Kami Lintang
Penulis : Yunita R. Saragi
Penerbit : Loka Media
ISBN : 9786025509629
Tebal : 334 Halaman
Rating Pribadi : 3,5 Stars
Blurb :
Hidupku bedebah. Maka terkadang, tanpa sengaja aku sering melakukan semacam improvisasi. Biar semua kayak baik-baik saja.
Baik-baik saja? Apa sebenarnya arti kata-kata itu? Baik dan nggak baik, keduanya acap kali bertukar posisi. Seperti sebuah benda pengecoh optik. Kaulihat dari kanan, itu hanya satu segitiga. Kauputar ke arah berbeda ternyata dua segitiga. Satu segitiga atau dua segitiga? Atau sama sekali bukan segitiga.
Sebenarnya, aku punya banyak teman. Lalu apa yang harus kukhawatirkan?
Meredith, Jaka, Bunda Retno, Civa, Felixia, Sylia, Adrik, juga Paman Weirdo. Tentu nggak ada yang dikhawatirkan kalau mereka itu orang-orang biasa. Bukan berupa potongan identitas di dalam kepalamu…
Nah, banyak orang stres karena adanya karantina ini, tidak bisa ke mana-mana, bosan di rumah, nyaris gila. Yang mana semua itu tidak aku alami karena aku cinta di rumah, huahaha! Hey, di rumah aku bisa lebih lama bermesraan dengan buku-buku. Ditambah penerbit Loka Media menggratiskan beberapa buku terbitannya di Google Play Book (betapa indahnya dunia). Silakan kalian cek dengan keyword Loka Media.
Dari semua buku gratis yang disediakan, ada satu buku yang benar-benar menarik perhatianku, yaitu Kami Lintang. Kenapa? Ayolah, lihat sendiri, sampul yang cantik (buku-buku Loka Media emang top kalau soal sampul!), Blurb yang menarik, serta tema yang unik. Belum lagi, aku juga pernah membuat cerpen dengan tema yang sama.
Akhirnya sudah kuputuskan, Kami Lintang akan kubaca pertama. Oh, di Loka Media juga ada buku karyaku yang digratiskan judulnya Aku Ingin Terus Menari, kalian jangan lupa mampir. Oh, tidak! Promosi saat Review!? Benar-benar tidak profesional! Oke, oke ... langsung saja kita Ngomongin Anu.
Lantas, kita diperkenalkan dengan satu per satu kepribadian Lintang yang lain. Ada delapan, tepatnya, meskipun yang benar-benar berperan penting hanya 4 orang, karena mereka yang paling sering berada di depan. Pertama ada Bang Jaka yang digambarkan sebagai seorang pria 28 tahun bergaya preman, tapi anehnya gaya bicara dia malah terkesan kayak lekong (adu-duh aku gak tau harus ketawa atau ngeri).
Lalu ada Felixia, gadis 15 tahun yang tempramen, galak, bergaya nyentrik, dan gaya bicaranya juga sangat aneh. Kemudian ada pacarnya, Adrik, yang sebenarnya aku heran kenapa dia bisa ada di dunia Lintang, memang sih dijelaskan kalau dia adalah pawang Felix, tapi aku rasa penjelasan itu kurang memuaskan. Ada juga Meredith si bule, 30 tahun yang suka tebar pesona. Civa anak kecil imut, Bunda Retno ibu-ibu keibuan, Sylia si pemurung tukang ridnub, dan Paman Wierdo yang aneh (jelas, dong!)
Buku ini, terbilang ringan untuk tema berat yang diusung penulis. Membaca buku ini tidak akan terlalu memainkan otak, bahkan tidak terlalu mempermainkan perasaan. Suatu waktu kita disuguhi tanda tanya, tapi beberapa lembar kemudian jawaban itu sudah terungkap. Benar-benar cepat. Konflik yang disajikan selain Lintang dan dirinya, juga tentang keluarganya, yang menurutku juga sangat cepat.
