi itu memang bagus.

Baiklah, mungkin segini dulu pembahasan Fredrik Backman (lagi) dariku. Meski ragu, aku tidak keberatan ada Ove versi lain di masa depan. Negara di Asia Timur brang kali mau mengdaptasi Ove, atau bahkan tetangga kita Thailand yang juga suka mengadaptasi ulang. Atau bahkan Indonesia sendiri tidak masalah.

AYO BUAT ADAPTASI OVE VERSI KALIAN!!!

Sekian dulu pembahasan kita hari ini. Sampai jumpa di lain hari ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Peter Pan