Entahlah, bagaimana cara mengungkapkannya. Buku ini bagus, menarik, membuat kita sedikit-banyak bisa membayangkan seperti apa jika berada di posisi Lintang sebagai penderita DID. Namun, semua terasa kurang dramatis, terlalu cepat-lah istilahnya. Tidak ada satu pun aspek dalam buku ini yang membekas di hatiku. Mayoru yang latar belakangnya kurang jelas. Sebenarnya, sih, jelas .... tapi kayak ada yang kurang. Rasanya motivasi itu terlalu sepele jika dia dijadikan antagonis utama. Konflik ayah dan ibu Lintang yang juga menurutku sederhana sekali penyelesaiannya.
Mungkin jika buku ini lebih diperdalam, mungkin lebih dipertebal lagi halamannya, dan dijelaskan latar belakangnya secara rinci, buku ini akan sangat sempurna. Masalahnya, buku ini terlalu biasa ... padahal seharusnya bisa sangat luar biasa. Ibarat memakan kuaci, kita menikmati proses makannya, tapi setelah itu, ya sudah ... lewat begitu saja. Tidak meninggalkan rasa kenyang sama sekali.
Buku ini benar-benar menjelaskan semuanya, tapi dengan cara yang tidak terlalu membekas, sehingga reaksiku saat membaca juga cuma "Oh, begini, toh ... Oh, begitu, toh." Nah, begitu terus reaksiku sampai tanpa sadar aku sudah mencapai akhir halaman. Padahal aku menunggu sesuatu yang nendang, entah dari Mayoru, atau dari Sylia, atau bahkan dari ayah, ibu, serta orang-orang terdekat Lintang.
Padahal ekspetasi awalku membaca buku ini, aku akan kebingungan, dipermainkan, menebak-nebak siapa yang ada di depan. Nyatanya, buku ini tidak semerepotkan itu. Mungkin karena buku ini memiliki batas halaman atau kata, sehingga tidak bisa dibuat lebih tebal dan lebih dalam. Aku yakin dengan permakan sana-sini buku ini bisa lebih baik.
Untuk seterusnya, tentu saja aku akan membaca buku gratisan Loka yang lain, dan mungkin mereview-nya di sini. Untuk sekarang aku ingin istirhat sejenak, flu menyerang sehingga hidungku terus meler selagi membuat review ini. (semoga kalian tidak sedang makan ketika membacanya h3h3.)
Sekian review kali ini, sampai jumpa lagi ^O^
Penerbit : Loka Media
ISBN : 9786025509629
Tebal : 334 Halaman
Rating Pribadi : 3,5 Stars
Blurb :
Hidupku bedebah. Maka terkadang, tanpa sengaja aku sering melakukan semacam improvisasi. Biar semua kayak baik-baik saja.
Baik-baik saja? Apa sebenarnya arti kata-kata itu? Baik dan nggak baik, keduanya acap kali bertukar posisi. Seperti sebuah benda pengecoh optik. Kaulihat dari kanan, itu hanya satu segitiga. Kauputar ke arah berbeda ternyata dua segitiga. Satu segitiga atau dua segitiga? Atau sama sekali bukan segitiga.
Sebenarnya, aku punya banyak teman. Lalu apa yang harus kukhawatirkan?
Meredith, Jaka, Bunda Retno, Civa, Felixia, Sylia, Adrik, juga Paman Weirdo. Tentu nggak ada yang dikhawatirkan kalau mereka itu orang-orang biasa. Bukan berupa potongan identitas di dalam kepalamu…
MENGANDUNG SPOILER
A. Teman Seperguruan
Hai, hai ... Impy kembali setelah sekian lama. Ya, nggak lama-lama juga, sih. Seperti yang kita tahuy, 2020 ini adalah tahun yang cukup sulit untuk kita semua. Berbagai bencana dan cobaan kita hadapi, yang terparah saat ini adalah COVID-19. Karantina, Lockdown, Social distancing, Huft ... entah kapan selesainya, semoga tidak lama.Nah, banyak orang stres karena adanya karantina ini, tidak bisa ke mana-mana, bosan di rumah, nyaris gila. Yang mana semua itu tidak aku alami karena aku cinta di rumah, huahaha! Hey, di rumah aku bisa lebih lama bermesraan dengan buku-buku. Ditambah penerbit Loka Media menggratiskan beberapa buku terbitannya di Google Play Book (betapa indahnya dunia). Silakan kalian cek dengan keyword Loka Media.
Dari semua buku gratis yang disediakan, ada satu buku yang benar-benar menarik perhatianku, yaitu Kami Lintang. Kenapa? Ayolah, lihat sendiri, sampul yang cantik (buku-buku Loka Media emang top kalau soal sampul!), Blurb yang menarik, serta tema yang unik. Belum lagi, aku juga pernah membuat cerpen dengan tema yang sama.
Akhirnya sudah kuputuskan, Kami Lintang akan kubaca pertama. Oh, di Loka Media juga ada buku karyaku yang digratiskan judulnya Aku Ingin Terus Menari, kalian jangan lupa mampir. Oh, tidak! Promosi saat Review!? Benar-benar tidak profesional! Oke, oke ... langsung saja kita Ngomongin Anu.
B. Ngomongin Anu
Para pembaca langsung dibuat penasaran begitu membaca prolog. Tentu saja aku juga mengeluarkan kata Kenapah??? Ya, itulah yang membuatku melanjutkan buku ini dengan lebih semangat 45. Kemudian kita akan diperkenalkan dengan sang Pengendali bernama Lintang, serta ibu dan tantenya, yang lagi-lagi membuatku heran. Apakah penulis terisnpirasi dengan kejadian viral yang menghebohkan itu? Jelas dong! Tapi aku gak akan nyangka kalau itu akan dipakai ke dalam buku, menarik juga, lucu sekalee.Lantas, kita diperkenalkan dengan satu per satu kepribadian Lintang yang lain. Ada delapan, tepatnya, meskipun yang benar-benar berperan penting hanya 4 orang, karena mereka yang paling sering berada di depan. Pertama ada Bang Jaka yang digambarkan sebagai seorang pria 28 tahun bergaya preman, tapi anehnya gaya bicara dia malah terkesan kayak lekong (adu-duh aku gak tau harus ketawa atau ngeri).
Lalu ada Felixia, gadis 15 tahun yang tempramen, galak, bergaya nyentrik, dan gaya bicaranya juga sangat aneh. Kemudian ada pacarnya, Adrik, yang sebenarnya aku heran kenapa dia bisa ada di dunia Lintang, memang sih dijelaskan kalau dia adalah pawang Felix, tapi aku rasa penjelasan itu kurang memuaskan. Ada juga Meredith si bule, 30 tahun yang suka tebar pesona. Civa anak kecil imut, Bunda Retno ibu-ibu keibuan, Sylia si pemurung tukang ridnub, dan Paman Wierdo yang aneh (jelas, dong!)
Buku ini, terbilang ringan untuk tema berat yang diusung penulis. Membaca buku ini tidak akan terlalu memainkan otak, bahkan tidak terlalu mempermainkan perasaan. Suatu waktu kita disuguhi tanda tanya, tapi beberapa lembar kemudian jawaban itu sudah terungkap. Benar-benar cepat. Konflik yang disajikan selain Lintang dan dirinya, juga tentang keluarganya, yang menurutku juga sangat cepat.
Entahlah, bagaimana cara mengungkapkannya. Buku ini bagus, menarik, membuat kita sedikit-banyak bisa membayangkan seperti apa jika berada di posisi Lintang sebagai penderita DID. Namun, semua terasa kurang dramatis, terlalu cepat-lah istilahnya. Tidak ada satu pun aspek dalam buku ini yang membekas di hatiku. Mayoru yang latar belakangnya kurang jelas. Sebenarnya, sih, jelas .... tapi kayak ada yang kurang. Rasanya motivasi itu terlalu sepele jika dia dijadikan antagonis utama. Konflik ayah dan ibu Lintang yang juga menurutku sederhana sekali penyelesaiannya.
Mungkin jika buku ini lebih diperdalam, mungkin lebih dipertebal lagi halamannya, dan dijelaskan latar belakangnya secara rinci, buku ini akan sangat sempurna. Masalahnya, buku ini terlalu biasa ... padahal seharusnya bisa sangat luar biasa. Ibarat memakan kuaci, kita menikmati proses makannya, tapi setelah itu, ya sudah ... lewat begitu saja. Tidak meninggalkan rasa kenyang sama sekali.
Buku ini benar-benar menjelaskan semuanya, tapi dengan cara yang tidak terlalu membekas, sehingga reaksiku saat membaca juga cuma "Oh, begini, toh ... Oh, begitu, toh." Nah, begitu terus reaksiku sampai tanpa sadar aku sudah mencapai akhir halaman. Padahal aku menunggu sesuatu yang nendang, entah dari Mayoru, atau dari Sylia, atau bahkan dari ayah, ibu, serta orang-orang terdekat Lintang.
C. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan Kami Lintang- Semua konflik dijelaskan tanpa ada tanda tanya, bahkan tidak memusingkan pembaca sama sekali.
- Alur mengalir, gaya bercerita seru, membuatku ingin terus membuka halaman selanjutnya.
- Meskipun buku ini sudah wanti-wanti mengatakan kalau kisah di dalamnya tidak menggambarkan penderita DID. Tapi sedikit banyak aku bisa merasakan sulitnya menjadi salah satu penderita.
- Masing-masing tokoh yang punya kepibadian berbeda, dan unik-unik. Kesukaanku adalah Paman Weirdo, sayang dia jarang muncul T_T.
- Setiap kejadian atau konflik atau misteri yang disuguhkan, meskipun terjawab jelas tapi rasanya hambar, tidak sesuai ekspetasi, kurang memuaskan, apa pun-lah namanya.
- Kurangnya porsi masing-masing tokoh. Maksudku, yang lain hanya muncul sekali, dua kali, tanpa benar-benar berpengaruh apa pun.
- Antagonis yang kurang motifasi.
- Pergantian bab yang sangaaat cepat. Serius, deh, baru sehalaman, tiba-tiba babnya sudah ganti lagi, berasa baca wattpad hehe.
- Gaya bicara Bang Jaka dan Felix yang aneh. Ekhem ... aku kurang bisa memutuskan ini termasuk kekurangan atau kelebihan, karena membacanya membuatku merinding alias cringe, akhirnya aku taro di kekurangan T_T.
D. Penutup
Adooh! Aku merasakan perasaan ini lagi. Aku suka bukunya, tapi tidak suka di saat yang bersamaan. Namun, jika kalian ada waktu, aku sarankan kalian membacanya. Buku ini jelas-jelas sangat layak baca, hanya saja adanya kekurangan-kekurangan kecil membuatnya kurang istimewa. Buku ini bahkan terbilang ringan untuk tema yang diusung.Padahal ekspetasi awalku membaca buku ini, aku akan kebingungan, dipermainkan, menebak-nebak siapa yang ada di depan. Nyatanya, buku ini tidak semerepotkan itu. Mungkin karena buku ini memiliki batas halaman atau kata, sehingga tidak bisa dibuat lebih tebal dan lebih dalam. Aku yakin dengan permakan sana-sini buku ini bisa lebih baik.
Untuk seterusnya, tentu saja aku akan membaca buku gratisan Loka yang lain, dan mungkin mereview-nya di sini. Untuk sekarang aku ingin istirhat sejenak, flu menyerang sehingga hidungku terus meler selagi membuat review ini. (semoga kalian tidak sedang makan ketika membacanya h3h3.)
Sekian review kali ini, sampai jumpa lagi ^O^
Menuju TKPaku kudu baca ini juga. Makasih reviewnya.
ReplyDeleteSama-sama. Selamat membaca kak ^o^/
Delete